Recent Comments
Loading...
Recent Comments

Putih Itu Tak Sempurna

17 December 2010

Bersama teman-teman, aku mengisi hari ini di suatu kota. Kota yang jarang kukunjungi, tapi sebenarnya aku bosan dengan kondisinya, karena kota itu hanya menyajikan hal-hal yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya ketika kukunjungi. Tak ada yang istimewa lagi dari kota itu, selain hari yang begitu membuatnya istimewa. Di bawah guyuran salju yang untuk pertama kali aku merasakannya dan ditambah sisa-sisa salju semalam yang menyelimuti daratan selama perjalanan dan kota itu sendiri membuatnya serasa berubah menjadi sebuah kota yang baru aku kenal.

Soal pemandangan, salju menghiasnya menjadi suatu keindahan yang patut disyukuri keadaannya. Pemandangan itu tak kalah dengan menyaksikan keindahan matahari terbit di puncak gunung dengan bertengger angkuh di atas awan di puncaknya ataupun menyaksikan matahari terbenam di puncak tebing sehabis menaklukkannya. Kita seakan dibawa pada suatu petualangan keberuntungan sehingga kita bisa berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Tapi keindahan ini sempat dinodai oleh beberapa hal sepeleh dari penghuninya.

Sudah berapa tempat di mana kaki ini kupijakkan selain di kampung halaman, orang-orangnya selalu menyambut dengan keterbukaan yang seakan berbisik ‘anggap rumah sendiri’. Tetapi, di negeri ini sangat berbeda dengan apa yang aku alami sebelumnya. Sebelum menginjakkan kaki di sini aku berharap negeri ini akan sama dengan apa yang aku alami di tempat-tempat sebelumnya atau sama dengan kondisi orang-orang asing yang berada di negeriku. Harapan hanyalah harapan, dan kenyataan membalikkan harapan itu seperti perahu yang diterjang badai dan ombak sehingga terbalik. Kenyataan yang mengejutkan itu, membuatku harus berusaha pandai-pandai beradaptasi dengan sekitar.

Orang asing tetap akan menjadi orang asing walaupun orang itu sudah bisa beradaptasi. Tetapi ada saja sesuatu yang kita tidak kenal karena keterbatasan kita. Kita pikir bahwa semuanya telah berubah seperti yang kita harapkan, dan ternyata kenyataan yang dulu hanya bersembunyi dan membuat kita terlena sesaat. Mereka tetap seperti yang dulu, tak berubah. Kita hanya menyangka dan sangkaan kita salah terhadapnya.

Karena kita orang asing, apakah kita pantas untuk diperlakukan dengan perlakuan yang kita tidak inginkan? Perlakuan itu tak wajar, dan hanya orang bodoh yang menganggapnya wajar. Ironisnya, mereka bisa tertawa puas seakan-akan telah melakukan hal yang baik dan terpuji. Dan kita pun tak berdaya dengan perlakuan itu. Kita hanya bisa sabar dan menghindar dari perlakuan kita tanpa bisa membela sama sekali, mengingat situasi dan lingkungan yang kita hadapi tidak memungkinkan untuk mengambil suatu tindakan yang seharusnya. Mereka tidak menyangka bahwa mereka telah memperlihatkan bayangan buruk akan wilayahnya, dan sepertinya rasnya akan lebih merdeka ketika orang-orang seperti kita tidak berada di daerahnya. Mereka tidak butuh yang namanya keanekaragaman, bantuan ataupun persahabatan selain sesamanya. Bukankah ini sifat binatang kalau menganggap nama binatang itu adalah ras? Bagi yang terlihat aneh di matanya walaupun sebenarnya tidak membahayakan, itupun harus dikategorikan sebagai musuh dan harus ditindas untuk memperlihatkan keperkasaannya.

Perlakuan itu pun berlanjut dengan kejadian lainnya yang tidak kalah hebohnya. Merasa ada aturan yang membatasi dalam berbaur sesama manusia, kita dimanfaatkan untuk melanggar aturan itu. Padahal, sebagian di antara kita juga berada di dalam lingkaran aturan itu yang harus kita patuhi. Tetapi, karena kita punya batasan tersendiri dalam mematuhi aturan itu dalam konotasinya batas yang kita pahami lebih luas dari batas yang mereka pahami, maka kita lebih bebas berbaur sesama kita. Karena hal ini pun seakan mereka manfaatkan untuk melanggar aturannya sendiri. Hari itu mereka bebas menuruti nafsunya semaunya, tanpa peduli bahwa mereka telah mengganggu aktivitas kita yang seharusnya kita menikmatinya dengan baik. Sekali lagi, kita tak berdaya menghadapinya selain sabar dan menghindarinya.

Apa yang salah dengan sistem yang ada di sini? Apakah ini budaya warisan nenek moyangnya? Pendahulu-pendahulu mereka dahulu disebut sebagai bangsa yang jahil, tetapi apakah kejahilan yang ada sekarang ini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kejahilan yang dilakukan pendahulu-pendahulunya. Katanya, kejahilan itu telah lenyap karena adanya agama, tetapi apa yang kami alami membuatku mempertanyakan semuanya. Apakah agama tidak merangkul mereka ataukah agama cuma merangkul mereka sebatas kulit sehingga mereka tidak mengerti mengenai cara memperlakukan orang lain, sekalipun orang itu adalah orang asing.

Akhirnya aku pun tidak ingin memukul rata pendapatku tentang mereka. Dunia ini berisi beraneka ragam dualisme. Ada  baik dan buruk, hitam dan putih, gelap dan terang, atas dan bawah, tinggi dan rendah, bersih dan kotor, dan lain-lainnya. Kita tak selalu berada di satu sisi yang kita sukai, kadang-kadang kita menyeberang ke sisi yang lainnya. Karenanya kita belajar dan belajar dalam mengarungi perjalanan seiring waktu. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Tidak selamanya langit itu berawan dan tidak selamanya awan hitam menghasilkan hujan di tempat yang dipayunginya. Karena angin, awan itu bisa bercerai berai atau berpindah ke tempat lain dan meninggalkan langit sendiri dengan birunya. Tak ada yang berubah selain perubahan itu sendiri. Seiring waktu yang hitam bisa menjadi putih dan yang putih bisa menjadi hitam. Tak ada kata hitam tetaplah hitam atau putih tetaplah putih karena kita berjalan. Walaupun kita berjalan di tempat, tapi waktu mengubah keadaan kita, entah itu baik atau tidak, tergantung persepsi kita masing-masing.

Coba kita berkaca pada diri sendiri, betapa mudahnya kita membenci sesuatu dan menghasut orang lain untuk ikut membenci apa yang kita benci. Kita tahu bahwa sesuatu itu belum tentu buruk menurut kenyataannya, karena pada suatu tempat, sesuatu itu patut untuk dibenci. Tapi apakah ini akan berlangsung selamanya, ataukah apakah kita mengharapkan selamanya akan tetap seperti itu. Jika kata maaf tak ada, mungkin semuanya akan seperti itu. Tetapi maaf tak berpihak pada perubahan, karena maaf bisa merubah sesuatu dan perubahan itu tidak bisa merubahnya karena ia sendiri tak pernah berubah. Jadi, siapkah kita berkoar ‘maaf’ dan menanggung segala ‘resiko’ nya?

(Ada satu hal yang harus kita ingat, kebaikan orang lain kepada kita dan keburukan kita kepada orang lain. Dan ada satu hal yang harus kita lupakan, kebaikan kita kepada orang lain dan keburukan orang lain kepada kita. *SANG MURABBI*)

161210
9:40 PM

No comments

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs