Andai laba-laba bisa menyulam jaring-jaringnya menjadi sarangnya di sana, ia akan membuatnya. Andai rayap bisa membangun rumahnya di sana, mereka pun akan membangunnya. Bahkan lalat-lalat pun bisa menjadikannya sebagai tempat bagi mereka bercanda, beterbangan dari satu sudut ruang ke sudut ruangan lainnya. Laba-laba, rayap dan lalat, mereka semua menggerogoti tempat yang dipijaknya perlahan-lahan untuk kemudian meninggalkannya setelah semuanya hancur lebur dan mencari tempat yang baru untuk dijadikannya sebagai mangsa baru demi kelangsungan hidupnya.
Karena kita bergerak, berjalan, beraktivitas dan berproses maka seharusnya mereka tak ada disana, membangun peradaban mereka di dalam ruang yang seharusnya menjadi bagian dari kekuasaan kita. Di ruang itu, kita bisa menelurkan ide-ide, menerbangkan daya khayal, merencanakan taktik untuk meraih apa yang kita inginkan, menganalisis apa yang kita lihat dan kita baca untuk kemudian menindaklanjutinya dengan penilaian-penilaian dan merangsang anggota badan untuk melakukan sesuatu, ataupun menggunakannya untuk sejenak menginstropeksi diri dari apa yang sudah kita lakukan. Semuanya terangkum dalam ruang itu. Secara kasat mata, ia begitu kecil untuk dijadikan sebagai ruang multi fungsi. Wujud rupanya seperti sebuah benda multidimensi yang di dalamnya bisa menampung apa saja tanpa batas.
Semua orang memilikinya, tetapi tak semua orang menggunakannya seperti adanya. Ada yang menggunakannya secara maksimal untuk meningkatkan kreatifitas dalam hidupnya. Ada juga yang menggunakannya hanya sebatas semampunya karena ia sendiri tak mau dipusingkan oleh hal-hal rumit, yang manakala ketika hal tersebut bisa dilewati mungkin akan merasakan kepuasan yang langka. Dan, mungkin ada juga yang tak menggunakannya sama sekali, seperti orang gila misalnya. Apakah ada yang mau disebut sebagai orang gila? Bahkan orang gila yang sebenarnya pun tak tahu kalau dirinya itu gila.
Seringkali kata “putus asa, bingung ataupun buntu” karena tak tahu harus melakukan apa terlintas di benak kita. Namun, adakah kita sadar bahwa semua itu adalah produk dari ketidakmauan kita dalam memaksimalkan ruang itu. Kita membiarkan ruangan itu kosong karena kita menuruti semua hal-hal yang membuat kita terlena yang nyatanya melemahkan kita dan menjauhkan kita dari bercengkrama di ruang itu. Tidak, kita tak sadar akan semua itu. Kita dibuat tak percaya akan kehadiran ruangan itu, akan eksistensi ruangan itu. Kita diarahkan untuk jauh darinya dalam menggunakannya.
Ketika kita membayangkan sesuatu, adakah kita merasakan bahwa secepat kilat hal yang kita bayangkan itu akan muncul dalam sekejap dalam benak kita? Kalau belum merasakannya, coba bayangkan sesuatu dan coba ukur waktunya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memunculkan bayangan itu dalam benak kita? Tak terkira besarnya kecepatan yang terukur, dan sebagai bahan perenungan mungkin bolehlah kita membandingkan dengan kecepatan cahaya yang katanya adalah kecepatan tertinggi yang bisa diukur oleh manusia di zaman sekarang ini. Betapa hebatnya ruangan itu ketika kita memaksimalkan daya gunanya dalam hidup ini.
Ada sebuah ungkapan, bahwa dunia ini adalah komedi bagi mereka yang mengandalkan pikiran dan tragedi bagi mereka yang mengusung perasaan. Kita tak pernah bisa lepas dari 2 hal itu, pikiran dan perasaan. Sementara ruang itu hadir di dalamnya di mana pikiran dan perasaan bertarung di dalamnya, memperebutkan kekuasaan dalam ruangan itu. Tetapi, ketika keduanya tidak kita mainkan, tidak kita adu domba dalam suatu peperangan di antara keduanya ataupun tidak mendamaikan keduanya dalam ruangan itu, maka seperti laba-laba yang merancang rumah jaringnya dalam satu ruangan, seperti rayap-rayap yang membangun peradabannya di dinding suatu ruang, ataupun seperti lalat-lalat yang beterbangan berpesta pora dalam suatu ruang. Mereka menertawakan pemilik ruangan itu, dan seperti itulah ruangan itu sebenarnya, tak bersuara. Setidaknya kita yakinkan bahwa laba-laba, rayap, dan lalat memiliki habitatnya masing-masing. Jangan biarkan mereka bersarang di ruangan yang seharusnya menjadi hak milik kita. Kita mencoba berkreasi di dalamnya, walau cuma sebatas khayalan belaka.
Karena kita bergerak, berjalan, beraktivitas dan berproses maka seharusnya mereka tak ada disana, membangun peradaban mereka di dalam ruang yang seharusnya menjadi bagian dari kekuasaan kita. Di ruang itu, kita bisa menelurkan ide-ide, menerbangkan daya khayal, merencanakan taktik untuk meraih apa yang kita inginkan, menganalisis apa yang kita lihat dan kita baca untuk kemudian menindaklanjutinya dengan penilaian-penilaian dan merangsang anggota badan untuk melakukan sesuatu, ataupun menggunakannya untuk sejenak menginstropeksi diri dari apa yang sudah kita lakukan. Semuanya terangkum dalam ruang itu. Secara kasat mata, ia begitu kecil untuk dijadikan sebagai ruang multi fungsi. Wujud rupanya seperti sebuah benda multidimensi yang di dalamnya bisa menampung apa saja tanpa batas.
Semua orang memilikinya, tetapi tak semua orang menggunakannya seperti adanya. Ada yang menggunakannya secara maksimal untuk meningkatkan kreatifitas dalam hidupnya. Ada juga yang menggunakannya hanya sebatas semampunya karena ia sendiri tak mau dipusingkan oleh hal-hal rumit, yang manakala ketika hal tersebut bisa dilewati mungkin akan merasakan kepuasan yang langka. Dan, mungkin ada juga yang tak menggunakannya sama sekali, seperti orang gila misalnya. Apakah ada yang mau disebut sebagai orang gila? Bahkan orang gila yang sebenarnya pun tak tahu kalau dirinya itu gila.
Seringkali kata “putus asa, bingung ataupun buntu” karena tak tahu harus melakukan apa terlintas di benak kita. Namun, adakah kita sadar bahwa semua itu adalah produk dari ketidakmauan kita dalam memaksimalkan ruang itu. Kita membiarkan ruangan itu kosong karena kita menuruti semua hal-hal yang membuat kita terlena yang nyatanya melemahkan kita dan menjauhkan kita dari bercengkrama di ruang itu. Tidak, kita tak sadar akan semua itu. Kita dibuat tak percaya akan kehadiran ruangan itu, akan eksistensi ruangan itu. Kita diarahkan untuk jauh darinya dalam menggunakannya.
Ketika kita membayangkan sesuatu, adakah kita merasakan bahwa secepat kilat hal yang kita bayangkan itu akan muncul dalam sekejap dalam benak kita? Kalau belum merasakannya, coba bayangkan sesuatu dan coba ukur waktunya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memunculkan bayangan itu dalam benak kita? Tak terkira besarnya kecepatan yang terukur, dan sebagai bahan perenungan mungkin bolehlah kita membandingkan dengan kecepatan cahaya yang katanya adalah kecepatan tertinggi yang bisa diukur oleh manusia di zaman sekarang ini. Betapa hebatnya ruangan itu ketika kita memaksimalkan daya gunanya dalam hidup ini.
Ada sebuah ungkapan, bahwa dunia ini adalah komedi bagi mereka yang mengandalkan pikiran dan tragedi bagi mereka yang mengusung perasaan. Kita tak pernah bisa lepas dari 2 hal itu, pikiran dan perasaan. Sementara ruang itu hadir di dalamnya di mana pikiran dan perasaan bertarung di dalamnya, memperebutkan kekuasaan dalam ruangan itu. Tetapi, ketika keduanya tidak kita mainkan, tidak kita adu domba dalam suatu peperangan di antara keduanya ataupun tidak mendamaikan keduanya dalam ruangan itu, maka seperti laba-laba yang merancang rumah jaringnya dalam satu ruangan, seperti rayap-rayap yang membangun peradabannya di dinding suatu ruang, ataupun seperti lalat-lalat yang beterbangan berpesta pora dalam suatu ruang. Mereka menertawakan pemilik ruangan itu, dan seperti itulah ruangan itu sebenarnya, tak bersuara. Setidaknya kita yakinkan bahwa laba-laba, rayap, dan lalat memiliki habitatnya masing-masing. Jangan biarkan mereka bersarang di ruangan yang seharusnya menjadi hak milik kita. Kita mencoba berkreasi di dalamnya, walau cuma sebatas khayalan belaka.
22 comments
dunia ini adalah komedi bagi mereka yang mengandalkan pikiran dan tragedi bagi mereka yang mengusung perasaan, jelas memang tidak bisa memilih pikiran atau perasaan (>_<') harus keduanya, berkesinambungan dan tepat kondisi~
dalam kali maknanya Sam.. dhe hanya bisa mengerti, tapi tidak bisa melukiskannya lagi.. bahasamu kadang berat euy.. :P
pikiran,,,perasaan,,,
diruang itu mereka bergelut dan bercengkrama...
tapi apakah mungkin mereka akan lelah...??
apakah mungkin mereka akan tiba di suatu titik dimana mereka berhenti dan membisu...??
yap, keep fighting for a better life aja deh (:
salam kenal~
kacamataku berkata lain mengenai pikiran dan perasaan. pikiran itu terkadang menciptakan ruang untuk membohongi diri sendiri. sedangkan perasaan akan selalu berkata jujur.
filosofi dan psikologi yang menarik... saya suka sekali membaca konsep yang tersaji dalam postingan ini.... sungguh ^^
mari... bekerja membangun peradaban kita, bukan hanya untuk sekarang, tapi hingga hancur ruang itu, tak bersisa, salam semangat, mantap...
butuh mengulang beberapa kali untuk mencerna postingan ini. nice post!
putus asa terkadang menghambat segala macam cita-cita...
setelah habis paragraf kedua baru paham maksud dari ruangan itu apa.
ruangan tak bersuara, tapi dengan kekuatan yang sangat luar biasa (jika memang didayagunakan), ruangan tak bersuara, tapi dapat berdampak maha hebat bagi pemiliknya, lagi-lagi jika memang didayagunakan, entah dengan semestinya atau tidak...
tapi baru kusadari saat ini, ternyata ruangan tersebut tidak sekuat yang diduga, karena toh rayap, laba-laba, dan lalat saja mampu merusaknya.
kata-katanya sangat mendalam dan penuh makna
pernah ngambil keputusan yang terkadang satu sisi menguntungkan orang lain dan pada saat yang sama keputusan itu merugikan orang yang lainnya?? Saya kira semua orang pernah mengalaminya. Dan menurutku di sanalah pikiran dan perasaan itu mengalami konflik, memaksa kita untuk mendamaikannya ataupun berpihak ke salah satunya... Saya kira itu pemahaman saya tentang kalimat itu.. :)
Walau dirasa berat... semoga bermanfaat aja yaaa... :)
Menurutku terkadang mereka lelah, tetapi jangan sampai pemiliknya membiarkannya lelah untuk selamanya, karena pemiliknya harus meyakinkannya bahwa mereka baru bisa berhenti dan membisu ketika napas pemiliknya pun berhenti... :)
Aku ga bisa berkata seperti itu, siapa yang tahu isi pikiran dan perasaan itu selain pemiliknya sendiri? Justru di sanalah pikiran dan perasaan itu beradu mempengaruhi si pemiliknya, dan hasilnya tergantung si pemiliknya lebih cenderung ke mana... Dan ketika Emilia menuliskan komentarnya, mungkin si pikiran dan perasan itu sedang beradu untuk mempengaruhi si penulisnya... hehehe.... **Semoga Nyambung**
yappp.... sepakatt... lets do it...:D
salam kenal juga yaa...
hehehe.... saya juga kesulitan mengarahkan alurnya setelah paragraf pertama..:D
Entah seperti apa ruangan itu, aku cuma mampu mendeskripsikannya seperti ruang multidimensi (Tak bisa membayangkannya juga ruang multidimensi itu seperti apa:D ), tapi seperti katamu, ia memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk karakter pemiliknya jika pemiliknya menggunakannya sebagaimana mestinya.
tentang laba-laba, rayap ataupun lalat itu, hanyalah suatu analogi untuk sebuah ruangan yang ditinggal pergi oleh pemiliknya, dan ruangan itu akan hancur oleh mereka jika pemiliknya benar-benar meninggalkan dan tak memperdulikannya....:)
Nice comment kawan... :)
waduhhh... ada lagi yang mengatakan kalau apa yang saya tuliskan ini adalah mind game... tapi apa iya ya??:D entahlah... dan terima kasih atas apresiasinya sudah menyukai postingan ini... heheheheh
mari kang..:D keep fighting for a better life in the future till the death come appear... hahahha....
putus asa memang menghambat semua harapan dan cita-cita kalau kita mentok di sana, tapi setidaknya kita yakinkan diri kita bahwa pasti ada jalan untuk tidak menyerah dalam menggapainya... :)
Semua membuat kita agar kita terbiasa, kawan... :D
Terima kasih yaa dan semoga berguna...:)
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs