Recent Comments
Loading...
Recent Comments

Menyambangi Danau Gunung Tujuh Setelah Kerinci (Part 5)

15 September 2014

Cerita Sebelumnya:

Part 1:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-1.html
Part 2:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-2.html
Part 3:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-3.html
Part 4:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-4.html

Nb: Maaf, Part 5 nya, beda judul dengan Part sebelum-sebelumnya, tapi masih satu lokasi kok dengan Gunung Kerinci. :D

Senin, 18 Agustus 2014

Pendakian Kerinci selama 2 hari sebelumnya mengakibatkan kondisi badan yang remuk semuanya. Efek ini begitu terasa ketika bangun pagi untuk kemudian menuju kamar mandi. Bangkit dari tidur pun sulit, berjalan tertatih dan ditambah lagi harus menyesuaikan diri dengan suhu udara yang begitu dingin setelah sebelumnya meringkuk dengan hangat di dalam sleeping bag. Dengan kondisi seperti ini, kamar mandi terasa jauh untuk didatangi. Padahal jaraknya hanya sekitar 25 meter dari tempat saya berada. Sesampainya di sana, saya hanya buang air kecil dan wudhu untuk sholat subuh. Acara mandi pagi saya tiadakan untuk diri saya, mengingat pengalaman mandi semalam yang sangat heroik. Lagipula Danau Gunung Tujuh sendiri sepertinya masih mau menerima pengunjung yang belum mandi. Dan kalau dirasa mandi itu perlu, sepertinya danaunya siap memberikan airnya untuk digunakan.

Perjalanan ke Danau Gunung Tujuh dari referensi yang pernah saya baca relatif singkat dan lebih mudah jika dibandingkan dengan Kerinci. Kalau kita tidak ingin bermalam di sana, sebaiknya bawa ransel kecil saja yang berisi bekal makan siang, cemilan dan air 2 botol kecil serta perlengkapan-perlengkapan lainnya seperti raincoat apabila kehujanan dan senter apabila pulangnya kemalaman. Kalau tidak punya ransel kecil, bawa penutup kerir bagian atas saja, yang bisa dilepas dari kerirnya dan ditambahkan tali sepatu atau tali rapia untuk diselempangkan di badan, seperti yang saya lakukan. Kalau kerirnya tidak bisa dikondisikan seperti itu, pakai kresek pun jadi, seperti yang dilakukan Uul. Tenang saja, di Desa Pelompek banyak penjual kresek kok. Kalau gengsi memakai kresek, ya sudah... Mendaki sambil gigit jari saja.

Pendaki yang ke sana biasanya kondisi mereka sudah tidak fit karena pendakian ke Kerinci sebelumnya. Inilah yang terjadi pada kami. Melihat kawan-kawan lainnya yang masih bisa bergerak lincah di basecamp, membuat saya bertanya-tanya, mereka kok bisa dalam kondisi segar di pagi ini. Mereka memperlihatkan ekspresi kalau pendakian Kerinci kemarin biasa-biasa saja. Namun, semua perkiraan itu berbalik 180 derajat ketika saya dengan tidak sengaja menepuk paha salah seorang kawan (lupa siapa orangnya) hingga ia meringis kesakitan. Setelah itu, satu per satu pun mulai bercerita tentang kondisi mereka. Bahu, Betis, dengkul, paha, tumit dan kaki adalah bagian tubuh paling menderita yang sering disebutkan. Balsem pun jadi laku pagi ini, memberikan kehangatan pada bagian-bagian tubuh itu.

Sisa-sisa Kerinci yang masih membekas bukan hanya pada badan saja, tetapi juga membekas pada perlengkapan yang kami kenakan kemarin saat turun dari Kerinci. Terutama pada celana dan sepatu yang saya kenakan. Kondisi keduanya sudah tak berbentuk melihat penampakannya di pagi ini. Keduanya penuh dengan lumpur. Sedangkan pakaian hanya basah dan bau keringat saja semalam, namun kondisinya masih layak pakai pagi ini. Melihat celana yang sudah tidak karuan lagi bentuknya, saya pun memutuskan untuk tidak memakainya lagi ke Danau Gunung Tujuh. Sedangkan sepatu, lumpur seperti membalur seluruh permukaannya dan membuat saya harus membersihkannya pagi ini agar tetap bisa saya pakai meski dalam keadaan basah. Di sela-sela waktu saya membersihkan sepatu ini, datang Yopie melakukan hal serupa dengan kondisi sepatu yang sama. Tak berapa lama kemudian, muncul Uul dengan sepatu bootnya berpura-pura membersihkan sepatu bootnya di dekat kami. Sepatu boot sebenarnya hanya kotor di bagian luarnya saja, dan walaupun bagian dalamnya basah, tetap saja akan lebih cepat kering dibandingkan dengan sepatu yang saya kenakan. Dengan tingkahnya itu, ia seakan-akan ingin mengatakan pada kami, "makanya pakai yang ginian, teruji di segala medan, hahaha".

Sembari menunggu mobil pick-up yang akan mengantar kami ke gerbang pendakian Gunung Tujuh, kami menghabiskan waktu dengan bercengkrama di depan rumah Bang Andy. Sebagai orang yang sering mendaki gunung, Agus Novan mengatakan, kalau tingkat kesulitan Gunung Kerinci ini termasuk yang paling sulit nomor dua yang pernah ia daki. Sedangkan nomor satunya adalah gunung Latimojong di Sulawesi Selatan. Mendengar cerita itu, niat untuk ke Latimojong akhirnya saya urungkan saat itu juga. Entah suatu saat nanti kalau saya berubah pikiran. Gunung Kerinci pun menampakkan keindahan dirinya di depan kami, yang disiram sinar matahari pagi tanpa awan yang menyelimutnya. Kemarin pada jam yang sama, kami berada di sana di puncaknya. Dan kini, kami menatapnya dengan penuh kepuasan mengenang semua hal yang berbau kemarin sambil menunggu angkutan ke Danau Gunung Tujuh, danau tertinggi di Asia yang berada di ketinggian 1996 meter.

Sekitar jam 10 pagi, kami berangkat menuju Danau Gunung Tujuh ditemani oleh Bang Andy. Di tengah perjalanan, kami berhenti di sebuah warung Padang untuk membeli bekal makan siang. Perkiraan kami sampai di sana saat waktu makan siang tiba. Jadi ibaratnya, pendakian kali ini tujuannya untuk makan siang di Danau, dan sehabis itu pulang kembali ke basecamp di rumah bang Andy.

Kami tiba di gerbang pendakian Gunung Tujuh 15 menit kemudian dari warung Padang tadi. Posisi rumah Bang Andy begitu strategis dalam menjangkau Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh ini. Di depan rumahnya ada Gunung Kerinci yang menampakkan diri, sedangkan Gunung Tujuh ada di belakang rumah beliau yang berjarak sekitar 30 menit dengan naik mobil.

Setelah melapor di pos pendakian, kami memasuki gerbang pendakian masih dengan menggunakan mobil. Dari gerbang pendakian, jalan yang dilalui masih bisa dilalui mobil. Hingga pada satu titik, mobil sudah tidak bisa menanjak lagi, kami pun memulai perjalanan dengan jalan kaki menuju Danau Gunung tujuh.

Di awal-awal kami melangkah, kami melewati kawasan bumi perkemahan. Tempat ini lumayan luas memanjang di sisi kiri kanan sepanjang kami berjalan. Tempat yang sejuk dan indah untuk berkemah. Tanahnya datar dan ditumbuhi rumput yang tidak terlalu tinggi. Di samping Tempat ini ada aliran sungai dengan air yang jernih di sisi kiri kami berjalan. Beberapa pohon tinggi yang berdaun lebat di sekitar sungai, membuat kawasan ini menjadi sejuk di kala matahari bersinar terik.

Jalur yang kami lewati di awal-awal ini masih berupa jalur yang bisa dilewati mobil. Jalur ini akan menyempit seiring kami berjalan dan menjadi satu jalur yang hanya bisa dilalui oleh motor dan pejalan kaki. Saat mencapai jalur ini, di sisi kiri kanan kami ada sebuah tugu yang lusuh tak terawat dan bertuliskan ‘Danau kurang lebih 5km’. Tak berapa lama kami berjalan, kami menemukan percabangan jalan. Arah Danau Gunung Tujuh ada di kiri jalur, sedangkan jalur sebelah kanan, entah mengarah ke mana, namun yang pasti masih bisa dilewati oleh motor.

"Selamat datang tanjakan", itulah ucapan saya ketika melihat percabangan ini. Dari sini jalur akan menanjak sampai ke puncak Gunung Tujuh. Banyaknya percabangan jalan di sini dan tak adanya papan petunjuk, membuat semakin pentingnya kehadiran mereka yang sering ke Danau Gunung Tujuh. Bang Andy, tak henti-hentinya mengarahkan kami untuk ke kiri atau ke kanan apabila kami menemui percabangan ini dan itu. Kami berdua belas bagaikan ternak bagi dia yang digiring menuju Danau. Ada satu dua orang yang ngeyel karena maunya berjalan santai sambil foto-foto. Tetapi melihat hari yang sudah mulai siang, pulang dalam keadaan gelap di Jalan pulang menjadi satu hal yang paling ditakutkan saat ini. Tak ada bagusnya jalan malam dalam keadaan turun gunung, apalagi sudah pernah merasakan sehari sebelumnya. Namun hal ini menjadi normal kembali, saat di depan sudah tak ada lagi percabangan jalan menuju puncak gunung tujuh.

Jalur tanjakannya kebanyakan berupa akar pohon yang berundak-undak dan tidak terlalu menanjak, sehingga relatif mudah untuk dilalui. Saya banyak menemui muda-mudi Kerinci menuju Danau ini dengan kostum sehari-hari. Mereka tak membawa apa-apa kecuali badan saja. Cara mereka berjalan semakin menguatkan kalau mereka sudah sering naik turun ke danau. Bahkan ada yang berjalan sambil menelpon mengabaikan pendaki lainnya seperti saya, yang menahan perih dalam melangkah akibat sisa pendakian kemarin. Mereka seperti menjadikan danau ini sebagai tempat bermain bagi mereka, tak ubahnya seperti mall kalau di kota.

Karena tak adanya percabangan lagi, maka kami pun bebas melangkah cepat atau lambat. Agus Novan, Ryan dan Agus Lion memutuskan berada paling depan dalam melangkah. Sedangkan sisanya ketinggalan jauh di belakang mereka. Aturan melangkah seperti sebelumnya kembali saya terapkan di sini, meski berjalan tanpa menggunakan kerir sama sekali. Kondisi kaki yang sakit membuat saya harus melangkah sambil menahan perih, ditambah lagi dengan kondisi badan yang terasa remuk. Sekali berhenti lama, maka akan membuat badan ini terasa kaku. Dengan aturan ini, akhirnya saya pun berjalan sendirian meninggalkan kawan-kawan lainnya yang sedang menikmati perjalanan dengan cara mereka sendiri.

Tanjakan yang dilalui sampai puncak Gunung Tujuh hampir tidak berubah sama sekali. Semuanya berupa undakan alami dari akar pohon yang masih bisa saya sebut sebagai tanjakan manusiawi. Sekitar satu jam sebelum puncak, hujan turun lumayan deras, tapi kali ini saya sudah siap dengan raincoat. Tak perlu lagi memakai jas hujan bekas yang dipungut di tengah jalan. Hujan pun akhirnya saya terobos dengan bahagia. Hal ini juga didukung dengan dingin cuaca yang mulai berkabut yang memaksa saya untuk terus bergerak.

Hujan mulai reda saat saya tiba di Puncak di ketinggian 2100 meter. Puncak Gunung Tujuh hanya berupa tanah datar yang cukup luas dengan pohon-pohon tinggi yang menjulang di sekitarnya. Pemandangan di puncak tak terlihat sama sekali akibat rapatnya dedaunan pohon-pohon di sekitarnya. Berada di puncak seperti ini membuatku berpikir seperti masih berada di jalur tanjakan. Namun, yang membuat tempat ini disebut puncak karena sudah tidak adanya tanjakan lagi di sekitarnya. Danau Gunung Tujuh ada di bawah dari puncak ini. Butuh sekitar 20 menit untuk menjangkau danau dengan menuruni jalur di sebelah kiri dari tempat saya muncul di puncak ini.

Jalur turun yang saya lewati seperti masih saudara dengan jalur Shelter 3 ke Shelter 2 Kerinci. Tingkat kesulitannya masih di bawahnya tentunya. Namun, turun dengan hati-hati di jalur ini seperti berpegangan pada akar ataupun berperosotan sering saya lakukan. Kondisi hujan yang turun sebelumnya, menjadikan jalur ini menjadi licin untuk dilalui.

Danau Gunung Tujuh mulai menampakkan diri saat saya menuruni jalur dari puncak setelah sekitar 15 menit. Airnya yang jernih terlihat jelas dari tempat saya berada. Sesekali saya melihat gunung-gunung yang mengelilinginya. Nama Danau Gunung Tujuh sendiri diambil karena ia dikelilingi oleh tujuh gunung. Langkah pun semakin berusaha saya percepat. Suara-suara pengunjung danau mulai terdengar satu per satu menikmati suasana danau. Saat tiba di sana sekitar jam 14:30, saya langsung mencari Agus Novan, Ryan dan Agus Lion yang sudah tiba lebih awal. Melihat mereka yang sedang menikmati suasana danau, saya pun mengeluarkan bekal makan siang dan menyantapnya di pinggir danau, sambil menikmati hamparan air danau tertinggi di Asia Tenggara di depan saya.

Tempat untuk menikmati keindahan danau ini termasuk lumayan sempit. Gunung-gunung yang mengelilinginya terlihat seperti belantara yang belum terjamah sama sekali, gelap. Hal ini didukung dengan cuaca mendung saat saya tiba di sana. Namun, awan gelap yang menutupi langit, terkadang berpencar memperlihatkan langit biru yang jernih, yang membuat danau terlihat lebih terang. Kondisi ini hanya sekejap saja karena dari arah timur, awan tebal gelap perlahan bergerak menuju kami. Ini seperti sebuah isyarat untuk segera menikmati pemandangan danau dengan cepat.

Jumlah pendaki yang memenuhi danau ini tidak terlalu banyak saat saya tiba. Hal ini mungkin karena, saya tiba di saat hari sudah mulai sore, hingga pendaki-pendaki lainnya mulai pulang satu per satu. Setengah jam kemudian, kawan-kawan lainnya minus Yopie tiba di danau. Satu per satu pun menikmati suasana danau dengan caranya masing-masing. Ada yang foto-foto, berenang maupun yang celingak-celinguk kesana kemari entah mencari apa. Awan gelap pekat semakin mendekat ke arah kami, membuat suasana danau menjadi suram. Tak berapa lama kami menikmati suasana danau seperti ini, hujan pun turun dengan derasnya. Kami berlindung di sebuah tenda flysheet milik seorang penduduk lokal yang berada di sana. Namun dalam kondisi hujan ini, masih ada juga yang berenang di danau, merasakan dinginnya air danau di kala hujan deras.

Saat berlindung di dalam flysheet, saya bertemu dengan seorang pemilik perahu di danau yang juga berteduh di bawah flysheet yang sama. Dia sering menawarkan jasa keliling danau atau menyusuri danau dengan perahu bagi para pengunjung danau. Dia mematok harga 300 ribu untuk sekali mengelilingi atau memutari danau, sedangkan kalau hanya sekedar ingin menikmati pemandangan danau di tengah danau di atas perahu, dia tidak memberitahukan biayanya secara detail. Dia hanya bilang kalau hal itu bisa ditawar, tergantung jumlah penumpangnya. Pemilik perahu ini tinggal di sekitar danau. Rumah beliau tidak terlihat karena berada di balik sebuah bukit dari tempat saya berada, di bagian sisi lain dari danau ini. Bang Andy sempat ke rumah beliau menggunakan perahunya hanya untuk mengambil air yang bisa diminum karena air danau, rasanya tidak terlalu bagus untuk diminum.

Hujan turun lumayan lama. Namun setelahnya, awan tebal masih terus menyelimuti langit hingga kami memutuskan untuk meninggalkan danau sekitar pukul 16:00. Hal ini untuk menghindari kemalaman di jalan pulang nantinya. Senter pun sudah saya persiapkan agar mudah saya jangkau saat ingin saya gunakan. Saya tidak ingin mengulangi kejadian kemarin, yang sulit mengambil senter karena posisinya jauh di dalam kerir.

Awal perjalanan pulang, kami dihadapkan pada tanjakan yang telah kami turuni sebelumnya. Tanjakannya cukup curam dan butuh ekstra tenaga untuk melewatinya. Agus Novan, Ryan dan Agus Lion berada paling depan di antara kami. Saya dan Yopie tertatih di belakang mereka bertiga. Hingga akhirnya saya pun berjalan sendirian menaklukkan tanjakan ini meninggalkan Yopie jauh di belakang. Suasana sekitar tanjakan cukup suram dengan keadaan yang berkabut tebal. Kesuraman ini semakin bertambah saat di depan saya muncul seekor burung gagak hitam bertengger di tengah jalur tidak jauh dari hadapan saya. Saat saya bergerak mendekat ke arahnya, ia malah menjauh dan masih bertengger di tengah jalur. Suasana ini cukup lama terjadi, hingga si burung gagak ini menghilang entah ke mana.

Antara percaya tidak percaya, burung gagak memang sering disebut sebagai simbol kesuraman. Apalagi menemuinya di tengah hutan berkabut seperti ini, ditambah lagi dengan keadaan saya yang berjalan sendirian membuat saya semakin berpikir yang aneh-aneh. Namun, seperti yang terjadi di Kerinci saat saya melihat seekor tupai yang menyeberang jalan di jalur pendakian, gagak ini hanya saya perhatikan saja, tanpa mempedulikan keberadaannya sama sekali, walaupun dalam benak saya sendiri berkecamuk tentang apa yang sedang terjadi saat itu. Menurut saya mungkin si burung gagak bingung mau terbang ke mana di tengah kabut tebal ini, hingga ia lama bertengger di tengah jalur dan berpindah saat saya sedang menuju ke arahnya.

Saya butuh waktu 20 menit untuk tiba di puncak Gunung Tujuh dari danau. Di sana sudah menunggu Agus Novan dan Ryan yang sedang menikmati suasana puncak yang berkabut. Sedangkan Agus Lion nampaknya sedang ‘menyetor sesuatu’ pada alam. Agus Novan ternyata baru tersadar kalau jaketnya ketinggalan di sekitar danau. Kami bertiga pun berusaha menghubungi kawan-kawan lainnya yang masih di belakang lewat telepon. Namun, tak ada satupun yang menjawab panggilan telepon kami. Akhirnya Ryan pun memutuskan untuk kembali ke danau mengambil jaket milik Agus Novan ini. Tanpa bisa dicegah lagi oleh Agus Novan karena merasa tidak nyaman merepotkan orang lain, Ryan terus berlari meninggalkan kami menuju danau.

Tak berapa lama kemudian, Agus Lion muncul dengan perasaan yang lega setelah selesai berurusan dengan isi perutnya. Setelah itu, Yopie pun tiba di puncak juga. Melihat waktu yang sudah sore, Yopie mengajak saya untuk jalan duluan, mengingat cara kami melangkah termasuk yang paling lambat di antara kawan-kawan lainnya. Agus Novan pun menyuruh kami bertiga untuk jalan duluan. Ia memutuskan untuk menunggu Ryan dan akan menyusul kami kemudian. Dari kami semua, Agus Novan dan Ryan yang paling cepat jalannya. Dan saya tak meragukan hal itu saat dia berkata demikian untuk segera menyusul kami nantinya.

Saya, Yopie dan Agus Lion kembali melanjutkan perjalanan pulang meninggalkan Agus Novan sendirian di puncak. Perlahan kami bertiga menapaki turunan undakan demi undakan alami yang dibentuk oleh akar-akar pohon. Kami juga harus sedikit berhati-hati melewatinya akibat kondisinya yang licin sesudah hujan turun. Tak berapa lama kemudian, Agus Novan berhasil menyusul kami dan mengatakan kalau jaket beliau dibawa oleh Bang Andy. Ia pun kembali melangkah paling depan di antara kami bertiga. Setelah itu, Ryan pun muncul juga menyalip kami bertiga. Agus Lion tampaknya tidak mau kalah dari mereka berdua. Ini terlihat dari langkahnya yang terus mengejar mereka. Yopie pun demikian, walaupun di belakangnya hanya ada saya, namun ia masih masuk dalam radius penglihatan saya walaupun jarak antara saya dengan dia cukup jauh. Sesekali Agus Novan berteriak di depan untuk memastikan yang di belakang tidak bermasalah dalam melangkah. Karena saya yang paling belakang di antara rombongan kami berlima ini, saya pun berusaha membalas teriakannya.

Ritme langkah keempat kawan di depan saya sangat cepat mengejar Pos Pendakian guna menghindari gelap yang sebentar lagi akan tiba. Saya berusaha menyesuaikan diri dengan ritme langkah ini. Dengan cara ini, saya tidak merasakan sakit pada kaki dan dengkul seperti yang biasa saya alami ketika sedang menapaki jalan turun. Nafas pun masih bisa saya kendalikan. Mungkin karena saya tidak membawa beban di punggung, sehingga bisa mempercepat langkah.

Di depan saya, bukan Yopie lagi yang berada di sana, tapi Ryan. Dia sepertinya sedang bermasalah dengan sandal gunungnya. Yaa, sandal gunung yang dikenakannya putus dan akhirnya dia pun melangkah tanpa alas kaki. Dia sepertinya tidak terbiasa berjalan dengan kaki telanjang seperti ini. Ritme langkahnya berubah menjadi 180 derajat, yang awalnya cepat, sekarang jadi pelan tertatih meniti jalan turun yang lumayan licin jika tidak memakai alas kaki. Beberapa kali saya melihatnya terpeleset dalam meniti jalan turun ini. Dengan kondisi ini, ia pun terkadang perosotan agar tidak terpeleset. Saya hanya melihatnya dari belakang tanpa ekspresi apapun, namun dalam hati saya hmmm… sepertinya saya tersenyum licik. (Sorry, I can do nothing :D)

Tak berapa lama kemudian, kami pun bertemu dengan percabangan demi percabangan jalan. Agus Novan yang masih mengenali jalan yang benar dari percabangan ini, terus berteriak membimbing kami yang berada di belakang dan memastikan kami melewatinya dengan benar. Adegan teriak-teriakan ini lumayan lama terjadi hingga kami keluar dari hutan dan berada di tempat yang terbuka. Ketika berada di tempat ini, saya mulai yakin kalau kami berada di jalan pulang yang benar. Ryan dengan kondisinya yang tidak memakai alas kaki, memilih untuk berlari menuju gerbang pendakian. Ia lebih bisa mengurangi rasa sakit pada telapak kakinya jika ia berlari dibandingkan dengan berjalan biasa. Saya dan Agus Novan pun berjalan beriringan menuju gerbang pendakian, sementara yang paling belakang ada Agus Lion yang sedang sibuk dengan urusannya mencari batu-batu sungai untuk dikoleksi dan dibawa pulang ke Jakarta. Sedangkan Yopie sudah tidak Nampak lagi bulu hidungnya. Sepertinya ia jadi juara pertama dalam melangkah menuju gerbang pendakian.

Saya dan Agus Novan berada di jalur bumi perkemahan ini sekitar pukul 17:30. Kami yang sebelumnya diselimuti kabut di dalam hutan, kini disuguhi dengan langit sore yang nampak indah sehabis hujan. Sepanjang jalan hingga tiba di gerbang pendakian, saya dan Agus Novan saling bercerita tentang pendakian-pendakian yang pernah kami lakoni, kebodohan-kebodohan kami dalam mendaki, persiapan dan logistik dalam mendaki, ataupun tentang mimpi tentang mendaki gunung-gunung yang lainnya. Berbicara tentang gunung dan petualangan dengan Agus Novan tak akan ada habisnya, termasuk untuk menyelesaikan mendaki gunung tertinggi di tiap pulau besar Indonesia. Saya sempat menyinggung tentang kapan mau ‘pensiun’ dari kegiatan mendaki gunung ini. Dia cuma tertawa menanggapi istilah ‘pensiun’ ini, dan berkata, “jangan harap pernah bisa pensiun dari mendaki jika gear pendakianmu masih ada bersamamu." Obrolan kami menjadi buyar saat menyaksikan Kerinci di depan kami yang nampak megah di langit menjelang maghrib ini. Saya pun berhenti sejenak untuk mengabadikan pemandangan ini sambil menunggu Agus Lion yang berada jauh di belakang kami.

Sekitar jam 6 sore, kami bertiga tiba di gerbang pendakian Gunung Tujuh. Di sana kami menemui Yopie dan Ryan yang sudah tiba lebih awal. Suasana pos pendakian ini cukup ramai dengan pendaki yang baru saja turun dari danau menunggu kendaraan yang akan mengangkut mereka ke basecamp mereka. Di depan pos pendakian ada warung kecil yang baru dibangun. Warung itu menyajikan teh, kopi dan segala macam makanan ringan lainnya. Kami pun memutuskan memesan teh hangat dan pop mie. Suasana yang lumayan dingin menjelang maghrib ini sangat pas untuk meneguk teh hangat dan makan pop mie sambil menunggu kawan-kawan lainnya tiba. Saat sedang menikmati suguhan ini, mobil pick up yang akan mengangkut kami kembali ke rumah Bang Andy juga datang.

Rombongan kawan-kawan lainnya baru tiba pada jam 7 malam. mereka masih sempat minum teh hangat saat tiba di sini. Setelah itu, Bang Andy akhirnya kembali mengomando kami untuk segera naik ke mobil dengan alasan seperti kemarin bahwa semuanya sudah disiapkan dirumahnya. Bagai ternak yang dicocok hidungnya, akhirnya kami pun semuanya menurut.

Laju mobil dalam perjalanan pulang ke rumah Bang Andy malam ini tidak sekencang kemarin karena jalan yang dilalui tidak sebagus yang kemarin. Tak ada terpaan angin malam pada badan kami. Yang kami rasakan justru perihnya guncangan pada tubuh kami yang sudah pegal-pegal duluan yang diakibatkan laju mobil ini. Ada-ada saja cara pak Supir mengerjai kami.

Sekitar jam 8 malam akhirnya kami tiba di rumah bang Andy. Ritual semalam pun kami ulangi kembali malam ini. Rebutan kamar mandi untuk bersih-bersih, makan malam dan nongkrong di teras rumah. Setelah semua ritual itu selesai, satu per satu dari kami pun tumbang, tidur bergelepakan.

Alhamdulillah kami sudah menginjakkan kaki di Puncak Kerinci dan Danau Gunung Tujuh, dua tempat favorit bagi para pendaki di Pulau Sumatra. Terbayang kembali awal perjalanan hingga bisa sampai di titik sekarang ini. Jadi gembel di bandara Soetta semalam, kehilangan bagasi di Bandara Minangkabau, tidur pulas dalam perjalanan Padang-Palompek di dalam mobil yang melaju dengan gila, nyasar sebelum tiba di rumah Bang Andy, tanjakan Kerinci dari Shelter 2 ke Shelter 3, jalur ke puncak dan puncak Kerinci yang ramai dengan pendaki, kehujanan dan kemalaman di saat turun dari Kerinci, cara mandi yang begitu heroik dengan kondisi badan yang 'remuk', Danau gunung tujuh yang hanya terang sesaat saat berada di sana untuk kemudian hujan dan berkabut. Tak terasa semuanya telah berlalu dalam sekejap dan esok pun kami akan mulai melakoni perjalanan pulang, kembali ke tempat asal masing-masing dan kembali ke aktivitas rutinitas sehari-hari.

Photo 

Tampang Sepatu Saya Sebelum Dibersihkan

Penampakan Kerinci Dari Depan Rumah Bang Andy.
(Anjing pun pengen jadi model) :D

Gerbang Pendakian Gunung Tujuh, Pos-nya Ada Di Sebelah Kanan Foto.
(Ayam pun pengen jadi model) :))

Para Turis Danau Gunung Tujuh

Setelah Melewati Tugu Penanda 5 km

Jalur makin lama makin menyempit

Puncak Gunung Tujuh, yang tidak kelihatan seperti puncak

Penampakan Danau Untuk Pertama Kalinya Setelah Dari Puncak.

Jalur Dari Puncak Ke Danau

Danau Gunung Tujuh

Agus Novan Lagi Sholat di atas batu

Batu Tempat Yang Ada Orang, Itu Spot Terbaik Buat Foto-Foto

Menyusuri Danau Dengan Perahu

Bingung Mau Kasih Caption Apa :d

Lagi Mainin Kamera, biar Orangnya Kelihatan Jelas :p

Masih Mainin Kamera Biar Orangnya Kelihatan Jelas :d
(Masih Gak jelas juga, akhirnya nyerah juga) :))

Anak Orang, Mau Terjun Ke Danau :))

Yang Lain Pada Kedinginan Di Bawah Flysheet,
Dua Orang Ini Malah Hangat-Hangatan Di Tengah Danau

Bang Andy Mendayung Ke Rumah Yang Punya Perahu

Bang Andy Mendayung Kembali Dari Rumah Yang Punya Perahu

Judul Caption-nya Sama Dengan Yang Sebelumnya :d

Kerinci Di Sore Hari. (Dalam Perjalanan Pulang Ke Pos Pendakian Gunung Tujuh)

Kerinci Menjelang Maghrib (Di Pos Pendakian Gunung Tujuh)

Nb: Lama pendakian dari Pos Pendakian Ke Puncak Gunung Tujuh sekitar 2 - 3 jam. Dari Puncak ke Danau Gunung Tujuh sekitar 30 menit. Turunnya, dari Danau ke Pos Pendakian sekitar 2 jam.

10 comments

Reply Delete

ntah kenapa bagian yang paling lucu adalah saat baca caption foto-fotonya. kehabisan ide bener dah nih orang. hahahaha =)) :)) :D

Foto bang Andy dayung perahu dan bang Andy dayung perahu dan bang Andy dayung perahu dan banyak orang naik perahu itu keren!!!
Kalo pengen orang yang didepan kelihatan, nyalakan aja flashnya, tapi speednya dibuat tinggi. Jadi cahaya ga terlalu terang tapi yang didepan bisa lebih terang gitu. Hehe..
Emang kecenderungan kalo ada obyek dekat, jadi gelap gambarnya karena menyesuaikan dengan background. karena itulah flash dibutuhkan ;)

Mmmh,. kirain danau gunung tujuh cuma naik mobil langsung sampek. Jadi mikir kalo mau kesana. Hahaha.. Eh, apa baiknya ke danau dulu baru ke kerinci ya? supaya ga capek capek banget gitu :D

Reply Delete

Udah mumet buat postingannya... :)) Jangankan kamu yang baca caption-nya, saya aja buat caption-nya sambil ngakak... =))

Bang Andy Kereeen???? Entar saya sampaikan pada orangnya.... :))

Objeknya itu lumayan jauh lohhh... Perasaan saya udah mainin Flash ama speed-nya. Malah sempat dipakai juga ama yang jago moto... tetap aja hasilnya gelap...

Kalau danau naik mobil terus sampe yaaaa... DANAU DI BAWAH :)) Biasamya sih Kerinci dulu baru Danau... Kalau dibalik, belum pernah dengar ada pendaki luar yang mencobanya. Atau jangan-jangan kamu pengen nyoba, Danau dulu terus Kerinci?? :D

Reply Delete

Fotonyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa... XD
Eh,. sama Yopy kasi tau yak, kayaknya asik tuh diajak naik gunung bareng. Selowwwww... hehe. Cuma bedanya, kalo aku, jalan lambat istirahat juga lama *plakkkk :))

Belum ada flashnya itu, ga kelihatan. Ato speednya terlalu tinggi. Apa itu kamu zoom pas ambil gambar? Kalo iya mah pantes aja. flash + zoom jadinya kacau. Hehehe...

Reply Delete

Fotonya Bang Andy?? :D

Yopie mah jalannya cepat, tapi cepatnya itu yaa segitu ituuu... :D

Iya di zoom lahh..., kalau yang moto dekat objeknya, malah bisa ikutan nyebur ke danau jadinya... :))

Reply Delete

iyaaaa,. foto bang Andy yang lagi dayung perahu :">

Hahaha... se'nggaknya kayaknya top speed kami sebelas duabelas laahh :D

Ohh,. pantes. Agak susah emang kalo di zoom. Apalagi G series yang range ngezoomnya jauh bangett. Ada plus minusnya sih emang :D

Reply Delete

gak tahu mau balas komen apa lagi :))

Reply Delete

ohh ini yang katanya balas komen datar? :p

Reply Delete

Gak bisa balas lagi... Tombol Replynya udah ga ada... :))

Reply Delete

Hoia. hahhahaha... sukurin :p
ternyata ada limitnya juga ini komen ya. ckckckck

Reply Delete

gak ada limitnya kok.. cuma saya batasin aja sampai tujuh turunan hahaha

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs