Recent Comments
Loading...
Recent Comments

Terlantar di Sudut Malam

03 January 2012

Terasing Di tengah Belantara

Tak ada rencana bahwa kita harus berada di sini. Tetapi, kenyataan menghempaskan kita berada di sini. Entah harus menyebut tempat ini hutan belantara atau padang yang luas, tetapi langit cukup terlihat terhampar luas di atas sana pada malam itu. Cerah karena cahaya bulan yang bersinar remang. Bintang? ah, mereka memang selalu muncul di tiap malam di daerah seperti ini, mungkin hanya sebagai penghias langit. Pohon-pohon berkelebatan, mungkin karena dengan daun-daunnya yang rapat, mereka terlihat suram di depan kita. Semuanya cukup jauh dari tempat kita berada. Tak ada cahaya sama sekali di sana. Bulan yang memberikan sinarnya pada kita untuk melihat di malam itu, tak bisa menembus pekatnya gelap di sana. Sedangkan kita, duduk terdiam di sini, di pinggir jalan yang belum jadi. Jalan yang dulunya bagian dari pohon-pohon itu. Sisi kiri kanan kita banyak pohon yang bertumbangan, mungkin hanya untuk mempercantik sisi jalan ini nantinya.

Kita terdampar di sini, di tempat yang sangat asing bagi kita. Kita sering bertemu dengan suasana seperti ini, tetapi semuanya dengan rencana di mana diri ini telah dipersiapkan sebelumnya. Sekarang, naluri alami kita sedang diuji, sampai di mana kita mampu bertahan. Kendaraan yang kita tumpangi tak bisa membuat kita melanjutkan perjalanan. Dari awal perjalanan, kita sangat menikmati jalan-jalan yang dilaluinya. Tetapi, di tengah perjalanan, di tempat yang suram ini siang tadi, tiba-tiba saja ban belakang sebelah kanan kendaraan yang kami tumpangi harus terlepas dari sumbunya. Cuma goncangan kecil yang kita rasakan di dalamnya. Kami tak mau menyebutnya sebagai sebuah kecelakaan. Karena melihat ban itu melaju mendahului badannya, membuat kita terkekeh-kekeh, mengingatkan kita akan sebuah adegan film Warkop yang jadi kenyataan di depan mata kita. Kita yang satu rombongan terpaksa harus membagi tugas, ada yang harus kembali lagi ke kota yang jaraknya puluhan kilometer dari tempat ini untuk mereparasi bagian kendaraan itu dan ada yang harus terjaga di sini, menjaga semua perbekalan yang kami bawa beserta kendaraan badut yang ngambek itu. Cukup menghibur hingga buat kita tak sadar bahwa ada sesuatu yang mencekam sedang menanti kita selanjutnya.

Malam itu, kita tidur beratapkan langit. Menatap ke atas, menikmati hamparan luas langit itu hingga membuat kita seakan melayang. Semua yang ada di sekitar kita tak cukup untuk mempersempit pandangan kita tentang langit di malam itu. Ini bukan khayalan tentang suasana di gurun pasir. Entah bagaimana lagi membahasakannya. Kami cuma mencoba meyakinkan diri ini, bahwa kita tak sendiri di sini. Cukuplah kita bersikap waspada terhadap sekitar kita. Cerita tentang keberadaan binatang buas, seperti babi hutan dan beruang di daratan ini atau cerita mistis tentang jembatan yang kita lalui sebelumnya yang meminta tumbal manusia untuk pembangunannya harus membuat kita tetap siaga. Percaya atau tidak, kita harus tetap percaya, karena daratan ini bukan tempat bermain kita sebelumnya. Kita hanya mencoba beradaptasi dengannya.

Pandanganku terpaku pada seorang kawan yang murung dan terdiam. Tak seperti biasanya, malam itu ia terdiam menatap kilatan api unggun di depannya. Kata-kata yang selalu meluncur dari mulutnya, biasanya mampu hempaskan sunyi di tengah keterdiaman di sekitarnya. Tak terlihat nasehat dari gerak geriknya malam itu. Geraknya selalu membisikkan bahwa tubuhmu harus bergerak, halau dingin yang mulai menusuk tulang, usir lamunan yang mulai menguasai pikiran. Semua itu bisa membuat kita lupa akan kepahitan yang kita rasakan, lupa pada hantu yang bisa membuat kita kesurupan di tempat seperti ini. Dan ketika aku mencoba memberanikan diri menanyakan tentang apa yang terjadi, ia hanya menunjukkan salah satu pesan yang masuk di telepon genggamnya sebelum kami berangkat mengarungi perjalanan ini.

 Lalu, sejauh batas ia menabung langkah.
Mencari... Ia mencari arti di hamparan batu-batu kering kebencian.
"Kesucian itu ada di sini" ucapnya lirih.
Lalu siang dan malamnya terlantar di sudut-sudut hati yang hampir mati.
Sesekali desir napasnya terselip untaian doa yang rela...
"Tuhan, sekiranya Engkau selalu bersamaku..."
***Anonim***

Entah dari siapa pengirimnya. Apakah ada hubungannya dengan kejadian yang kita alami hingga kita bisa seperti ini. Entahlah... Aku cuma terpukau dengan untaian kalimatnya. Beberapa kali aku baca, tak mampu aku selami maknanya. Tak ayal, pesan misterius itu malah ikut membuatku terdiam dan tak tahu harus berkata apa. Aku mencoba menebak bahwa ia sedang mengkaitkan kejadian yang kita alami dengan pesan itu. Aku sadar bahwa pikiran kita sedang dipermainkan. Tak seharusnya kita percaya pada sebuah takhayul. Kenyataan adalah kenyataan, dan faktor kebetulan itu terkadang hadir di dalam kenyataan itu. Faktor itu kadang membuat kita merasa beruntung, dan kadang membuat kita merasa rugi hingga berujung pada penyesalan. Tempat seperti ini bukan tempat yang tepat untuk mencari jawaban dari pertanyaan, yang mana yang harus kita yakini kebenarannya. Aku pun berpikir bahwa meresponnya dengan serius bukanlah cara yang tepat dalam menanggapinya. Sesaat kemudian akupun mencoba menghilangkan sepi dengan berucap sinis padanya, "Sudut-sudut hati itu seperti apa yaa?? Kesucian itu seperti apa yaa?? Kebencian pada batu-batu kering itu seperti apa yaa?? Langkah yang ditabung bagaimana cara menghitungnya ya?? Ada bunganya ga yaa?? Berapa persen?? Kalau langkah didepositokan bisa ga ya?? Kena pengaruh inflasi ga yaa??" Sekelumit pernyataan eh pertanyaan sarkastis meluncur dari mulutku. Satu kawan merespon dengan jawaban konyolnya, kawan lainnya merespon dengan tawanya, dan yang terdiam cuma kendaraan pincang di samping kita. Dan syukur semua buat suasana menjadi hidup kembali, tak lagi sepi. Banyolan demi banyolan pun keluar meramaikan malam itu mengalahkan suara dendangan binatang malam.

Nyala api unggun semakin lama semakin meredup. Ranting-ranting dan potongan kayu yang kami kumpulkan perlahan-lahan mulai habis untuk membuat api unggun itu terang kembali. Hangatnya malam itu oleh api unggun itu semacam membuat kita lupa akan keberadaan kita di daerah antah berantah itu. Tertawa, menertawai kebodohan, berandai-andai kalo ini itu tidak kita lakukan tentunya tak akan pernah membuat kita berada di sana. Konyol tapi tak sia-sia, karena syukur tak ada babi hutan yang melintas, tak ada beruang yang berburu mangsa, dan tak ada santet yang beterbangan mencari tumbal. Yang ada cuma tawa, tawa dan tawa. Tak terasa malam kian larut dan kita harus terlelap. Jam di pergelangan tangan menunjukkan bahwa 4 jam lagi matahari akan menyingsing di ufuk timur sana. Empat jam lagi kita harus menanti kabar dari kembalinya kawan kita yang sedang berada di kota, membetulkan bagian kendaraan yang rusak. Tertawa memang menguras energi di malam itu dalam sebuah keakraban. Sebuah pelajaran bahwa kalau mau menghemat energi lebih baik tak usah tertawa.

39 comments

Reply Delete

paling suka pas adegan tidur beratapkan langit ^^
--puisinya tersirat sekali, semakin bertanya semakin bingung
hahahahahaha =D

Reply Delete

Eh dua orang ini lagi... cuit cuit :p

well, saya sam mbaca ini langsung ngiler rindu travelling. aaah dasar kamu yah! Tidur beratapkan langit bersama orang-orang yang memandang hidup dengan cara yang berrbeda. maniss ;)

Well tulisan ini, seperti biasa dirimu sekali...

Reply Delete

"tidur beratapkan langit, menatap keatas, menikmati hamparan luas langit...." aaahh.. romantisnya... hihihi..
eh klo aku sih bisa2 masuk angin tuh.. hehe..

Reply Delete

Sam
hahahahaha. . .kau ini
memang kenyataannya tidak sendirian kan. . .lagi pula kau juga berada di bawah langit yang sama denganku :p

Reply Delete

Sam, saya udah kirim buku Gie ke emailmu, dicek ya. Udah sampe belum? :)

Reply Delete

Banyak nyamuk gak tidur di luar malam-malam? *nyut

Reply Delete

mendadak lupa mo komen apa, begitu radarq memindai nama gie di komentar. buku gie-nya mau dungs mbaakk ayuuuuu...

sam!!! sam!!! sam!!! klo dak inbox k saya. qt putus!!! #setress..

gra2 lupa mo komen apa, sya malah ingat pas tidur beratapkan langit beralaskan tanh jaman latihan dasar militer dan tidak tanggung2 tanahnya tanah kuburan. syukurnya rame2an dan kelelahan bkin tidur plek gitu ja. itu kli pertama sya dak takut padahal berada di t4 yg notabene kata org kebanyakn ladang horor.

Reply Delete

ckckckkckckc...tidur beratap langit sambil menatap bintang...haha seperti biasa tulisan nya berat euy..tepok jidat

Reply Delete

Hahahaha. ini tulisan yang paling bisa ku mengerti sejauh ini dari baca postingan2nya :D

Kebersamaan di depan api unggun. kapan yah bisa merasakannya lagi :o

Reply Delete

SMS dari anonim nya puitis banget ^^

Reply Delete

akhirnya selesai juga baca postingan ini!!! setelah beberapa kali mencoba membaca namun selalu terhenti di tengah jalan.

hemmmm...
tertawa emang bikin capek. makanya gak usah ngakak, pake smiley aja yahhh =))

seberapapun terbiasanya berada di luar, rasanya ketakutan dan kekhawatiran akan selalu ada. karena mungkin, tak banyak dari tempat dibumi ini yang patut kita sebut sebagai 'rumah sendiri' :)

Reply Delete

sam, kali ini yang dhe tangkep cuma pas bagian "tak seharusnya kita percaya pada takhayul".. hmm, sebenarnya dhe juga gk percaya, tapi setelah melihat penampahan tangan itu, dhe jadi percaya.. hahahahaha.. komennya rada oot yaa?? biarin aja wes, daripada jadi silent rider :p

Reply Delete

kagak kuat ama kata2 yg terkahir bobot bahasana berat n keren

Reply Delete

permainan kata2nya harus kuakui.... dahsyat, mantab...
ruang belajar yang indah bagi saya....:)

Reply Delete

duh... malah senang dengan adegan itu. Senang lihat orang menderita yaa dirimu?? X-(

Puisinya memang baguss... tapi sayang punya si Anonim yang saya tak tahu siapa sebenarnya beliau... Dirimu mau mengklaimnya?? :D

Reply Delete

hahahaha =D bukan.. bukan.. habisnya aku suka melakukan hal itu kalau sedang di luar ^^

eh? kok malah aku? (-__-)> itu bukan kata-kataku~ terlalu bagus untukku deh~

Reply Delete

ha?? :o suka memandang langit sambil rebahan gitu??? hati-hati masuk angin yaaaa....wkwkwkkwkwkw

Iya emang terlalu bagus untukmu, ga usah diklaim kalo begitu... :p aku nyebutnya si Anonim aja kalo begitu.. :))

Reply Delete

iyaa... kan sudah saya bilang, si Maya itu paling heboh kalo jadi komentator...=))

ini bukan traveling kok, tapi ini jalan-jalan yang setengah gagal di pertengahan jalan... tapi maaf yaaa ga ada bukti gambarnya, jadinya cuma bisa berceloteh saja. Maklum saya bukan potograper seperti dirimu... :p

semoga tulisan ini tidak membingungkan para pembaca sekalian... :))

Reply Delete

iyaa kan bagus itu (>__<)/ rasanya seperti bisa menggapai apa-apa yang ada di langit ^^ kalau masuk angin ya mau gimana lagi, ahahahaha

ckckck, terlalu bagus untukku~ padahal tadi bilang boleh aku klaim, bener-bener deh.. si anonim ambil.. ambil.. ambil..

sudah ahh~
met beraktivitas ^^

eh kak cyaamm, ahahaha~ bukan cuit cuit kakak, biasa~ waktu bloggingnya sama pas selesai subuhan~

Reply Delete

wkwkwkwkwk.... selamat beraktivitas juga yaaaa.... kalo ketemu si Anonim bilang yaaa kalo puisinya aku pampang di postinganku, sapa tau dia mau mengklaimnya :))

Reply Delete

hehehe... bisa aja... di bawah naungan langit yang sama, tapi di tempat yang jauh berbeda... :))

Reply Delete

harus dengan apa lagi aku harus menyerdahanakan bahasaku... :(

Reply Delete

emailnya udah sampai dan sudah saya download... ma kasih yaaa... :)

Reply Delete

banyak bro.. nyamuknya gede-gede lagi.. tapi ga kerasa gigitnya, paginya aja langsung bentol-bentol tuh badan.. hahaha... semalam diperkosan nyamukk...:))

Reply Delete

romantisme kebersamaan... :D
masuk angin kan ada tolak anginn..heheh :))

Reply Delete

tapi sayang puisinya buka punyaku... Awa mau mengklaimnya??? :D

Reply Delete

tetap di pijakan bumi yang sama juga kan ahahahahahaha :p

Reply Delete

buku gie-nya sepertinya dirimu sudah punya...

Alhamdulillah kalo sudah ngerasain, berasa jadi gembel kan??? dan efeknya tentunya luar biasa di saat ini... :))

Reply Delete

duh mmasiiiihhhh juga dikata berat.. harus dengan cara apa lagi saya harus menyederhanakannya?? :(

Reply Delete

komennya sangat bertolak belakang dengan punya Tia.... akhirnya ada juga yang bilang bisa di mengerti... :D

kebersamaan dalam api unggun memang indah.... hehe yang jauh mendekat, yang mendekat merapat, biar hangat... :)

Reply Delete

puitis dan buat merenunggg... :)

Reply Delete

hahahaha @_@ sayang sekali~ aku tak bertemu anonim.

Reply Delete

ya sudah kalo begitu... aku klaim aja dulu untuk sementara puisinya... :))

Reply Delete

mencoba membaca namun selalu berhenti di tengah jalan??? :O gimana ceritanyaa?? :O

mari menghemat energi dengan nyengir.. :D

iyaa.. sepakat.. justru orang yang ga punya rasa takut sama sekali itu yang justru paling berbahaya. Dan tentang tempat yang kita sebut 'rumah sendiri' itu, kita hanya mencoba beradaptasi dengannya... :)

Reply Delete

hahahahha... ini efek dari melihat penampakan tangan itu yaaa... narsis juga yaa makhluk halusnya... ato jangan2 kameranya yang canggih, bisa nampakin yang halus-halus..

Kalo buat saya sih, kalo memang itu takhayul yang ga tau bener ato ga, kalo memang ada yoo wess, cukup tau aja kalo itu memang ada, tapi dalam kasusmu kalo ngeliat yang gitu2an yaaa liat aja.. ga usa berpikiran yang macam-macam.... :)

Reply Delete

turunin bang kalo ga kuat... entar pegel-pegel kalo diangkat mulu.. :))

Reply Delete

Kayanya 'dahsyat dan mantap' itu padanan katanya 'berat dan bikin pusing', bener ga mas?? :D

Syukur deh kalau ruang ini bisa menjadi ruang belajar yang indah... :)

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs