Recent Comments
Loading...
Recent Comments

Penghapus + Bambu = Apotek + Pisang Goreng

31 October 2012

pohon kelapa

Salah satu hal yang paling nikmat dalam alur hari itu adalah saat sehabis mandi setelah seharian bergelut dengan aktivitas, apalagi saat itu adalah saat di sore hari ditambah dengan suasana yang cukup cerah, jauh dari hiruk pikuk kendaraan, menyaksikan satu dua orang yang lewat di luar sana, di sini di beranda sebuah rumah.

"Segerrrrrr...", Kata seseorang sambil mengucek-ngucek rambut yang masih basah dengan selembar handuk.

Ternyata ia tidak sendirian berada di beranda itu. Ada satu orang lagi yang sedang duduk terdiam di kursi di samping pintu masuk. Adalah hal yang wajar kalau dia terdiam karena dia sedang sendirian di beranda itu yang hanya ditemani oleh segelas kopi di atas meja di sampingnya, dan sebatang rokok yang terselip di ujung jarinya. Ia baru saja tiba sesaat tadi, sehabis bergelut dengan aktivitasnya seharian, dan belum sempat membersihkan diri. Tampng kucelnya masih belum terbasuh dan dia lebih memilih untuk rehat sejenak di beranda itu sebelum beranjak pergi untuk membersihkan badan.

Lamunannya pun buyar setelah mendengar suara tadi. Pandangannya beralih ke sosok yang baru saja keluar dari dalam rumah. Dengan sebuah setelan sarung sebagai pengganti celana dan baju kaos lusuh serta selembar handuk yang dikucek-kucekkan ke kepalanya, berhasil membuyarkan nikmatnya menghisap rokok, nikmatnya mereguk kopi hangat secara perlahan di sore hari dan nikmatnya duduk menarik napas dengan kedua kaki di tekuk ke atas yang juga diletakkan di atas kursi, seolah-olah lantai sedang kebanjiran.

"Habis ngapain pake sarung?", ia pun memulai sebuah obrolan sekedar basa-basi, mungkin agar tak terlihat seperti orang aneh yang kurang kerjaan.

"Kagak..., biar seger aja. Celanaku kotor semua, dan yang dicuci belum kering sampai sekarang. Sekalian pengen 'absen' juga.", jawabnya menimpali pertanyaan yang baru saja di dengarnya setelah menyadari ia tidak sendirian berada di beranda itu.

"Absen??? Tumben-tumbenan kamu 'absen'. Habis kerasukan apa kamu? Emang masih didengar gitu? Atau jangan-jangan kamu habis...??", rentetan pertanyaan mengalir begitu saja dengan setelan bercanda ala si manusia kucel.

"Hahhh...??? Kok aku jadi keliatan aneh gini ya di matamu? Mungkin cuma aku jarang pake sarung saja di hadapan orang-orang, jadi keliatan seperti orang bener yaa, kau lihat? Hahahha..." jawab si manusia bersarung juga dengan candaan.

Bercanda adalah hal yang lumrah bagi mereka yang sama-sama perantau di daerah itu. Apalagi mereka cuma bagian kecil dari satu atap yang mereka sewa di tempat itu. Sedangkan anggota lainnya masih di luar sana, menyelesaikan pekerjaannya masing-masing. Jika semuanya sudah berkumpul, satu atap ini bisa berubah menjadi pasar yang tiba-tiba menjadi ramai layaknya adu alot penjual dan pembeli dalam tawar-menawar barang. Mungkin ini salah satu alasan untuk lebih bisa menikmati suasana yang belum cukup ramai ini.

Mereka berdua pun tenggelam dalam obrolan-obrolan ringan yang kadang ucapannya tidak terpikirkan sama sekali. Ketika keduanya sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba dari dalam rumah, keluarlah satu sosok lagi yang juga masih dengan kostum perangnya. Ia tampak seperti ingin bergabung dengan kedua orang tadi. Dengan bekal sebuah piring yang berisi pisang goreng di tangan kirinya, dan sebuah handphone di tangan kanannya, ia pun akhirnya menjadi penghuni ketiga beranda di sore hari itu. Tetapi, karena terbatasnya kursi yang ada di beranda itu, jadilah dia duduk melantai di ujung halaman sambil bersandar pada salah satu tiang bangunan yang jaraknya tidak jauh dari tempat mereka berdua duduk.

"Ada kabar apa Pak dari pusat?" satu pertanyaan terucap yang ditujukan pada manusia dengan pisang goreng dan handphone yang baru bergabung itu.

Belum sempat ia merespon pertanyaan itu, tiba-tiba bunyi dering handphonenya membuatnya urung menjawab pertanyaan itu. Ia pun lebih memilih merespon bunyi dering handphonenya dari pada menjawab pertanyaan itu. Ia pun terlibat pembicaraan sengit dengan seseorang di balik handphone itu. Sedangkan, mereka berdua yang sedari tadi berada di situ, tak tahu ia sedang membicarakan apa. Nampaknya seperti hal yang sangat super serius.

Nada suaranya mulai meninggi menimpali si penelepon itu. Sementara piring yang berisi pisang gorengnya masih terjepit di sela-sela jari tangan kirinya. Merasa sedang disaksikan oleh dua makhluk yang berada di situ, ia pun memutuskan beranjak pergi dari beranda itu, sementara piring yang berisi pisang gorengnya ia letakkan di atas meja di samping segelas kopi yang sedari tadi nangkring di sana. Dan mereka berdua yang masih berada di sana, kembali terlibat dalam obrolan-obrolan ringan. Obrolan mereka tidak terlepas dari seputar 'sarung' dan 'absen' tadi yang akhirnya berujung pada obrolan seputar agama tentang amalan yang bisa menghapuskan dosa-dosa.

"Tunggu dulu... Penghapus dosa?? Berarti ada benda berupa penghapus yang bisa menghapus dosa-dosa?”, celetuk si manusia kucel dengan sinis dan wajah yang bisa dipastikan sedang bercanda.

"Kalau dosa itu berupa fisik, enak betul ya kalau ada benda berupa penghapus yang bisa menghapus semua itu.", jawab si manusia bersarung mencoba menjawabnya dengan sebuah perumpamaan yang bisa dianggap sebagai sebuah keseriusan.

"Terus kalau memang penghapus itu memang ada, kamu tahu gak tempat yang menjual penghapus itu di mana?", respon si manusia kucel berusaha mengacaukan pembicaraan yang mulai berujung serius itu.

Manusia bersarung itu pun bingung mau menjawab apa. Melihat gelagak orang di sampingnya itu mulai bercanda yang tidak pada tempatnya, akhirnya ia pun cuma bersiul pertanda ia tidak ingin meneruskan obrolan yang tidak bermutu itu dan untuk menyembunyikan kekesalannya atas pertanyaan sinis itu. Merasa tidak mendapat tanggapan, akhirnya keduanya pun beralih ke topik lainnya. Topik yang bisa dikatakan bukan sebuah topik, karena selalu berpindah dari satu topik ke topik lainnya.

Bosan dengan obrolan itu, akhirnya manusia kucel itu pun beranjak dari tempat duduknya, mungkin ingin melemaskan persendiannya yang mulai kaku sejak duduk di kursi tadi. Ia pun beranjak menuju pekarangan rumah yang terbuat dari bambu yang mulai lapuk. Bersandar padanya dan memalingkan muka ke kiri dan ke kanan dan tak tahu sedang melihat apa. Setelah itu, ia pun kembali ke tempatnya semula, mereguk kopinya yang mulai dingin dan kemudian menyalakan sebatang rokok.

"Pagarnya nampaknya mulai rusak tuh. Bambunya sudah lapuk. Kalau anjing menyerobot pagar itu, bisa-bisa pagar itu bisa roboh", ia pun kembali memulai percakapan.

"Terus...?", timpal manusia bersarung tadi masih setengah kesal padanya.

"Kamu tahu gak tempat yang menjual bambu di daerah sini sebelah mana?", tanyanya mencoba membuat percakapan itu hidup.

"Di Apotekk...", jawab manusia bersarung tadi secara spontan.

"...", manusia kucel itu pun langsung berpaling pada jawaban spontan yang tak disangka-sangkanya.

Merasa mendapat tatapan penuh kejutan itu, si manusia bersarung lantas menjelaskannya.

"Iya, di apotek... Kamu cari saja di sana. Apoteknya ada di ujung jalan sana kalau kamu tidak tahu tempatnya. Sekalian tanyain juga, siapa tahu apotek itu menjual penghapus dosa. Kalau ada, aku titip yaa, belikan penghapusnya satu lusin."

Sambil nyengir, manusia bersarung itu pun merasa puas dengan jawaban sinisnya tentang bambu itu. Keduanya pun kembali terlibat dalam obrolan-obrolan ngalor-ngidul lainnya. Sementara itu, orang yang sedang menerima telepon sudah kembali dari urusan terima teleponnya, dan kembali ke posisinya semula duduk melantai dan bersandar pada salah satu tiang bangunan. Ia pun mengalihkan semua obrolan kedua makhluk di beranda itu. Ia menjelaskan kalau baru saja ia mendapat teguran dari pihak atas tentang apa yang terjadi di lapangan. Raut wajahnya menyiratkan raut yang sedang kesal, mungkin karena tidak terima terhadap apa yang baru saja dialaminya itu.

Selagi menjelaskan tentang apa yang baru saja dialaminya, tentang bagaimana pembelaannya itu, pandangannya tertuju pada piring di atas meja yang dibawanya dari dalam tadi. Merasa ada yang salah dengan piring itu, akhirnya ia pun berdiri mengambil piring itu. Dilihatnya piringnya sudah kosong dan pisang gorengnya sudah raib.

"Kalian habisin yaa, pisang gorengku?" tanyanya sambil masih berdiri menatap piring kosong seolah-olah sedang meratapi pisang goreng yang sudah raib entah ke mana.

Keduanya pun tanpa merasa bersalah akhirnya terdiam melongok. Keduanya tak menyangka, selagi berbincang-bincang tadi, keduanya melahap pisang goreng itu. Mereka berdua tidak menyadari kalau pisang goreng itu ada pemiliknya. Keduanya hanya bisa bengong melihat tatapan orang itu yang nampaknya masih kesal sehabis diceramahin lewat telepon tadi.

"Gak pak, pisang gorengnya tidak enak kok", jawab si manusia bersarung mencoba mencari pembenaran terhadap pisang goreng itu.

"Tidak enak, tapi habis jugaaa....!!!", nada suaranya mulai meninggi, mungkin sedang melampiaskan kekesalannya yang tiba-tiba berlipat ganda.

Suasana sore hari sudah tidak kondusif lagi untuk berbincang-bincang. Beranda itu tiba-tiba berubah menjadi neraka yang apinya sedang disulutkan. Tak ada alasan lagi yang bisa keluar. Kalaupun masih ada sisa pisang goreng di dalam rumah, mungkin bisa meredakan sulutan api itu. Tapi mereka berdua tidak yakin kalau masih ada stok pisang goreng di dalam rumah.

"Eh, aku mau mandi dulu yaa, gerah nih...." si manusia kucel tiba-tiba nyeletuk sambil berdiri mulai beranjak dari tempat duduknya dengan tawa yang tertahankan. Sedangkan si manusia bersarung melihatnya sebagai sebuah kemenangan bagi si manusia kucel itu. Dan tinggallah dirinya yang bakalan jadi terdakwa tunggal atas raibnya pisang goreng itu. Selagi melihat si manusia kucel beranjak mendekati pintu untuk masuk ke dalam, si manusia bersarung tak kehilangan akal untuk kabur dari tempat itu juga,

"Oh iya, aku juga belum 'absen'. Aku mau 'absen' dulu Pak..."

"Woy... entar kalau udah mandi, kalau kamu mampir ke apotek buat beli bambu, sekalian juga beliin pisang gorengnya kalau apoteknya jualan pisang goreng. Oh iyaa, jangan lupa yaaa... penghapus dosanya satu lusin.", teriaknya pada manusia kucel di depannya yang sudah kabur duluan.

"???#####$$@@@",

Manusia dengan piring di tangan cuma bisa melongo menyaksikan keduanya beranjak pergi dari beranda itu. Mau marah, tetapi pisang gorengnya sudah raib. Sementara, suara di balik telepon tadi masih saja terus terngiang di telinganya. Dan kedua makhluk tadi, tanpa merasa bersalah sedikitpun beranjak meninggalkannya yang penuh dengan kesialan di sore itu. Niat untuk menikmati pisang goreng, berubah menjadi tetesan liur membayangkan pisang goreng di atas piring yang sudah raib.

Inilah perpaduan yang indah di beranda sore hari. Kalau dalam rumus matematis mungkin persamaannya akan berupa, "Penghapus + bambu = Apotek + pisang goreng". Persamaan yang bisa membuat kekesalan seseorang menjadi berlipat ganda, dan juga bisa menjadi penghibur yang luar biasa bagi orang lain, terutama buat dua manusia dengan wujud yang berlawanan, yang kucel dan yang bersarung.

9 comments

Reply Delete

Hahahaha....saat aku membacanya terasa pulang ke kampung halaman. ^_^

Reply Delete

Ihh whaaowww.. tulisannya panjaaaaang.. Hihi...

Selamat absen untuk yang mau menjalankannya :D

Reply Delete

"whaaowww"-nya ga berubah...

Reply Delete

ahahaha aku mau juga dong, beli pisang goreng dan penghapus dosa di apotek :D

Reply Delete

Hahaha... ternyata masih ada juga orang saraf yang mau beli bambu di apotek :))

Reply Delete

komen OOT

lagi kumur-kumur mas??

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs