Dikisahkan dalam film Newsmakers tentang berkurangnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dalam memberantas kejahatan. Aparat dianggap lemah, tak becus dalam menangani tindak kejahatan yang semakin hari semakin merajalela. Untuk mengembalikan kepercayaan publik ini, dilakukanlah sebuah strategi dengan bekerja sama dengan media televisi dalam menumpas kejahatan. Tak tanggung-tanggung, media yang diajak bekerja sama ini melakukan peliputan secara langsung terhadap aksi penggerebekan sekumpulan penjahat yang terjebak dalam sebuah apartemen.
Segala aksi yang dilakukan oleh aparat ini menjadi tontonan publik di layar kaca secara langsung. Mulai dari aksi pengintaian dan penyergapan penjahat sampai aksi evakuasi para penghuni apartemen serta tak lupa dengan wawancara dengan orang-orang yang kebetulan berada di sekitar kejadian, dari pihak aparatnya maupun dari para penghuni apartemen. Namun, sayangnya lokasi sesungguhnya dari penjahat yang berada di dalam apartemen belum diketahui sama sekali oleh pihak aparat.
Sementara itu, kawanan penjahat yang terjebak di dalam bangunan apartemen, memilih untuk bertahan di salah satu kamar apartemen bersama dengan penghuninya yang dijadikan 'sandera' oleh penjahat itu. Media terus memberitakan kalau kawanan penjahat ini menyekap sanderanya, dan terus menekankan bagaimana caranya agar para penjahat ini dicap sebagai kumpulan yang betul-betul harus ditumpas. Tetapi kenyataannya, kawanan penjahat ini memperlakukan sanderanya bagaikan teman sendiri. Mereka makan bersama, saling bersulang gelas bersama, main game sampai menonton televisi yang banyak menayangkan aksi penyergapan mereka.
Di tempat kawanan penjahat beserta sanderanya berada, salah seorang penjahat berkata kepada salah satu penghuni kamar bahwa, "if you want to see the truth on television, watch animal planet". (Kalau kamu ingin melihat kebenaran di televisi, tonton saja acara Dunia Binatang). Ia berkata seperti itu ketika salah satu penghuni kamar begitu terhanyut oleh tayangan di televisi. Terhanyut seolah-olah dia mempercayai apa yang ditayangkan di sana. Layar kaca itu menayangkan sebuah aksi heroik penggerebekan sebuah kamar oleh aparat yang berhasil menangkap seseorang, setelah itu langsung disertai dengan wawancara keterangan dari orang yang bertanggung jawab dari pihak aparat. Sementara itu, kenyataan yang ada, penjahat yang sebenarnya tidak mengenali siapa yang ditangkap oleh aparat itu.
Media bisa menampilkan apa saja sesuai dengan keinginannya sendiri dan tentunya sesuai dengan keinginan pihak yang diuntungkan dari penayangan sebuah adegan. Penjahat dan jagoan bisa direkayasa dan dimanipulasi sedemikian rupa agar tampak seperti realitas yang sebenarnya. Jagoan harus tetap punya pamor jagoan di mata publik dan harus berada satu tingkat di atas pamor penjahat. Ketika tingkatan jagoan berada di bawah level penjahat di mata publik, maka media bisa memainkan peranan untuk mengembalikan tingkatan level itu dengan cara apapun. Karena media, jagoan bisa bertingkah seperti jagoan dan ditampilkan seperti jagoan pada umumnya di layar kaca. Namun di balik semua itu, penjahat yang sebenarnya sedang makan dan bersulang bersama menikmati setiap potongan adegan kebohongan yang disuguhkan kepada publik.
Di negeri ini, kita (mungkin) sering disuguhkan sandiwara seperti adegan di film tersebut. Tetapi bukan aksi heroik berupa tembak-menembak oleh pihak berwajib dan penjahat seperti yang diperlihatkan dalam film Newsmakers, namun aksi heroik berupa perang retorika dari mereka yang memerankan 'kebenaran' dan dari mereka yang merasa difitnah oleh kebenaran. Tak ada yang berperan sebagai yang bersalah di sana. Yang bersalah itu hanya sebuah penilaian yang butuh klarifikasi agar adegan tetap berlangsung. Tentu saja yang memainkan peranan agar adegan terlihat heroik sehingga sebuah opini tercipta oleh mereka yang tak mengerti apa-apa adalah media itu sendiri. Dan parahnya lagi, hampir sebagian besar penikmat media selalu menerima adegan yang disuguhkan sebagai kebenaran informasi dari sebuah realita. Seperti yang dikatakan oleh KH. Mustofa Bisri, "Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu hebatnya pers, sehingga seandainya siang dikatakan pers malam pun, masyarakat (terutama yang lugu) akan mempercayainya."
Sepertinya aliran informasi yang belum jelas kebenarannya sulit untuk dibendung. Apalagi ditambah dengan begitu mudahnya penyebaran informasi di zaman seperti sekarang ini dan daya jangkaunya yang begitu luas. Media yang bersangkutan bisa saja menguasai segala aliran informasi beserta penyebarannya serta mau seperti apa informasi sebuah realitas itu dikabarkan di hadapan publik, namun publik sendiri harus pandai dalam menyaring informasi untuk dianggap sebagai sebuah kebenaran dari sebuah realitas. Tidak ada cara lain dalam menyaring informasi yang disuguhkan oleh media ini selain dengan menambah dan memperkaya wawasan mengenai apa saja. Kalau tidak, maka media bisa dengan leluasa menjadi alat penghasut dan tukang adu domba paling nyata di hadapan penikmatnya.
Segala aksi yang dilakukan oleh aparat ini menjadi tontonan publik di layar kaca secara langsung. Mulai dari aksi pengintaian dan penyergapan penjahat sampai aksi evakuasi para penghuni apartemen serta tak lupa dengan wawancara dengan orang-orang yang kebetulan berada di sekitar kejadian, dari pihak aparatnya maupun dari para penghuni apartemen. Namun, sayangnya lokasi sesungguhnya dari penjahat yang berada di dalam apartemen belum diketahui sama sekali oleh pihak aparat.
Sementara itu, kawanan penjahat yang terjebak di dalam bangunan apartemen, memilih untuk bertahan di salah satu kamar apartemen bersama dengan penghuninya yang dijadikan 'sandera' oleh penjahat itu. Media terus memberitakan kalau kawanan penjahat ini menyekap sanderanya, dan terus menekankan bagaimana caranya agar para penjahat ini dicap sebagai kumpulan yang betul-betul harus ditumpas. Tetapi kenyataannya, kawanan penjahat ini memperlakukan sanderanya bagaikan teman sendiri. Mereka makan bersama, saling bersulang gelas bersama, main game sampai menonton televisi yang banyak menayangkan aksi penyergapan mereka.
Di tempat kawanan penjahat beserta sanderanya berada, salah seorang penjahat berkata kepada salah satu penghuni kamar bahwa, "if you want to see the truth on television, watch animal planet". (Kalau kamu ingin melihat kebenaran di televisi, tonton saja acara Dunia Binatang). Ia berkata seperti itu ketika salah satu penghuni kamar begitu terhanyut oleh tayangan di televisi. Terhanyut seolah-olah dia mempercayai apa yang ditayangkan di sana. Layar kaca itu menayangkan sebuah aksi heroik penggerebekan sebuah kamar oleh aparat yang berhasil menangkap seseorang, setelah itu langsung disertai dengan wawancara keterangan dari orang yang bertanggung jawab dari pihak aparat. Sementara itu, kenyataan yang ada, penjahat yang sebenarnya tidak mengenali siapa yang ditangkap oleh aparat itu.
Media bisa menampilkan apa saja sesuai dengan keinginannya sendiri dan tentunya sesuai dengan keinginan pihak yang diuntungkan dari penayangan sebuah adegan. Penjahat dan jagoan bisa direkayasa dan dimanipulasi sedemikian rupa agar tampak seperti realitas yang sebenarnya. Jagoan harus tetap punya pamor jagoan di mata publik dan harus berada satu tingkat di atas pamor penjahat. Ketika tingkatan jagoan berada di bawah level penjahat di mata publik, maka media bisa memainkan peranan untuk mengembalikan tingkatan level itu dengan cara apapun. Karena media, jagoan bisa bertingkah seperti jagoan dan ditampilkan seperti jagoan pada umumnya di layar kaca. Namun di balik semua itu, penjahat yang sebenarnya sedang makan dan bersulang bersama menikmati setiap potongan adegan kebohongan yang disuguhkan kepada publik.
Di negeri ini, kita (mungkin) sering disuguhkan sandiwara seperti adegan di film tersebut. Tetapi bukan aksi heroik berupa tembak-menembak oleh pihak berwajib dan penjahat seperti yang diperlihatkan dalam film Newsmakers, namun aksi heroik berupa perang retorika dari mereka yang memerankan 'kebenaran' dan dari mereka yang merasa difitnah oleh kebenaran. Tak ada yang berperan sebagai yang bersalah di sana. Yang bersalah itu hanya sebuah penilaian yang butuh klarifikasi agar adegan tetap berlangsung. Tentu saja yang memainkan peranan agar adegan terlihat heroik sehingga sebuah opini tercipta oleh mereka yang tak mengerti apa-apa adalah media itu sendiri. Dan parahnya lagi, hampir sebagian besar penikmat media selalu menerima adegan yang disuguhkan sebagai kebenaran informasi dari sebuah realita. Seperti yang dikatakan oleh KH. Mustofa Bisri, "Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu hebatnya pers, sehingga seandainya siang dikatakan pers malam pun, masyarakat (terutama yang lugu) akan mempercayainya."
Sepertinya aliran informasi yang belum jelas kebenarannya sulit untuk dibendung. Apalagi ditambah dengan begitu mudahnya penyebaran informasi di zaman seperti sekarang ini dan daya jangkaunya yang begitu luas. Media yang bersangkutan bisa saja menguasai segala aliran informasi beserta penyebarannya serta mau seperti apa informasi sebuah realitas itu dikabarkan di hadapan publik, namun publik sendiri harus pandai dalam menyaring informasi untuk dianggap sebagai sebuah kebenaran dari sebuah realitas. Tidak ada cara lain dalam menyaring informasi yang disuguhkan oleh media ini selain dengan menambah dan memperkaya wawasan mengenai apa saja. Kalau tidak, maka media bisa dengan leluasa menjadi alat penghasut dan tukang adu domba paling nyata di hadapan penikmatnya.
Source Pic: Random Taken From Google
8 comments
Benar sekali. Bagi saya. perang retorika saat ini sudah di taraf memuakkan. Sering kali 2 pihak yang berseberang terlihat benar keduanya. Memang harus pandai2 menelaahnya.
Sudah lama saya gak ke sini .... kalau saya ke sini, teringat lagi dengan istilah "psikolog abal2" hehehe. tahun berapa itu ya? 2 tahun lalu?
zaman sekarang emang harus lebih selektif memilih media..smentah2.. setiap berita yang diterima ga bisa serta merta ditelan mentah2..perlu kedewasaan dan kebijaksanaan untuk merespon dan mengedapankan prinsip tabayyun..
Iya.. Sepakat mbak, saya juga melihatnya seperti itu...
"Psikolog abal-abal"???... Udah 3 tahun yang lalu kalo ga salah, dan moga-moga aja beliau udah jadi psikolog beneran saat ini...
Sepertinya ini ada hubungan sama kata-katanya Pram (kalo ga salah), "Adillah engkau dalam berpikir, sebelum engkau bisa adil dalam bertindak."
Whaowww.. itu film? Kayaknya keren. Mau lihaaatt...
Media emang sekarang susah banget dibedakan yang benar dan yang kurang benar. Katanya akurat, katanya terpercaya, tapi katanya doank. Sekarang juga jadi agak ragu membaca media terutama media cetak yang sangat mungkin diputar balik kebenarannya hanya dengan menambah atau mengurangi beberapa kata.
Ehh,. habis ganti font yak? Jadi sama dengan judulnya fontnya. Tapi kok rasanya bikin agak pusing bacanya, tulisannya makin keciiiillll. Gedein dikit donk, trus spasi antar baris juga dilebarin. Yah yah? Hehehe
Filmnya film lama sih, film tahun 2009, film Rusia.
Media emang gitu sepertinya. Sepertinya apa yang disuguhkan oleh media yaaa saksikan saja dulu, tentang benar tidaknya apa yang disuguhkan itu yaa disimpan belakangan saja dulu.
Iya habis ganti font, tapi gak sama dengan font judulnya. Perasaan saya udah merasa nyaman dengan font ini. Kalau digedein dikit aja, jadinya malah makin gedee, dikecilin malah jadinya makin kecil :)) Tetapi entarlah dipertimbangkan masalah ukuran font-nya... ;)
jawaban komenttarnya nyebelin coba. Dari dulu juga kalo digedein makin gede, dikecilin makin kecil *jitakkk
Font di kotak komen juga makin keciiiill.. dudududuuu,..
wkwkwwkwkwk...
maksudnya tuh makin gede ama makin kecilnya tuh tidak asyik ngeliatnya...
ya udah... dipertimbangkan untuk diubah juga font komentarnya... :D
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs