Recent Comments
Loading...
Recent Comments

2 Hari Terakhir Di Tanah Sumatra (Part 6)

21 September 2014

Cerita Sebelumnya:

Part 1:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-1.html
Part 2:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-2.html
Part 3:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-3.html
Part 4:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-4.html
Part 5:http://heningkara.blogspot.com/2014/09/menyambangi-danau-gunung-tujuh-setelah.html

Nb: Maaf, Part 6 nya, masih beda judul dengan Part sebelum-sebelumnya, tapi masih dalam rangkaian perjalanan ke Kerinci. :D

Selasa, 19 Agustus 2014

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Rutinitas pagi hari masih sama seperti kemarin. Bangun pagi, sarapan, packing dan menunggu kendaraan. Yang membedakannya, kali ini kami akan packing untuk kembali ke Padang dan tak tahu kapan bisa kembali, tapi semoga kesempatan itu masih ada. Satu per satu dari kami pun berkemas dan memeriksa barang-barang kami serta memastikan tak ada barang berharga yang ketinggalan.

Satu hal yang paling sering dilakukan oleh para pendaki ketika selesai mendaki adalah berburu suvenir. Hal ini semua kami titipkan pada Bang Andy untuk mencarikannya. Bang Andy yang sejak kemarin sepulang dari Danau Gunung Tujuh ditemani oleh Bang Hendra begitu sibuk mencari suvenir, tak menemukan satu pun suvenir idaman yakni baju kaos Kerinci. Ini disebabkan karena barang itu jadi rebutan para pendaki yang memang pada momen 17-an ini begitu membludak. Yang tersisa hanya gantungan kunci dan stiker, dan ketika segopok gantungan kunci Kerinci diperlihatkan pada kami, dalam sekejap saja gantungan kunci itu habis jadi rebutan. Bahkan ada yang tidak kebagian sama sekali, walaupun ini tidak gratis. Tapi lama-kelamaan yang rakus akhirnya sadar juga dan memberikan gantungan kunci yang paling ‘jelek’ untuk dibeli sama yang belum kebagian. Sedangkan stiker, mungkin karena Bang Andy merasa ‘kasihan’ pada kami karena tidak mendapat baju kaos untuk dibeli, akhirnya stikernya dibagikan pada kami secara cuma-cuma alias gratis. Saya kebagian 3 stiker, sementara kawan-kawan lainnya saya tidak tahu. Bang Andy menjanjikan akan mengabari kami kalau stok baju kaosnya sudah ada dan akan dikirim ke alamat masing-masing bagi yang mau. Ini benar-benar janji pelipur lara bagi kami. (Sampai saat ini belum ada kabar baju kaosnya ada apa nggak.)

Mobil yang akan mengantar kami ke Padang adalah mobil yang sama dengan yang kami tumpangi saat berangkat dari Padang ke Kerinci. Supirnya mengatakan mereka akan datang sekitar jam 10 pagi. Sambil menanti kedatangan mobil ini, masing-masing dari kami sibuk sendiri-sendiri. Ada yang pergi menyusuri jalan-jalan di Desa Pelompek di sekitar rumah Bang Andy yang memang kebetulan daerah pasar mencari Teh kayu Aro, teh khas Kerinci dan Kopi (saya lupa nama kopinya). Kemudian ada yang masih packing dan tidak selesai-selesai, dan ada juga yang bersantai di ruang di mana kami makan dan tidur di rumah bang Andy ditemani oleh Bang Hendra.

Sekitar jam 10 lebih, 2 mobil APV pun datang dan tibalah saatnya bagi kami untuk angkat kaki dari Desa Pelompek. Satu per satu kerir kami masuk bagasi. Kami salami satu per satu orang Pelompek yang dekat dengan kami, terutama Bang Andy dan keluarga yang sudah banyak membantu kami selama pendakian Kerinci dan Danau Gunung Tujuh. Dan akhirnya satu per satu dari kami pun masuk ke dalam mobil dan siap menuju perjalanan berikutnya, yakni Padang.

"Oke guys, Kerinci accomplished. Kita sudah berada di 3 puncak eksotik Indonesia. Target 1 puncak 1 tahun sudah tercapai dan saatnya bermimpi untuk yang lebih tinggi lagi. Cartenz gimana?", Aulia memecah keheningan saat mobil mulai melaju meninggalkan Desa Pelompek. Namun ketika semua kendala yang akan dihadapi untuk mencapai puncak sejati Cartenz muncul satu per satu dari kawan-kawan lainnya, akhirnya target Cartenz dialihkan ke Kilimanjaro. Dua tahun lagi kami harus ke sana. Dalam dua tahun, kami akan melakukan persiapan sendiri-sendiri, entah itu nabung, cari info tentang Kilimanjaro, ataupun mendaki ke gunung mana yang kami suka. Saya hanya tertawa dalam hati membayangkan ambisi kami ini, mimpi yang terlalu tinggi. Namun, melihat semangat kawan-kawan dalam mewujudkan 3 puncak eksotik indonesia di luar Cartenz dalam kurun 3 tahun, rasanya tak ada salahnya bermimpi terlalu tinggi, apalagi bersama mereka yang teguh dalam mewujudkan mimpi menjadi kenyataan, semustahil apapun itu. Yeah... Lets pray for the impossible. Lupakan tentang usia yang mulai menua. Jiwa harus tetap muda. Berpetualang adalah suatu kewajiban. Selama masih sanggup, wujudkan!!!

Tak ada yang istimewa bagi saya selama perjalanan ke Padang. Saya harus duduk di bangku belakang mobil di posisi tengah diapit oleh Wafiq dan Uul, dengan mata hanya bebas memandang ke depan. Dengan posisi seperti ini dan dengan kondisi badan yang masih terasa remuk, saya pun memilih untuk tidur selama perjalanan.

Saya baru terbangun saat mobil berhenti di sebuah warung padang untuk makan siang. Tak ingin terkecoh dengan makan siang waktu berangkat sebelumnya, maka kami menanyakan lebih dulu sistem makan di warung ini sebelum menikmati makanan. Apakah makan sepuasnya dengan harga yang sama atau dihitung per lauk dari yang kita makan? Dan ternyata kami harus menelan kecewa ketika mengetahui harganya dihitung berdasarkan per lauk yang kita makan. Namun, ini tidak menggoyahkan semangat kami untuk makan enak. Kami berduabelas bagaikan belum makan beberapa hari dari melihat cara kami yang begitu buas dalam berebutan lauk yang dihidangkan satu per satu. Suara gaduh kami, gesekan antar piring dari lauk yang dihidangkan, ataupun suara-suara dari kami yang meminta tambahan nasi, lauk atau sambel bercampur menjadi satu keramaian tersendiri di dalam warung.

Saat mobil melaju setelah makan siang, terjadi percakapan antara Pak Supir dengan kami tentang bagaimana cara mencapai Pantai Air Manis dari kota Padang. Di antara kami belum ada yang pernah ke sana dan perencanaan ke sana tidak kami buat seperti berangkat ke Kerinci. Ini hanya rencana cadangan mengingat kami masih punya waktu satu hari berada di Padang sebelum terbang ke Jakarta. Mobil yang kami naiki seharusnya menjalani rute seperti biasa kalau berangkat dari Kerinci, yakni menuju Bandara Minangkabau. Namun karena ada sebagian dari kami yang akan berkunjung ke Pantai Air Manis, kami pun minta bantuan pak supir dimana bagusnya kami akan turun dan mencari penginapan murah sesampainya kami di Padang selain di Bandara. Mendengar penjelasan pak supir yang selalu menyebutkan tempat yang tidak saya mengerti sama sekali, akhirnya saya acuhkan saja percakapan itu dan menyerahkan semuanya pada kawan-kawan lainnya dan saya pun kembali tertidur.

Rute Desa Pelompek - Padang hampir sebagian besar waktunya saya habiskan dengan tidur, jadi saya tidak bisa bercerita banyak tentang rute ini. Saya baru tersadar ketika mobil sudah masuk kota Padang sekitar jam 4 sore, dan berhenti di sebuah warung Sate Padang. Satenya enak, kuahnya bikin ngiler, lontongnya juga enak dan pedes banget buat ukuran saya. Tapi, kalau kata si pak supir, pedes seperti ini sudah biasa bagi orang Padang. Di sela-sela obrolan tentang sate padang ini, Si supir bilang kalau ada temannya yang menawari penginapan serta kendaraan menuju Pantai Air Manis besok. Mengenai harga, nanti kami akan dipertemukan dengan kawan si supir ini di perwakilan mobilnya.

Saat kami tiba di perwakilan mobil sekitar jam setengah enam sore, ternyata kawan supir yang di maksud adalah sesama supir di perusahaan angkutan mobil ini sendiri. Dia kebetulan mengontrak rumah bersama keluarga kecilnya. Namun, karena tempatnya yang luas dan cukup untuk menampung kami yang akan berwisata ke pantai Air Manis, akhirnya ditawarkan juga ke kami. Negosiasi antar kami dan beliau ini (sampai sekarang gak tau siapa nama orangnya) berjalan alot, sampai-sampai kami harus berunding terlebih dahulu hingga akhirnya terjadi kesepakatan di antara kami. Kesepakatan ini sudah mencakup semua biaya, termasuk biaya sewa kendaraan menuju Pantai Air Manis, keliling kota Padang cari oleh-oleh untuk kemudian mengantar kami ke Bandara Minangkabau di keesokan harinya.

Setelah itu kami pun berangkat menuju rumah kontrakan yang dimaksud. Sekitar jam 8 malam kami tiba di rumah itu dan di sana kami berpisah dengan Agus Novan, Ryan, Novan dan Agus Lion yang akan berangkat menuju bandara untuk kemudian terbang ke Jakarta lebih dulu. Mereka tidak ikut dengan sisanya untuk piknik ke Pantai Air Manis karena urusan masing-masing atau bisa jadi Pantai Air Manis tidak terlalu menarik bagi mereka. Saya yang baru bertemu pertama kali dengan mereka (kecuali Novan) cuma bisa berujar 'sampai ketemu lagi dan sampai jumpa pada pendakian selanjutnya'. Khusus pada Agus Novan, saya berpesan, 'Kalo ke Gunung Agung, ajak-ajak yaaa hahaha...'

Rumah yang kami tempati ini diisi oleh keluarga kecil si supir, yakni istri dan anaknya yang baru berumur kurang dari 2 tahun. Kami menempati satu kamar di bagian paling depan rumah. Kamarnya cuma terisi satu kasur dan lumayan luas serta cukup untuk kami berdelapan tidur. Jumlah perabotan yang tidak terlalu banyak menjadikan ruangannya jadi terasa lebih luas dan membuat kami leluasa untuk bergerak di dalam rumah. Suasana di luar begitu gelap di sekitar rumah. Lampu penerang sekitarnya hanya lampu teras dan lampu-lampu rumah lainnya yang jaraknya lumayan jauh dari rumah ini.

Setelah bersih-bersih, akhirnya kami semua beristirahat dengan tenang menanti esok untuk pergi ke Pantai Air Manis.

Rabu, 20 Agustus 2014

Pagi hari kami disuguhi teh dan kue lapis sama yang punya rumah sebagai sarapan. Sambil menunggu kendaraan yang akan mengangkut kami menuju Pantai Air Manis, kami selingi dengan obrolan sambil menikmati sarapan seadanya. Terkadang juga kami berkeliling memperhatikan sekitar rumah yang luput dari perhatian kami semalam saat tiba di sini.

Rumah ini sekelilingnya dikelilingi oleh kebun. Sebagian besar ditanami pepaya yang sedang berbuah lebat. Namanya pepaya California. Melihat bentuknya, sepertinya pepaya ini hasil budi daya pertanian. Di halaman pelataran tumbuh pohon rambutan yang belum berbuah, namun keberadaannya cukup membuat suasana menjadi sejuk dari sengatan terik matahari. Ditambah lagi dengan adanya sebuah bangku dari bambu yang tidak jauh dari batang pohon rambutan ini, membuat halaman depan sangat nyaman untuk bersantai. Aulia, Uul dan Rifki sempat bersantai di bangku itu menikmati teduhnya suasana di bawah pohon rambutan di kala matahari sudah mulai meninggi. Saya sempat menyaksikan mereka saat sedang mengagumi pepaya yang berderet di samping rumah ini. Tak berapa lama kemudian, saya pun bergabung bersama mereka duduk di bangku itu. Tak ada sekitar 15 menit saya duduk bersama mereka, bangku itu mengeluarkan suara gemeretak. Belum sempat kami mengantisipasinya, bangku itu sudah roboh duluan dan membuat kami berempat terjungkal ke belakang dan kesulitan untuk bangkit. Untung saja kami tidak terkena paku dari bangku itu hahaha. Kondisi bangkunya sendiri sebenarnya sudah lapuk, namun kami tidak menyangka kalau bangku itu akan roboh. Dan untungnya kami tidak disuruh ganti rugi atas kerusakan yang disebabkan oleh kami. Pemiliknya sendiri sudah tahu kalau bangku itu sudah lapuk, tapi baru diinformasikan pada kami saat bangku itu sudah roboh. :))

Beberapa saat setelah tragedi bangku itu, mobil yang akan kami tumpangi tiba. Kami pun pamit sama yang punya rumah dan dengan mengangkut semua barang-barang kami serta memastikan tak ada lagi yang ketinggalan, kami pun berangkat melanjutkan perjalanan menuju Pantai Air Manis. Di tengah perjalanan, kami berhenti sesaat di perwakilan mobil dan berganti supir. Mobil pun kembali melaju menyusuri jalan-jalan kota padang yang mulai padat dengan kendaraan.

Saya tidak tahu persis kami lewat jalan mana saja menuju Pantai Air Manis. Satu jam kemudian setelah kami meninggalkan rumah tempat kami menginap, kami tiba di Pantai Air Manis. Sepertinya letak pantai Air Manis berada di balik bukit karena kami harus menuruni sebuah bukit saat masuk gerbang menuju pantai. Laut biru terlihat jelas saat kendaraan sedang menuruni bukit. Tak berapa lama kemudian, terlihat dua pulau yang berdampingan namun beda ukuran, namanya Pulau Pisang Besar dan Pulau Pisang Kecil (nama yang aneh). Kedua pulau ini menambah keindahan panorama pantai yang terlihat dari atas. Tak berapa lama kemudian, akhirnya kami pun tiba di pantai dan bergegas menuju situs batu Malin Kundang (bukan Sangkuriang yaaa...:d)

Sebelum mengunjungi situs batu Malin Kundang, kami makan siang terlebih dahulu di sebuah warung padang yang letaknya tidak jauh dari situs batu itu. Warungnya baru buka, dan lauk yang tersedia banyak yang belum matang. Menu andalannya yakni ikan bakar juga belum tersedia. Namun karena keadaan kami yang sudah kelaparan akhirnya kami makan dengan lauk seadanya yang sudah siap untuk disantap. 4 kali kami menikmati makanan di warung padang selama kami berada di tanah sumatera ini, harganya relatif sama yakni berkisar antara 15 sampai 20 ribu.

Salah satu daya tarik Pantai Air Manis adalah adanya situs batu Malin Kundang di tepi pantai dan karena alasan inilah kami menyempatkan diri main ke Pantai Air Manis setelah mendaki Kerinci dan Danau Gunung Tujuh. Malin Kundang adalah salah satu cerita rakyat yang berasal dari Tanah Minang tentang seorang anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu. Pada saat dikutuk, Malin Kundang sedang berada di tengah laut. Badai laut menghempas kapal Malin kundang menuju pantai dan terdampar di sana hingga dia bersama perahunya berubah menjadi batu. Entah cerita ini benar atau tidak, kita ambil hikmahnya saja yaa, jangan durhaka ama emak...

Penampakan situs ini tidak seperti yang pernah saya lihat dahulu di foto sebuah majalah. Kalau saya tidak salah ingat, masih ada batu-batu yang mengelilingi batu Malin Kundang yang dalam posisi bersujud. Namun, ketika saya melihatnya, batu-batu itu sudah tidak ada. Batu-batu itu sebenarnya adalah bagian dari kapal Malin Kundang, namun semuanya sudah tergerus oleh air laut saat pasang, terutama bagian tengah kapal. Bagian lambung kapal adalah bagian yang masih utuh. Di sana ada tali tambang perahu, bangku-bangku dan kentong-kentongnya yang juga berubah menjadi batu.Sedangkan posisi Malin kundang sendiri saat dikutuk berada di bagian buritan kapal.

Di sekitar situs batu Malin Kundang berjejer kios-kios penduduk yang menawarkan beraneka macam jualan. Dari mulai makanan dan minuman, suvenir pantai air manis dan malin kundang, jasa foto beserta percetakannya, dan lain-lain. Sehari sebelumnya, kami diberitahu kalau mengambil foto dengan kamera ponsel di situs batu ini dilarang sama penduduk setempat karena hal ini bisa mengurangi mata pencaharian mereka dalam menawarkan jasa foto kepada para pengunjung. Tetapi dengan kamera digital tidak dilarang asalkan si pemilik kamera tidak rakus dalam mengambil gambar karena yang berfoto-foto di sana bukan cuma satu pengunjung saja tetapi banyak yang antri mau foto bersama Malin Kundang. Kami sempat ditegur oleh tukang foto setempat karena mungkin kami terlalu lama dalam mengambil foto. Si tukang foto ini terus mengoceh menyuruh kita memberi kesempatan pada pengunjung lainnya untuk berfoto bersama Malin kundang.

Suasana pantai sangat sepi saat kami berada di sana. Para pengunjung sepertinya memilih untuk berteduh dari sengatan matahari siang hari di tempat yang tidak jauh dari garis pantai. Sesekali dari kami ada yang menuju ke laut hanya sekedar ingin menyentuh air laut dan kembali lagi saat merasakan terik matahari yang memang sangat panas. Dengan kondisi seperti ini, kami pun akhirnya memilih berteduh di bawah sebuah tenda dengan atap terpal. Tenda ini sepertinya sebuah lapak jualan yang belum dipakai sama pemiliknya, sehingga kami memilih menghabiskan waktu di sana.

Cukup lama kami membusuk di bawah tenda itu, hingga akhirnya kami memutuskan untuk pergi berkeliling Kota Padang. Di antara kami ada yang menyarankan untuk pergi ke Jembatan Siti Nurbaya dan kemudian mencari oleh-oleh khas kota Padang. Namun, ketika kami mengutarakan tujuan kami pada Pak Supir, beliau langsung komplain karena katanya perjanjiannya kami hanya ke Pantai Air Manis dan setelah itu ke Bandara. Setahu kami perjanjiannya tidak seperti itu, namun karena kami tidak bicara dengan orang yang kami ajak bersepakat kemarin, akhirnya ya sudah terserah si supirnya saja. Dia penguasa kendaraannya kok.

Melihat waktu penerbangan kami masih lama, masih ada sekitar 6 jam, akhirnya kami memutuskan untuk diturunkan di suatu tempat dan nanti kami akan menghubungi si supir kalau kami mau ke bandara, sementara kerir-kerir kami tetap berada di dalam mobil. Setelah diberi solusi ini, akhirnya dia setuju. Yang kami takutkan kalau dia masih ngotot dengan keputusannya untuk langsung mengantar kami ke bandara, maka jadilah kami akan menjadi gembel siang hari di bandara. Lain kali kalau bersepakat dengan siapapun, perjelas dengan sejelas-sejelasnya kesepakatannya, termasuk pada orang yang mewakili orang yang diajak bersepakat itu sebelum bekerja sama, biar di tengah jalan tidak terjadi kesalahpahaman seperti ini.

Akhirnya kami turun di tengah kota di sebuah jalur bus Trans Padang. Dari sini kami mulai bingung mau ke mana dan perlahan mulai menyusuri jalanan kota Padang di siang hari dengan berjalan kaki hingga kami tiba di sebuah halte. Di halte ini kami bertanya pada seorang anak SMA tentang jalur angkutan umum menuju Jembatan Siti Nurbaya. Cukup lama kami berada di halte itu, dan si anak SMA ini berkata kalau pemandangan di Jembatan Siti Nurbaya tidak bagus kalau cuaca siang terik seperti ini, dan akhirnya dia menyarankan kami untuk mengunjungi Museum Adityawarman yang lumayan dekat dari tempat kami berada. Kami pun memutuskan menuju ke sana menghabiskan waktu sebelum berangkat ke bandara.

Tidak sampai setengah jam, kami tiba di Museum Adityawarman dengan angkutan umum. Museum ini termasuk salah satu museum besar yang ada di Sumatera Barat. Ongkos tiket masuk museum hanya dua ribu rupiah. Di sana kita bisa belajar tentang kebudayaan Minangkabau. Di halaman museum terdapat taman yang bisa dipakai sebagai tempat bermain anak-anak dan tempat rekreasi keluarga. Nama Adityawarman sendiri diambil dari nama raja besar yang pernah berkuasa di Minangkabau. Museum ini berfungsi sebagai tempat menyimpan dan melestarikan benda-benda bersejarah khususnya yang berkaitan dengan budaya Minangkabau, seperti pakaian adat, perhiasan-perhiasan, rumah adat dan lain-lain. Selain itu pengunjung juga bisa belajar tentang sistem adat Minangkabau, tentang hubungan kekerabatan dalam adat Minangkabau dan tentang istilah-istilah yang biasa digunakan masyarakat Minang dalam menyebut seseorang.

Ada sekitar 2 jam kami berada di sana. Setelah itu, kami lalu menghubungi si supir untuk segera menjemput kami di depan museum Adityawarman dan mengantar kami ke bandara. Di sela-sela menunggu ini, kami memanfaatkan waktu luang ini untuk berburu oleh-oleh di toko oleh-oleh yang berada di depan museum ini. Setelah berbelanja, mobil tak kunjung datang juga. Setelah dihubungi, si supir ternyata tidak tahu di mana letak museum ini dan harus kami bimbing dari tempat kami diturunkan olehnya sebelumnya. Tak terhitung berapa kali kami menghubungi beliau untuk memastikan beliau ada di jalan yang benar. Kami pun terus memperhatikan jalan raya memantau semua mobil APV yang lewat.

Ada sekitar 1 jam mobil baru datang sejak kami keluar dari museum. Di sini kami berpisah dengan Uul yang akan melanjutkan perjalanan menuju Padang Pariaman guna mengunjungi kerabatnya yang ada di sana, sedangkan sisanya yang kini berjumlah tujuh orang melanjutkan perjalanan menuju Bandara Minangkabau.

Saat pertama kali menginjakkan kota Padang, kesan yang pertama kali muncul adalah jalanan yang sepi dari kendaraan. Namun ketika mobil mulai melaju meninggalkan museum menuju Bandara, jalanan dipenuhi sesak oleh kendaraan. Mungkin ini hal lumrah di manapun, terutama di ibukota-ibukota propinsi saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ini menandakan jam pulang kerja. Jam di mana orang-orang mulai kembali ke rumah masing-masing, seperti kami yang akan kembali ke tempat asal masing-masing.

Satu jam kemudian, sekitar pukul 6 sore, kami tiba di bandara Minangkabau. Kami tiba pada waktu yang tepat, karena jadwal penerbangan pesawat kami masih 2 jam lagi. Hanya Aulia yang buru-buru menuju tempat check-in, karena jadwal pesawatnya satu jam lagi.

Setelah semua urusan check-in selesai, kami menuju ruang tunggu keberangkatan. Tak berapa lama kemudian, pesawat yang ditumpangi Aulia pun akan segera berangkat. Anggota kami pun kembali berkurang satu orang, dan kini hanya tersisa 6 orang.

Cukup lama kami menunggu jadwal keberangkatan kami, hingga pada jam 8 seperti jam keberangkatan yang tertera di boarding pass, nomor pesawat kami belum disebutkan juga. Saya pun menanyakan hal ini pada kawan-kawan lainnya satu per satu, dan anehnya tak satu pun dari mereka yang memperhatikan suara penyebutan nomor pesawat itu. Yang lebih aneh lagi, melihat jam yang sudah lewat dari jadwal keberangkatan, kawan-kawan hanya santai saja melihatnya. Dan yang paling aneh, tidak ada pengumuman sama sekali kalau pesawat kami ternyata mengalami keterlambatan sampai batas waktu yang belum diketahui. Hal ini baru kami ketahui, ketika Dika bertanya pada petugas bandara.

Perut pun mulai keroncongan saat menanti keberangkatan pesawat ini. Saya dan Dika pun memutuskan untuk membeli makanan di luar ruang tunggu keberangkatan. Yang bisa kami dapatkan dengan harga paling murah hanya popmie yang kami makan dengan menumpang meja di sebuah restoran. Untung saja diijinkan sama penjualnya. Setelah itu kami berdua kembali ke ruang tunggu keberangkatan, dan memberitahukan pada kawan-kawan lainnya yang mungkin kelaparan kalau di luar ada penjual popmie. Setelah menyampaikan hal ini pada kawan-kawan lainnya, petugas bandara malah mengumumkan untuk mengambil makan malam yang disiapkan oleh maskapai sebagai kompensasi dari keterlambatan jadwal pesawat kami. “Siaaaal…!!!!”, gerutuku dalam hati melihat pengumuman ini. Kawan-kawan lainnya malah tertawa melihat kondisi saya dan Dika yang sudah makan duluan. Namun tidak apa-apa, saya mengambil juga jatah makanannya. Siapa yang tidak mau nasi bungkus Padang… hahahha, walaupun saya melahapnya tidak habis.

Sekitar jam sepuluh malam, kami pun berangkat meninggalkan kota Padang menuju Jakarta. Waktunya tidur dalam perjalanan. 2 jam kemudian kami tiba di Bandara Soetta. Saya masih harus melanjutkan perjalanan menuju Makassar keesokan harinya pada jam 6 pagi. Sedangkan yang lainnya kembali ke tempat asalnya masing-masing lewat darat. Wafiq, Rifki, Dika dan Yopie melanjutkan perjalanan ke Bandung naik travel, sedangkan Fannah ke Bogor. Karena jadwal bus damri yang ke Bogor sudah tidak ada pada jam 12 malam, akhirnya Fannah menemani saya menggembel semalaman di Bandara. Baru sekitar jam 5 pagi, Fannah berangkat menuju Bogor naik bus damri dan saya pun kembali check-in untuk melanjutkan perjalanan sendiri dengan pesawat menuju Makassar. #HABIS

Photo 

Suasana Pagi hari di Rumah Bang Andy

Rusa-rusaan, salah satu karya dari Bang Hendra (kereen ga?)

Sebelum meninggalkan Desa Pelompek

Tempat Makan Sate Padang

Sate Padang

Rumah Tempat Kami Menginap di Padang

Kebun Pepaya California

Bangku Historik :D

Penampakan Pulau Pisang Besar dan Pulau Pisang Kecil,
sebelum memasuki area Pantai Air Manis

Si Anak Hilang :))

Batu Malin Kundang

Batu Malin Kundang juga :D

Masih Batu Malin Kundang :D

Bagian Perahu Malin Kundang

Bagian Perahu juga :D

Tali Tambang Perahu Malin Kundang

Batu Malin Kundang yang ada orang foto dekat mobil putih

Suasana Pantai Air Manis dari atas Perahu Batu

Batu-batunya tidak nampak seperti perahu ya?? Harus dilihat langsung sih.. :D

Membusuk di Pantai :D

Suasana Jalanan Kota Padang

Di Halte Trans Padang

Bangunan Museum Adityawarman

Udah Simetris belum?? :D

Bangunan Museum Adityawarman juga

Pemandangan dari depan pintu masuk Museum

Salah satu penjelasan mengenai budaya Minangkabau di dalam Museum

Ini kayaknya perabotan tradisional rumah orang Minang (Gak Yakin) :D

Pajangan Harimau Sumatra

8 comments

Reply Delete

Eh,. nanya donk. 3 puncak eksotis dalam 3 tahun apa aja? Kerinci, Rinjani, trus satu lagi apa?

Mungkin bisa mikir sangkuriang karena sama-sama ada perahunya yaaaa. Kalo sangkuriang kan jadinya gunung tangkuban perahu. Kalo malink kundang kan dikutuk jadi batunya pas di perahu juga. Hahaha.. *maksa banget ini mah :p

Kayaknya juaranya kali ini caption foto "malin kundang lagi" dan "masih malin kundang" yaaa.. :))

Foto museumnya kereeeeeeeeeennn. Hampir simetris. Itu grid di kamera diaktifin gak? Kalo diaktifin harusnya bisa sangat membantu untuk bikin foto yang simetris :D

Ga dapat foto rumah tradisional gadang ya?? Sukak banget sama bentuk atapnya :D

Reply Delete

Komennya panjaaaaaaaanggggg.... :))

Satunya lagi semeru... tapi saya yang ikutan bareng mereka cuma Rinjani ama Kerinci...

Iya sih... sama-sama ada perahunya. Ada satu lagi samanya, sama-sama kurang ajar ama emaknya... :))

Grid kamera diaktifin, tapi sayahnya aja yang gemetaran megang kamera.. :))

Rumah tradisional gak dapat, tapi kayaknya hampir semua bangun, terutama bangunan perkantoran ama hotel-hotel atap-atapnya sama semua...

Reply Delete

Akhirnya the end jugaa..
Hahhahaha...

Seru nih perjalanan nya, kapan2 boleh ajakin aku.
#Ngarep :(

Reply Delete

iyaa akhirnya... alhamdulillah yaa.. :D
Gak seru-seru amat sih perjalanannya, yang baca aja kali yang bilang seru... :D
Sini saya ajakin, mau ikut gak?? :D

Reply Delete

lama ga bewe.eh..blognya tambah kece aja.. udah ke sumatra aja dia.. *_* #SalahFokus

kisahnya panjang banget,, ada part2 nya gitu..ga baca smua dehh tapi sepertinya menarik, penuh makna dan hikmah.. thumbs up :D

Reply Delete

Tambah kece yaa?? Ah.. kan baru ngeliat... coba kalo dliat berkali-kali, pasti bosan juga.. :D
Iya nih, udah ke barat sayahnya. Sekali-kali yang di Barat menjelajah ke Timur donk... :d

Kalo penuh makna dan hikmah, kayanya ga terlalu deh, tapi ceritanya mendetail aja, jadi panjang jadinya.

Reply Delete

ini jg krna udah bosen makanya ga pernah bewe :p
syg sekali kalo ga dapet hikmah, bagi saya setiap perjalanan pasti menuai hikmah.. (harusnya)
oya..sy pernah kok ke timur, thn 2011, ke makassar lhoo,.
kapan2 kalo ke timur lagi mau sekalian ke papua aja deh :D

Reply Delete

Gak pernah bewe? Sama donk.. :D Nge-blog juga saya vakum setahun lebih.. hahaha
Bukan gak dapat hikmah sama sekali, tapi gak terlalu diceritain di tulisan 'bersambung' ini...
Oh pernah yaa... kirain belum pernah sama sekali... :D
Iya sekalian ke ujung timur lebih baik... saya juga belum ke sana kok.. :D

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs