Recent Comments
Loading...
Recent Comments

Atap Sumatra, 3805m (Part 2)

03 September 2014


"Rock Of Road"

Masih di Hari Jumat, 15 Agustus 2014

Setelah segala urusan tetek bengek bandara selesai, saya pun kembali ke tempat kawan-kawan berkumpul sebelumnya di tempat pengambilan bagasi, namun mereka semua sudah tak ada disana. Mungkin Uul sudah mengabari mereka, pikirku. Saya baru bisa tersenyum melihat mereka ketika menemui mereka di luar bangunan bandara. Pertanyaan-pertanyaan aneh saya sebelumnya juga hinggap di pikiran mereka. Namun yaa sudahlah, bagasi saya sudah ketemu dan semoga ini bisa menjadi pembelajaran untuk memperhatikan bagasi kita masing-masing ketika bepergian dengan pesawat. Saya pun langsung ditodong uang transportasi dan akomodasi oleh Aulia yang kebetulan jadi ‘bendahara’ tim. Sebelumnya, ia tidak berani menagihnya padaku akibat musibah yang saya alami ini. Namun setelahnya tanpa rasa perikemanusiaan lagi, ia langsung menagihnya.

Perjalanan akan kami lanjutkan ke kaki Gunung Kerinci di Desa Pelompek, Kecamatan Gunung Tujuh, Jambi dengan 2 mobil carter APV yang sudah kami carter beberapa hari sebelumnya. Bang Andy, yang kelak rumahnya akan menjadi Basecamp kami di Pelompek, sangat berperan dalam pemesanan transportasi ini. Mobil ini sudah standby ketika kami tiba di bandara. Supirnya yang kami hubungi, langsung menghampiri kami dan mengarahkan kami menuju mobil yang akan kami tumpangi. Perjalanan selanjutnya pun dimulai. "Rock Of Road."

Dengan formasi 6 orang di tiap mobil, kami pun perlahan keluar dari bandara. Hari sudah beranjak tinggi dan jalan-jalan yang kami lalui tampak lengang dari kendaraan sehingga mobil kami pun melaju dengan tenang. Perjalanan kami sempat terhenti di perwakilan mobil yang kami carter. Entah supirnya mengurus apa, atau kami yang menyelesaikan administrasi sewa carter mobil, pastinya saya tidak tahu sama sekali. Ada yang memanfaatkan momen ini untuk mandi, buang hajat dan beli cemilan di warung seberang perwakilan mobil ini. Kurang lebih sejam kemudian, kami pun berangkat meninggalkan perwakilan mobil itu. Tetapi belum berapa lama mobil bergerak, kami kembali berhenti di sebuah tempat perbelanjaan untuk membeli beberapa macam logistik. Kawan-kawan pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membeli apa saja yang bisa dibeli untuk memenuhi kebutuhan pendakian.

Cukup lama kami di tempat perbelanjaan itu, dan ketika kami mulai bergerak kembali, panorama bangunan dengan ciri khas atap rumah gadang pun menghiasi perjalanan kami. Supir mobil pun mulai ugal-ugalan. Mobil dibuat meliuk ke kiri dan ke kanan menyalip kendaraan lainnya dengan kasar. Selama masih ada celah untuk menyalip, tak peduli di tikungan, di tanjakan, ataupun di turunan, jalanan berbatu, di sebelah kiri atau kanan, maka mobil ini akan melaju terus. Sepertinya ini pelampiasan si supir akibat gagal jadi pembalap. Saya pun menikmatinya dengan tegang, tapi lama-kelamaan rasa kantuk yang tak tertahankan lagi menggodaku untuk tertidur. Rupanya tidur di pesawat masih belum cukup bagiku.

Saya terbangun ketika mobil berhenti di sebuah warung makan. Melihat warung makan, saya langsung membayangkan rendang. Dengan sigap, saya pun langsung turun dari mobil untuk kemudian masuk ke warung makan. Di dalam sudah ada rombongan yang berada di mobil pertama sedang menikmati hidangan makan siangnya. Melihat pemandangan itu, saya tambah ngiler di buatnya. Perut saya memang lapar banget saat itu. Setelah kami mengambil posisi di salah satu meja makan, satu per satu lauk pauk khas Padang dihidangkan. Rendang, ayam goreng, ikan goreng, dendeng, sayuran, sambel merah dan sambel ijo khas Padang. Makan siang yang begitu lahap, seolah-seolah sudah berapa hari tidak makan. Satu per satu lauk pauk ludes dihadapan kami, bahkan minta nambah. Entah bayarnya berapa, yang penting makan dulu, bayar urusan belakangan. Yang bikin saya, bayarnya cuma lima belas ribu per orang dan makan sepuasnya. Hahaha... Kalau tahu begini sih, sepertinya ada yang bakalan nambah lagi. Kalau saya, tidak, sudah cukup. Saya sudah kenyang.

Tak lama berselang sehabis makan, Adzan sholat jumat pun berkumandang. Kami pun bergegas menuju mesjid tidak jauh dari tempat makan siang kami dan menunaikan sholat jumat. Ketika berjalan ke mesjid, saya sempat memperhatikan tempat kami berada. Ada kebun teh di samping kanan kami, di samping kiri kami rumah khas pedesaan menghiasi dan jalan raya dua jalur yang sepi dari kendaraan. Kami mungkin tidak melalui jalan antar kota pada umumnya, tetapi potong kompas entah di mana. Mesjid yang kami tuju, penampakannya seperti masjid dekat kosan saya sewaktu di Bandung. Ukurannya tidak begitu besar dengan dinding dari kaca, ruangan sholat yang tidak begitu luas, namun nyaman. Air di tempat wudhunya pun menandakan kalau kami berada di pegunungan. Airnya dinginn.

Setelah sholat jumat, kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Mobil kembali melaju dengan garang seperti di awal keberangkatan. Tak lama mobil melaju, saya kembali tertidur. Rasanya tidur lebih nikmat di dalam liukan gila mobil ini atau mungkin karena efek semalam tidak merasakan nikmatnya tidur. Tidak sampai satu jam kemudian, saya dibangunkan oleh suara gaduh kawan-kawan yang turun dari mobil. Ternyata kami berhenti di sebuah danau untuk menikmati sekejap keindahannya. Namanya Danau Di Bawah. Nama yang aneh, tapi namanya memang begitu. Ada Danau Di Bawah dan ada Danau Di Atas. Terkadang keduanya disebut Danau kembar. Danau Di Atas entah kami lewati atau tidak, saya sendiri tidak menyadarinya karena sedang tertidur.

Kami cuma sebentar di Danau Di Bawah. Hanya sekedar menikmati panorama dan sejuk udaranya sambil berfoto-foto seadanya. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan lagi. Jalur yang dilalui mobil kali ini jalur menanjak mengelilingi lereng-lereng pegunungan yang juga mengelilingi Danau Di Bawah. Sekilas pemandangan Danau Di Bawah lebih indah jika dilihat dari atas. Namun karena posisi kami yang sedang bergerak, saya hanya bisa melihatnya sepintas. Beberapa saat kemudian, yaaaaa saya kembali tertidur. Nikmaattt.

Saya kembali terbangun ketika mobil sedang melaju kencang di jalur sempit nan sepi. Entah ada di mana posisi kami. Yang saya perhatikan, mobil kami terus mengejar mobil kembarannya di depan. Ketika mobil di depan berhenti, mobil yang kami tumpangi pun ikut berhenti. Berhenti di sebuah warung kopi yang ternyata sebuah tempat peristirahatan mobil yang mengarah ke kaki kerinci pada umumnya. Yang bikin saya terkejut, ternyata mobil yang di depan kami itu bukan mobil yang ditumpangi kawan-kawan kami yang lain. Mobilnya hanya satu perusahaan dengan mobil yang kami tumpangi. Sedangkan mobil rombongan kami yang lainnya masih ketinggalan jauh di belakang.

Di warung ini, saya dan kawan-kawan lainnya membeli air 2 botol besar untuk persiapan mendaki besok. Ini termasuk dalam menyicil kebutuhan logistik pribadi yang tidak kunjung terpenuhi juga, agar keesokan harinya tidak terlalu panik mencari kekurangan-kekurangan logistik yang kami butuhkan. Ada juga yang memesan kopi dan indomie rebus. Indomie rebusnya sungguh sangat menggugah selera penampakannya. Kuahnya lain dari biasanya. Warnanya merah pekat. Sepertinya nikmat sekali. Saya pun memesan satu. Dan rasanya pedes banget untuk ukuran saya. Mobil rombongan yang lainnya tiba beberapa saat kemudian. Mereka ternyata singgah dulu beli sepatu boot untuk Ryan. Ia ke sini tidak bawa sepatu sama sekali untuk dipakai mendaki karena beberapa hari sebelum berangkat, sepatunya kecurian di kosannya.

Kata pemilik warung kopi, perjalanan kami masih 30 km lagi. Setelah istirahat sebentar, dan menyelesaikan segala urusan pembayaran dalam membeli logistik, makan indomie dan minum kopi, kami melanjutkan perjalanan lagi. Tak lama kemudian, Gunung Tujuh sudah menampakkan diri di sebelah kiri kami. Bang Andy sudah mulai menghubungi menanyakan posisi kami, yang katanya seharusnya kami sudah sampai di rumahnya. Dengan berbagai alasan, Wafiq yang selaku perantara dengan Bang Andy, menjelaskan sejelas-jelasnya. Mobil pun dipacu secepat mungkin. Mobil rombongan kami yang lain, tiba-tiba menyalip kami dan menjadi penunjuk jalan selanjutnya. Gunung Kerinci akhirnya menampakkan diri di sebelah kanan kami. Kami pun mengaguminya, seolah belum pernah melihat gunung sebelumnya. Supir pun menawarkan kami untuk berhenti hanya untuk sekedar foto-foto. Siapa yang tidak mau? Kami pun memanfaatkan waktu itu untuk berfoto-foto. Sedangkan mobil rombongan lain yang sudah di depan, melaju tanpa henti meninggalkan kami.

Hari sudah mulai gelap ketika kami bergerak kembali. Desa Pelompek pun sudah kami masuki. Bertemunya kami dengan perempatan membuat kami hilang arah. Setelah berkomunikasi dengan mereka yang di mobil lainnya, kami belok kanan dari perempatan itu dan terus melaju hingga Novan menghubungi kami dan menanyakan posisi kami yang katanya seharusnya sudah sampai sehabis belok kanan tadi. Katanya, cuma 10 menit dari belok kanan di perempatan tadi. Namun, kami tidak menemukan ada mobil yang berhenti sama sekali. Faktor hari yang sudah gelap total, membuat kami kesulitan mengenali mana mobil rombongan lainnya.

Kami pun terus melaju hingga supirnya pun kesal sendiri karena tidak sampai juga. Akhirnya setelah si supir berkomunikasi dengan Bang Andy, kami pun jelas tersesat jauh dari rumah Bang Andy. Mobil pun harus berputar kembali ke arah perempatan tadi. Tak berapa lama kemudian, akhirnya kami sampai juga di rumah Bang Andy. Gelapnya pelataran rumah Bang Andy yang menyebabkan kami tidak melihat sama sekali mobil rombongan lain yang parkir di sana.

Setelah menurunkan semua barang-barang bagasi dan memastikan tak ada lagi yang tertinggal seperti kejadian di bandara pagi ini, kami pun berbasa basi sejenak dengan Bang Andy. Di sana kami ditawari makan malam, kopi, teh dan lain-lain. Satu per satu para ranger Kerinci kawan Bang Andy bermunculan. Namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Inilah penyakit saya yang selalu bermasalah dengan nama. Yang saya ingat ada yang namanya Agus (lagi-lagi Agus, di tim kami sudah ada 2 nama Agus), Pander dan Hendra. Bang Pander yang akan menemani kami mendaki keesokan harinya bersama Bang Andy. Sedangkan Bang Hendra, Ah dia hanya jadi radio rusak yang tak berhenti mengoceh, walau pengalamannya naik turun Kerinci tak bisa disepelehkan juga. Dia sepupunya Bang Andy, dan kelak sampai kami pulang, dia akan memanggil siapapun dari kami dengan sebutan "semprul" (Kecuali Fannah dengan panggilan Kakak), karena juga tidak bisa mengenali nama-nama kami yang bejumlah 12 orang.

Kami pun mendiskusikan rencana kami keesokan harinya bersama Bang Andy dan Bang Pander. Rencana kami keesokan harinya, jalan kaki sampai Shelter 3, namun apabila sampai Shelter 2 mulai gelap, kita akan mendirikan tenda di Shelter 2. Bang Andy pun menjelaskan kondisi pendakian ke  Kerinci akhir-akhir ini, dan perencanaan kami cukup bisa diterima. Namun sebisa mungkin dia menyarankan, kita mengejar Shelter 3, karena banyaknya jumlah pendaki yang melakukan pendakian yang juga bertepatan dengan 17 Agustus akan menyulitkan kita untuk mencari tempat untuk mendirikan tenda di Shelter 2 atau di Shelter 3. Setelah itu, kami pun packing apa yang bisa di packing. Esok jam 7 pagi kita akan berangkat menuju Tugu Macan dengan mobil pick up dan memulai pendakian.

Photo 

Tempat kami makan siang. 2 mobil kembar yang kami tumpangi, di samping kanan mobil sedan.

Sisa bukti makan siang.

Danau Di Bawah.

Sebuah mesjid di sisi kiri danau.

Siapa yang tidak ngiler dengan penampakan indomie rebus seperti ini? :D

Kerinci dengan puncaknya yang berselimut awan

Suasana Packing di Basecamp (Rumah Bang Andy)

7 comments

Reply Delete

Ternyata gak cukup bagasi kebawa orang ya, pake acara nyasar juga :p
Foto masjidnya keren. Lebih keren lagi kalo digedein. Serius deh. Pake ukurang 'extra large' juga masih cukup kok, kayaknya :|
uplod di IG gih. biar nanti aku kasih lope lope merah. hehe

Reply Delete

nyasar, tapi yang kesel sopirnya kok, bukan kaminya... :))

Kalo gede-gede ukurannya, tulisannya tenggelam ama fotonya entar... :D

Reply Delete

eh,. maksudmu tulisan itu caption foto kan? digedein kan bisa kaliiii' #:-S

Reply Delete

eaaa.. komenku ada kotak ijonya. apa deh inii, jadi glowing glowing gitu. hahaha

Reply Delete

Bukan captionnya, tapi keseluruhan tulisannya, saya jadi aneh ngeliatnya...

Biasanya kalo habis komen, emang glowing2 gitu... Itu kaya permalink komentarnya (biasanya muncul kalo habis komen, coba perhatiin url di browsernya, biasanya di akhir url nya ada angka-angka, itu maksudnya permalink komentar), tapi kalo buka url postingannya langsung, glowing-glowing itu gak akan muncul

Reply Delete

cantik foto masjid itu... pemandanganya sangat cantik... :)
seumur hidup saya tak pernah lagi mendaki gunung... teringin juga, tapi belum kesampaian lagi...

Reply Delete

Iya, pemandangannya memang bagus, apalagi di sekitar mesjidnya tak ada bangunan sama sekali... :)

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs