Cerita Sebelumnya:
Part 1: http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-1.html
Part 2: http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-2.html
"Lets Pack Our Bags and Hit The Sky"
Sabtu, 16 Agustus 2014
Sekitar jam 4 pagi, basecamp di rumah Bang Andy mulai gaduh. Dari yang antri di kamar mandi karena mau wudhu, mandi, atau buang air. Harap dimaklumi saja, kamar mandi cuma satu. Ditambah juga yang lagi siap-siap sholat subuh. Mendengar suara adzan subuh yang dekat dari basecamp, ada (saya lupa orangnya) yang menanyakan lokasi mesjid di mana. Kemudian, Rifky mengajak saya untuk sholat di mesjid, namun saya bilang duluan saja, nanti saya nyusul. Beberapa saat kemudian, saya pun menyusul menyusuri jalan, mencari mesjid sendirian. Panduan saya cuma suara adzan yang mengalun perlahan. Saya terus berjalan mencari lokasi suara itu. Hingga Iqomat selesai, saya masih belum menemukan mesjid tersebut. Jalanan begitu sepi dan saya terus berjalan tanpa henti, namun rombongan anjing di depan sebuah rumah yang akan saya lalui membuatku ciut untuk terus berjalan. Sebagai orang yang pernah bermasalah dengan anjing, saya berpikir daripada dikejar dan dikeroyok anjing, mending saya berbalik arah kembali ke basecamp. Namun di tengah jalan pulang, saya bertemu dengan Novan, Wafiq dan Uul yang juga sedang mencari-cari mesjid. Kami pun menyusuri jalan yang saya lalui sebelumnya. Sekarang saya tidak takut sama anjing lagi. Jumlah kami berempat, lumayan lah buat bikin rombongan anjing yang jumlahnya lebih banyak dari kami itu ciut. Dan benar saja, anjing-anjing itu cuma berani menggonggong di tempat. Tak lama kemudian, kami pun menemukan masjid, sumber suara yang kami cari dari tadi. Masjid yang cukup besar untuk ukuran sebuah desa. Jamaahnya pun lumayan banyak di sholat subuh ini.
Sekembali dari mesjid, kami pun mulai melakukan persiapan sebelum berangkat. Di antaranya sarapan yang disiapkan oleh keluarga Bang Andy, kemudian memperbaiki packing kami semalam agar lebih siap buat mendaki. Di sini juga kami dibekali perbekalan makan siang berupa nasi bungkus yang juga disiapkan oleh keluarga Bang Andy agar bisa menghemat waktu tanpa perlu memasak lagi siang nanti.
Ada pemandangan baru bagiku dalam pendakian kali ini, yakni pendaki dengan sepatu boot. Saya sering melihatnya ketika sedang di proyek. Tetapi dalam pendakian, baru kali ini saya melihatnya. Dan pelakunya adalah, Agus Novan, Ryan, Uul, dan Bang Pander. Pemakaian sepatu boot menguntungkan apabila jalur yang dilewati berupa jalur berlumpur. Dari referensi yang saya baca, jalur pendakian Kerinci banyak berupa jalur aliran air, sehingga akan licin dan berlumpur karena bekas genangan air campur tanah. Ditambah lagi akhir-akhir ini sering dilalui para pendaki. Kondisinya akan semakin parah kalau sedang hujan atau setelah hujan. Dan sialnya lagi, kata Bang Andy, akhir-akhir ini Kerinci sering hujan. Saya hanya bisa berdoa, semoga tidak ada hujan selama kami mendaki.
Sekitar jam 6 pagi, mobil pick up yang akan mengangkut kami pun telah siap. Kerir-kerir kami pun diangkut ke dalam mobil pick-up yang akan mengantar kami ke Tugu Macan, ke pos pendakian Kerinci. Setengah jam kemudian kami pun berangkat. Hari nampak cerah ketika berangkat dengan matahari yang bersinar terik, langit nampak bersih dan gunung kerinci di depan kami nampak terlihat sempurna tanpa tertutup awan. Ketika mobil bergerak, suhu dingin pagi hari mulai menusuk. Saya yang hanya mengenakan kemeja flanel pun tak kuasa menahan dingin, menggigil. Di tengah perjalanan, awan mendung beserta kabut mulai menyelimuti perjalanan kami. Sekali lagi saya berdoa, semoga saja cuaca bersahabat selama pendakian ini.
Rombongan kami bertambah 2 orang yakni, Bang Andy yang satu mobil dengan kami, dan Bang Pander yang lebih memilih naik motor ke Tugu Macan. Alhamdulillah kami tiba Di Tugu Macan dengan cuaca dalam keadaan cerah. Matahari lumayan terik dan secercah harapan kalau cuaca akan bersahabat selama pendakian mulai muncul. Tugu Macan ditandai dengan sebuah tugu dengan patung harimau sumatra di atasnya yang merupakan ikon dari Kerinci sendiri sebagai salah satu habitatnya. Di Tugu Macan ini, tepatnya di sebuah pasar di sekitar Tugu Macan, kami sempat berbelanja logistik seperti beras, sayuran, jas hujan, gas buat kompor, dan sisa-sisa logistik lain yang belum ada. Sepertinya sedang musim Durian di sini. Banyak yang jualan durian, dan akhirnya ada yang tergoda untuk membelinya, sedangkan yang lainnya mencicipinya. Sedangkan saya, walaupun tergiur dengan baunya, tapi saya memutuskan untuk tidak ikut makan, karena takut bermasalah dengan perut selama pendakian.
Setelah semua urusan perbelanjaan selesai, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos pendakian yang letaknya sekitar 10 sampai 15 menit naik mobil dari Tugu Macan. Di sini kami melapor dan membayar biaya registrasi Rp2500 per orang. Setelah itu, kami bergerak lagi menuju gerbang pendakian yang tidak jauh dari pos pendakian tersebut. Di sinilah kami akan mulai mendaki menuju puncak Kerinci, Puncak Inderapura. Kalau tidak ada masalah dalam perjalanan, kami akan berada di puncak keesokan harinya yang juga bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesiaku yang ke-69.
Sebelum mendaki, kami berdoa bersama dulu, semoga pendakian ini berjalan dengan lancar dan semoga anggota tim bisa kembali dengan selamat. Langkah pertama kami pun dimulai. Jalan yang kami lalui masih agak landai dengan pemandangan sawah di kiri kanan kami. Inilah pemanasan ala Kerinci sebelum melewati tanjakan terjal yang tidak manusiawi nantinya. Sekitar 10 menit kemudian, kami tiba di Pintu Rimba. Mulai dari sini, pemandangan akan berupa hutan dengan vegetasi yang cukup rapat. Jalurnya masih lumayan landai. Sepertinya pemanasan masih belum selesai. Jalur berlumpur juga banyak ditemui di sini, namun saya masih bisa melipir menghindarinya dengan tujuan agar sepatu tidak kemasukan air lebih awal. Di sini juga banyak ditemui pohon tumbang yang melintang di jalur pendakian, sehingga membuat kami berusaha ekstra untuk melewatinya.
Teman-teman pun sudah mulai terpisah satu per satu. Yang nafasnya panjang dan tahan lama, terus melangkah ke depan meninggalkan mereka yang nafasnya biasa-biasa saja. Saya termasuk pemilik nafas yang biasa-biasa saja, berjalan santai selangkah demi selangkah. Perjalanan masih panjang dan puncak tidak akan ke mana-mana. Mengingat kondisi fisik saya yang kurang persiapan ditambah nafas yang biasa-biasa saja, saya pun membuat aturan buat diri sendiri dalam melangkah, setengah jam jalan dan 10 menit istirahat. Mau sepelan apapun saya berjalan, intinya dalam setengah jam saya harus tetap melangkah. Setelahnya, istirahat 5-10 menit, tergantung keadaan saya.
Lima belas menit kemudian, saya tiba di Pos 1. Di sini sudah menunggu anggota tim lainnya yang sudah tiba lebih dulu. Di belakang saya, kalau tidak salah masih ada Uul, Yopie dan Bang Andy. Bukan cuma tim kami yang berada di Pos 1, namun ada rombongan-rombongan pendaki lain yang jumlahnya lebih banyak dari kami. Di Pos 1 ada sebuah shelter dan sebuah bangku panjang yang membuatnya sering juga disebut sebagai Pos Bangku Panjang. Setelah Uul, Yofie dan Bang Andy tiba, tak lama kemudian kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Pos 2.
Jalur menuju Pos 2 masih cukup landai dibandingkan jalur menuju Pos 1. Vegetasinya pun masih rapat seperti sebelumnya. Di sini kami kembali tercerai berai dalam melangkah. Jalur pendakian menjadi semakin ramai dengan para pendaki lainnya yang mulai teriak-teriak dalam melangkah. Salip menyalip antar pendaki pun sering terjadi. Ada yang menyalip saya dengan langkah yang cepat, namun beberapa saat kemudian saya kembali menyalipnya dan mendapatinya beristirahat mengatur nafas. Beberapa saat kemudian, dia kembali menyalip saya yang melangkah gontai tapi konstan.
Perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2, saya tempuh dalam setengah jam. Pos 2 hanya berupa tanah lapang yang lumayan luas untuk beristirahat. Di Pos 2 kami kembali menunggu anggota tim lainnya yang belum tiba. Seingat saya, di belakang saya hanya ada Yopie dan Bang Andy. Agak lama juga menunggu mereka, hingga Agus Novan, Ryan, Uul dan Dika memilih melanjutkan perjalanan lebih dulu ke Pos 3. Karena beristirahat terlalu lama juga tidak baik bagi tubuh yang mulai kedinginan. Ketika mereka tiba di Pos 2, saya mendengar Bang Andy mulai mengeluh tentang keadaan Yopie pada Bang Pander, "lambat nian jalannya itu orang", katanya. Orang yang dimaksud adalah Yopie. "Jalan boleh lambat, asal jangan pernah berhenti saja", gerutuku. Dan yang saya lihat dari Yopie memang seperti itu. Buktinya sesampainya di Pos 2, dia bukannya istirahat, malah langsung tancap gas menuju Pos 3.
Jalur menuju Pos 3 sudah mulai menanjak. Jalan datar sudah mulai jarang ditemui. Jalurnya pun kebanyakan jalur aliran air. Terbayang kalau hujan, jalur ini akan berupa kubangan lumpur dan tanjakan yang licin. Sepertinya pemanasan kali ini naik tingkat, berganti dengan tanjakan yang belum begitu menanjak. Tidak perlu mengeluarkan porsi tenaga yang berlebih di sini, karena jalur pendakian di depan akan lebih parah. Di jalur ini, saya sempat melihat beberapa ekor tupai yang menyeberang jalan di jalur pendakian. Saya cuma menyaksikannya saja, tanpa berucap apa-apa. Ini juga aturan buat diriku sendiri untuk tidak banyak berkomentar tentang apa yang terlihat ketika sedang mendaki. Saksikan dan nikmati saja apa yang disajikan oleh gunung, isi dan penghuninya.
Perjalanan ke Pos 3, saya tempuh dalam setengah jam. Pos 3 berupa tanah lapang yang cukup luas dibandingkan Pos 2 dan dilengkapi dengan sebuah shelter seperti di Pos 1. Di belakang saya yang masih belum tiba di Pos 3, masih ada Wafiq dan Yopie. Wafiq yang masih kerabat dengan Yopie, bermaksud menemani Yopie dalam mendaki. Ketika Wafiq tiba di Pos 3, ia bilang kalau Yopie memiliki masalah dengan nafasnya. Bisa dikatakan sesak nafas. Namun, dia masih terus semangat mendaki walau lambat.
Sebagian dari kami berada di Pos 3 selama setengah jam. Sisanya sudah ada yang berangkat menuju ke Shelter 1 terlebih dulu. Jalur menuju Shelter 1 tidak jauh beda dengan jalur dari Pos 2 ke Pos 3. Yang membedakan hanyalah jarak tempuhnya yang lebih lama, dan tanjakannya yang semakin terjal. Vegetasinya pun lebih rapat dari sebelumnya. Waktu yang saya tempuh untuk sampai ke Shelter 1 adalah satu setengah jam. Saya sampai di Shelter 1 bersama Novan dan Bang Pander. Jauh di belakang saya, seperti sebelumnya masih ada Wafiq dan Yopie.
Pemandangan pertama yang terlihat ketika sampai Shelter 1 adalah banyaknya pendaki yang berada di sini. Seperti ada pasar kaget di sini melihat jumlah pendaki yang berbaur berkelompok-kelompok. Ada yang baru mau mendaki, dan ada yang sudah mau turun. Mereka tak bisa saya bedakan sama sekali. Ada yang saling mengenal satu sama lain. Biasanya yang saling mengenal satu sama lain adalah sesama ranger Kerinci yang sudah sering naik turun Kerinci. Sedangkan sisanya, hanya berusaha sok akrab karena nasib yang sama sesama pendaki, atau untuk sekedar meramaikan suasana. Inilah salah satu kenikmatan dari mendaki. Keramahan yang ditunjukkan sesama pendaki begitu terasa, terkadang saling berbagi makanan, minuman dan tentu saja tidak berbagi pakaian.
Shelter 1 ini berupa tanah datar yang lebih luas dari Pos 1, 2 dan Pos 3, dan dilengkapi dengan sebuah shelter yang beratapkan terpal berwarna biru yang sepertinya baru terpasang. Langit juga terlihat jelas dari sini, walaupun masih dikelilingi oleh vegetasi yang rapat. Di sini sebenarnya nyaman untuk mendirikan tenda dan menginap kalau mau santai dalam mendaki Kerinci, tapi sayangnya tak ada sunber air sama sekali. Ketika tiba di Shelter 1, waktu sudah menunjukkan pukul 12:30. Di sini kami istirahat makan siang dengan bekal yang kami bawa dari Rumah Bang Andy. Kesan dinginnya pegunungan tidak terasa sama sekali di bawah terik matahari tempat kami beristirahat. Sejam kemudian, Wafiq dan Yopie baru tiba di Shelter 1. Wafiq memutuskan untuk makan siang juga, dan Yopie hanya istirahat sebentar saja dan memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Shelter 2. Ia tidak merasa lapar sama sekali walaupun makan siangnya ada. Yang penting energinya masih ada untuk bisa dipakai mendaki.
Tak berselang berapa lama setelah kedatangan Wafiq dan Yopie, saya beserta kawan-kawan lainnya melanjutkan perjalanan menuju Shelter 2. Agus Novan dan Ryan selalu jadi yang terdepan dalam berjalan. Disusul Uul, Dika, Aul, Agus Lion, Fannah, Rifki, Novan dan saya. Sedangkan Bang Pander dan Bang Andy entah di mana posisi mereka. Terkadang mereka di depan saya dan terkadang juga di belakang saya. Saya tidak pernah memperhatikan kapan mereka istirahat dalam perjalanan menuju Shelter 2 ini. Kekuatan seorang ranger tak usah dipertanyakan lagi. Naik turun Kerinci sudah seperti mainan bagi mereka.
Jalur menuju Shelter 2 ini kebanyakan berupa tanah liat dan seperti jalur aliran air. Vegetasinya pun masih rapat seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan ada jalur yang berupa terowongan yang dibentuk oleh dahan-dahan pohon yang melintang. Kalau tanjakannya sendiri, saya sudah bisa bilang wow untuk model tanjakannya. Di sini, terkadang saya menggunakan akar dan dahan hanya untuk sekedar menjadikannya pegangan atau pijakan untuk bisa melewati sebuah tanjakan. Di jalur ini, kami lebih sering berpapasan dengan pendaki yang turun dibandingkan sebelumnya. Sempat turun gerimis dalam perjalanan menuju Shelter 2. Novan dan Rifki yang berjalan bersamaku, memutuskan untuk memakai jas hujan. Sedangkan saya, melihat terangnya kondisi di depan tempat yang kami tuju, saya memutuskan untuk tidak memakainya. Pertimbangan lainnya kenapa saya malas memakai raincoat kalau hujan tidak deras adalah kalau jalan, saya pasti kepanasan, dan itu tidak nyaman bagi saya. Benar saja, beberapa saat kemudian, hujan gerimis pun reda. Novan dan Rifki akhirnya memutuskan melepaskan jas hujan mereka.
Sekitar 2 jam sebelum mencapai Shelter 2, saya, Aulia, Agus Lion, Rifki dan Fannah beserta Novan beriringan dalam berjalan. Kami lebih banyak istirahat pada tahap ini. Fannah sempat mual, dan ketika istirahat, kami pakai untuk mengobrol. Hal ini terkadang membuat kita lupa dengan waktu istirahat. Kalau tidak diingatkan untuk jalan, maka kami semua akan terus beristirahat, mengingat di belakang masih ada Wafiq dan Yopie. Dan ketika berjalan pun, ritmenya sangat pelan akibat stamina yang mulai berkurang. Nafasku ku pun terdengar menderu-deru. Ini adalah hal yang biasa bagiku, dan saya merasa masih kuat mendaki. Terkadang ketika saya merasa lemas, merasa stamina sudah benar-benar habis dan berat melangkahkan kaki, di sinilah doping cokelat sangat berguna bagiku. Satu potong cokelat saja bisa membuat saya seperti mendapatkan stamina ekstra untuk bisa terus melangkah. Bahkan menurutku, cemilan terbaik di gunung itu yaa cokelat, bawa sebanyak-banyaknya kalau perlu. Tetapi kalau kata Agus Novan, seseorang harus mengetahui makanan terbaik bagi dirinya untuk tetap membuat dirinya tetap fit selama mendaki. Intinya, kenali kekurangan dirimu dan persiapkan sendiri solusinya ketika ingin mendaki.
Karena langkah yang begitu pelan dan waktu istirahat yang sudah tidak beraturan lagi, membuat Novan akhirnya memutuskan untuk melangkah lebih cepat meninggalkan kami. Ini bisa dimaklumi karena untuk ukuran mereka yang cepat dalam melangkah jika berada dalam ritme pendakian yang lambat akan melemahkan kondisinya juga. Sedangkan sisanya masih bersama dengan langkah yang sama dalam melewati tanjakan demi tanjakan yang mulai tidak manusiawi.
Sekitar pukul 17:00, kami tiba di Shelter 2. Di sana, sudah ada Novan, Agus Novan, Ryan, Uul, Dika dan Bang Pander yang sudah menikmati suasana sore di Shelter 2 dengan indomie rebus dan biskuit. Mereka lumayan lama menanti kami. Dan di belakang sana, Wafiq dan Yopie tidak ada kabarnya sama sekali. Melihat indomie rebus yang masih tersisa, saya pun turut menyantapnya. Perjalanan ke Shelter 2 ini sangat menguras banyak tenaga. Saya butuh suplai makanan, apapun itu. Yang lain sepertinya begitu seperti Aulia, Rifki, Agus Lion dan Fannah. Karena sisa indomie rebus yang sedikit dan rasanya masih kurang banyak, saya pun memasak kembali. Atas pertimbangan mereka yang tiba duluan di Shelter 2 ini, stok masakannya pun saya tambah untuk Wafiq dan Yopie kalau mereka tiba di sini.
Shelter 2 ini berada di ketinggian 3100 meter dan sekilas penampakannya hanya berupa tanah datar yang sempit sekali tanpa shelter. Langit terbuka lebar di sini, namun sayang pemandangannya masih tertutup oleh puncak pohon. Terkadang di balik puncak-puncak pohon itu terlihat lautan awan yang posisinya lebih rendah dari tempat kami beristirahat. Di Shelter 2 ini, para pendaki bisa mendirikan tenda dan bermalam di sini sebagai alternatif apabila tidak bisa atau tidak mau mencapai Shelter 3 dalam keadaan gelap. Di sini terdapat sumber air tapi sayangnya keruh. Kita harus berhati-hati mengambilnya untuk bisa mendapatkan air yang bersih. Jarak tempat air dari tempat kami beristirahat, tepatnya di jalur menuju Shelter 3 adalah sekitar 10 sampai 15 menit.
Ketika saya tiba, Shelter 2 sudah penuh sesak dengan pendaki yang mau mendirikan tenda di sini dan yang akan melanjutkan perjalanan menuju Shelter 3. Tersiar kabar kalau di Shelter 3, tempat untuk mendirikan tenda sudah tidak ada alias sudah penuh dengan pendaki. Ini juga yang membuatku berpikir, mengingat kesepakatan semalam, lanjut tidaknya kami ke Shelter 3, tergantung sesampainya kami di Shelter 2. Kalau kami tiba di Shelter 2 pada jam 17:00, ini berarti kami harus mendirikan tenda di Shelter 2 dan keesokan harinya berjalan langsung menuju puncak. Dan melihat Wafiq dan Yopie yang tidak kunjung sampai di Shelter 2, semakin menguatkan diriku kalau kami akan mendirikan tenda di Shelter 2. Namun, melihat situasi Shelter 2 yang penuh sesak dengan pendaki, rasanya lebih baik berada di Shelter 3 yang penuh dengan pendaki. Pertimbangan saya, akses ke puncaknya lebih dekat dan nantinya tidak akan menguras stamina kita dalam menuju puncak.
Beberapa saat kemudian, Bang Andy yang entah muncul dari mana, yang bahkan saya sendiri tidak menyadari keberadaannya, mengomando kami untuk lanjut ke Shelter 3 sebelum kemalaman, biar bisa cari tempat untuk mendirikan tenda. Walau kabarnya Shelter 3 sudah penuh, setidaknya Shelter 3 lebih luas dari Shelter 2 dan ada sumber air yang lebih bersih dari Shelter 2. Tak lama kemudian Novan, Agus Novan, Ryan, Dika, Uul, dan Bang Pander melanjutkan perjalanan menuju Shelter 3. Mereka bermaksud tiba lebih cepat di Shelter 3 agar bisa mencari lokasi mendirikan tenda, dan kalau bisa memasak buat makan malam nantinya. Sedangkan sisanya, termasuk diriku memberi batas sampai jam 18:00 menunggu Wafiq dan Yopie untuk kemudian berangkat juga ke Shelter 3.
Hingga pukul 18:00 Wafiq dan Yopie belum muncul juga dan kami pun mulai kedinginan menunggu mereka. Akhirnya kami pun memutuskan berangkat menuju Shelter 3. Saya cuma bisa berdoa, semoga Wafiq dan Yopie tidak apa-apa di belakang sana, mereka orang kuat kok. Masih ada waktu setengah jam jalan sebelum gelap. Di tanah Kerinci ini, waktu mulai gelapnya sekitar pukul 18:30. Estimasi waktu tempuh saya menuju Shelter 3 sekitar 2 jam perjalanan. Lebih singkat dibandingkan dengan perjalanan dari Shelter 1 ke Shelter 2 yang butuh waktu tiga setengah jam. Namun jalurnya akan menjadi yang terberat selama pendakian ini.
Perkenalan jalur yang menyiksa ini sudah dimulai sejak meninggalkan Shelter 2. Kemiringan tanjakannya sudah tak terukur lagi. Bagiku tanjakan ini sudah seterjal terjalnya tanjakan. Jalur ini membuatku merasa seperti berada di celah-celah di antara 2 punggungan kecil, bisa juga diibaratkan berada di sebuah saluran pembuangan dan sedang menyusurinya menuju bagian hulunya. Dan sepertinya jalur ini memang jalur aliran air. Terbayang kalau hujan lebat, akan seperti apa penampakan jalur ini.
Tanjakan ini mengingatkan saya pada tanjakan di jalur Kalimati ke Arcopodo di Semeru, namun lebih parah dan lebih jauh. Di tambah lagi, kami harus melewatinya dengan membawa kerir. Lengkap sudah tantangannya. Langkah kami begitu pelan. Butuh ekstra tenaga untuk melangkah. Melewati jalur ini tak ubahnya seperti merangkak dan memanjat. Apapun yang bisa dipegang atau dipijak seperti akar pohon atau dahan pohon akan digunakan untuk membawa kita ke posisi yang lebih tinggi. Kalau cuma berharap pada pijakan kaki pada tanah, kita akan semakin sulit untuk melangkah. Di tambah hari yang sudah mulai gelap, semakin menyulitkan langkah kami.
Ternyata bukan cuma rombongan kami yang menuju ke Shelter 3. Banyak pendaki-pendaki lainnya yang berjuang melewati jalur yang sama dengan kami. Satu per satu mereka melewati kami. Dan terkadang ada di antara mereka ada yang mengulurkan tangan mereka untuk kami jadikan pegangan agar bisa melangkah naik. ("Melangkah Naik", kata yang aneh.). Kejadian seperti ini tak cuma berlangsung sekali, namun sering. Hingga pada satu titik, Fannah kembali mengalami mual-mual pada saat melewati jalur yang butuh bantuan orang lain untuk naik. Kebetulan di atasnya ada pendaki yang mendirikan tenda. Mereka adalah orang Kerinci juga, bisa juga disebut sebagai ranger tak bertuan. Mereka membantu kami, dan melihat kondisi Fannah, mereka menawarkan pada kami untuk istirahat sejenak di tenda mereka. Ada sekitar setengah jam kami di sana. Tempatnya lumayan datar dan tidak terlalu luas. Hanya cukup untuk 3 tenda berdiri berdempetan. Namun mereka memasang satu tenda flysheet sehingga tempatnya terasa agak luas. Mereka menawarkan kami air hangat, terutama pada Fannah yang sepertinya butuh perawatan.
Dari tempat ini, suara-suara keramaian di Shelter 3 sudah mulai terdengar. Terkadang terdengar juga suara kembang api yang kilatannya bisa kita lihat dari sini. Baru kali ini saya temukan ada yang bawa kembang api di gunung. Kata yang punya tenda, Shelter 3 cuma 15 menit dari sini kalau jalan normal. Dan satu per satu pun pendaki naik melewati kami. Ada satu pendaki yang berhenti di tempat kami berhenti, dan sempat bertegur sapa dengan kami. Ketika ia tahu kami rombongan dari Bandung, ia langsung mengatakan kalau ada 2 orang Bandung juga di belakang, posisi mereka sudah melewati Shelter 2. Setelah menanyakan ciri-ciri mereka, saya yakin kalau mereka berdua adalah Wafiq dan Yopie. Kami pun kembali bersemangat melanjutkan perjalanan menuju Shelter 3. Tak lama kemudian, kami pun pamit sama yang punya tenda dan kembali melanjutkan perjalanan. Jalurnya masih sama, tak ada perubahan sama sekali parahnya, bahkan tanjakannya tambah parah dengan langit yang lumayan terbuka. Pohon-pohon tinggi sudah mulai jarang terlihat. Langit nampak penuh bintang malam ini. Tak ada waktu mengagumi bintang saat ini, karena pikiranku terus membayangkan Shelter 3, Shelter 3 dan Shelter 3.
Beberapa saat setelah meninggalkan tempat istirahat terakhir, kami bertemu dengan Bang Andy yang turun mencari kita. Mengingat banyaknya tenda pendaki di atas, ia mengira kami akan kesulitan menemukan tempat tenda kami. Ia pun menuntun kita terus ke Shelter 3, hingga saya dan Aulia terpisah dari mereka; Bang Andy, Agus Lion, Rifki dan Fannah. Pada tahap ini, saya dan Aulia lebih sering berhenti hingga kesulitan mengejar Bang Andy dan yang lainnya. Saat sedang istirahat sambil bersandar pada sisi kanan jalur yang lumayan tegak, saya akhirnya bisa mengagumi sejenak langit yang penuh bintang di malam ini. Mata saya jadi saksi dengan kondisi stamina yang terkuras habis. Gumaman saya ini pun terdengar oleh seorang pendaki di hadapan saya, tepatnya di atas saya yang mendirikan tenda di sana. Ia pun menghampiri saya dan Aulia. Ia melihat kami seperti melihat kami dalam sebuah kubangan, dikarenakan posisi dia yang lebih tinggi dari kami. Setelah berbasa basi sejenak, ia pun menawarkan untuk lewat dekat tenda beliau, katanya lebih enak jalurnya, tidak perlu merangkak dan memanjat dan cuma sekitar 3 menit ke Shelter 3. Kami berdua kembali bersemangat lagi, semoga 3 menit itu bukan cuma sugesti belaka untuk membuat kita bersemangat. Pendaki itu tidak bohong. Jalurnya lumayan landai dan tidak sampai 10 menit kemudian, kami pun tiba di Shelter 3.
Tak ada penanda kalau saya dan Aulia sudah berada di Shelter 3. Yang saya kenali, di sini banyak tenda berdiri tidak beraturan layaknya sebuah pemukiman kumuh. Karena dalam keadaan gelap dengan penerangan seadanya, saya bisa mendeskripsikan Shelter 3 ini sebagai tempat yang lumayan datar dan terbuka dengan langit membentang luas di atas kita. Syukur malam ini tak ada hujan dan badai. Angin pun sepertinya juga terasa tak berhembus. Alamnya tenang tapi para pengunjungnya yang bergemuruh.
Sesampai di Shelter 3, saya dan Aulia kebingungan mencari tenda kami. Kami pun berteriak memanggil nama anggota tim kami satu per satu. Namun tak ada jawaban. Saya dan Aulia ibarat anak hilang mencari rumahnya dimana. Pendaki-pendaki yang kami lewati dan bertanya pada mereka juga tidak tahu posisi tenda kami. Hingga di sebuah tempat di dekat sebuah spanduk yang terpasang, saya dan Aulia betemu dengan Agus Lion yang juga sedang kebingungan mencari posisi tenda kami. Ekspresinya seperti anak yang kehilangan mamanya di tengah pasar malam. Akhirnya kami bertiga pun kembali berhenti di dekat spanduk itu. Beristirahat lagi. Staminaku benar-benar habis malam ini.
Melihat Agus Lion dan Aulia yang juga malas bergerak, akhirnya dengan keadaan yang amat sangat dipaksakan, saya pun memutuskan untuk pergi duluan mencari tenda kami dan menghimbau pada Aulia dan Agus Lion untuk menunggu di sini, sekalian menunggu Wafiq dan Yopie. Saya pun mulai berjalan menyusuri jalan dan melewati tenda para pendaki satu per satu ke arah puncak, sambil bertanya pada mereka yang saya temui ketika berjalan. Dan, alhamdulillah tak berapa lama kemudian, ada pendaki yang mengenal Bang Andy. Setelah meyakinkan kalau Bang Andy yang di maksud adalah Bang Andy yang bersama rombongan dari Bandung, maka ia pun mengantar saya menuju tenda itu. Tak berapa lama kemudian, saya pun bertemu Uul yang entah lagi sibuk apa. Bang Andy pun muncul, dan menanyakan yang lainnya. Ketika mengetahui kalau yang lainnya sedang menunggu di tempat yang ada spanduknya, ia pun akhirnya pergi sendiri menjemput mereka.
Ketika saya tiba, jam tangan saya menunjukkan pukul 20:30. Dua setengah jam dari Shelter 2 ke Shelter 3. Suasana tenda sangat sunyi ketika saya tiba. Sebagian sudah berada dalam posisi tidur, namun malas bersuara. yang terlihat sibuk hanya Bang Pander yang sedang memasak. Uul menyampaikan kalau Fannah sempat pingsan sesampainya di sini, makanya dia langsung tepar duluan di dalam tenda.
Saya pun mencari tenda yang masih lowong, dan menyiapkan perlengkapan tidur untuk malam ini, dan perlengkapan yang akan saya bawa nanti ke puncak. Suasana malam pun akhirnya terlewatkan untuk dinikmati mengingat letih yang mendera selama perjalanan dari awal pendakian. Ditambah lagi, kita harus mempersiapkan fisik dan stamina di dini hari nanti untuk menuju puncak yang juga tidak bakal mudah. Mempersiapkannya pun tak ada cara lain selain tidur. Malam ini sebenarnya indah sekali. Langit malam yang bertabur bintang ditambah hembusan angin yang hampir tidak terasa sama sekali. Tenda-tenda pendaki lainnya menjadi pemandangan unik tersendiri yang masing-masing diterangi oleh lampu-lampu senter ataupun oleh api unggun yang mereka buat. Namun sayang, semuanya hanya terekam sepintas oleh mata yang mulai redup sebelum masuk tenda untuk beristirahat.
Setengah jam kemudian, kawan-kawan lainnya tiba juga termasuk Wafiq dan Yopie. Salut untuk Wafiq dan Yopie atas usahanya bisa sampai ke Shelter 3, pelan namun sampai. Mereka pun juga akhirnya bergegas untuk beristirahat guna mempersiapkan stamina dan fisik buat ke puncak nanti jam 4 pagi.
Part 1: http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-1.html
Part 2: http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-2.html
"Lets Pack Our Bags and Hit The Sky"
Sabtu, 16 Agustus 2014
Sekitar jam 4 pagi, basecamp di rumah Bang Andy mulai gaduh. Dari yang antri di kamar mandi karena mau wudhu, mandi, atau buang air. Harap dimaklumi saja, kamar mandi cuma satu. Ditambah juga yang lagi siap-siap sholat subuh. Mendengar suara adzan subuh yang dekat dari basecamp, ada (saya lupa orangnya) yang menanyakan lokasi mesjid di mana. Kemudian, Rifky mengajak saya untuk sholat di mesjid, namun saya bilang duluan saja, nanti saya nyusul. Beberapa saat kemudian, saya pun menyusul menyusuri jalan, mencari mesjid sendirian. Panduan saya cuma suara adzan yang mengalun perlahan. Saya terus berjalan mencari lokasi suara itu. Hingga Iqomat selesai, saya masih belum menemukan mesjid tersebut. Jalanan begitu sepi dan saya terus berjalan tanpa henti, namun rombongan anjing di depan sebuah rumah yang akan saya lalui membuatku ciut untuk terus berjalan. Sebagai orang yang pernah bermasalah dengan anjing, saya berpikir daripada dikejar dan dikeroyok anjing, mending saya berbalik arah kembali ke basecamp. Namun di tengah jalan pulang, saya bertemu dengan Novan, Wafiq dan Uul yang juga sedang mencari-cari mesjid. Kami pun menyusuri jalan yang saya lalui sebelumnya. Sekarang saya tidak takut sama anjing lagi. Jumlah kami berempat, lumayan lah buat bikin rombongan anjing yang jumlahnya lebih banyak dari kami itu ciut. Dan benar saja, anjing-anjing itu cuma berani menggonggong di tempat. Tak lama kemudian, kami pun menemukan masjid, sumber suara yang kami cari dari tadi. Masjid yang cukup besar untuk ukuran sebuah desa. Jamaahnya pun lumayan banyak di sholat subuh ini.
Sekembali dari mesjid, kami pun mulai melakukan persiapan sebelum berangkat. Di antaranya sarapan yang disiapkan oleh keluarga Bang Andy, kemudian memperbaiki packing kami semalam agar lebih siap buat mendaki. Di sini juga kami dibekali perbekalan makan siang berupa nasi bungkus yang juga disiapkan oleh keluarga Bang Andy agar bisa menghemat waktu tanpa perlu memasak lagi siang nanti.
Ada pemandangan baru bagiku dalam pendakian kali ini, yakni pendaki dengan sepatu boot. Saya sering melihatnya ketika sedang di proyek. Tetapi dalam pendakian, baru kali ini saya melihatnya. Dan pelakunya adalah, Agus Novan, Ryan, Uul, dan Bang Pander. Pemakaian sepatu boot menguntungkan apabila jalur yang dilewati berupa jalur berlumpur. Dari referensi yang saya baca, jalur pendakian Kerinci banyak berupa jalur aliran air, sehingga akan licin dan berlumpur karena bekas genangan air campur tanah. Ditambah lagi akhir-akhir ini sering dilalui para pendaki. Kondisinya akan semakin parah kalau sedang hujan atau setelah hujan. Dan sialnya lagi, kata Bang Andy, akhir-akhir ini Kerinci sering hujan. Saya hanya bisa berdoa, semoga tidak ada hujan selama kami mendaki.
Sekitar jam 6 pagi, mobil pick up yang akan mengangkut kami pun telah siap. Kerir-kerir kami pun diangkut ke dalam mobil pick-up yang akan mengantar kami ke Tugu Macan, ke pos pendakian Kerinci. Setengah jam kemudian kami pun berangkat. Hari nampak cerah ketika berangkat dengan matahari yang bersinar terik, langit nampak bersih dan gunung kerinci di depan kami nampak terlihat sempurna tanpa tertutup awan. Ketika mobil bergerak, suhu dingin pagi hari mulai menusuk. Saya yang hanya mengenakan kemeja flanel pun tak kuasa menahan dingin, menggigil. Di tengah perjalanan, awan mendung beserta kabut mulai menyelimuti perjalanan kami. Sekali lagi saya berdoa, semoga saja cuaca bersahabat selama pendakian ini.
Rombongan kami bertambah 2 orang yakni, Bang Andy yang satu mobil dengan kami, dan Bang Pander yang lebih memilih naik motor ke Tugu Macan. Alhamdulillah kami tiba Di Tugu Macan dengan cuaca dalam keadaan cerah. Matahari lumayan terik dan secercah harapan kalau cuaca akan bersahabat selama pendakian mulai muncul. Tugu Macan ditandai dengan sebuah tugu dengan patung harimau sumatra di atasnya yang merupakan ikon dari Kerinci sendiri sebagai salah satu habitatnya. Di Tugu Macan ini, tepatnya di sebuah pasar di sekitar Tugu Macan, kami sempat berbelanja logistik seperti beras, sayuran, jas hujan, gas buat kompor, dan sisa-sisa logistik lain yang belum ada. Sepertinya sedang musim Durian di sini. Banyak yang jualan durian, dan akhirnya ada yang tergoda untuk membelinya, sedangkan yang lainnya mencicipinya. Sedangkan saya, walaupun tergiur dengan baunya, tapi saya memutuskan untuk tidak ikut makan, karena takut bermasalah dengan perut selama pendakian.
Setelah semua urusan perbelanjaan selesai, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos pendakian yang letaknya sekitar 10 sampai 15 menit naik mobil dari Tugu Macan. Di sini kami melapor dan membayar biaya registrasi Rp2500 per orang. Setelah itu, kami bergerak lagi menuju gerbang pendakian yang tidak jauh dari pos pendakian tersebut. Di sinilah kami akan mulai mendaki menuju puncak Kerinci, Puncak Inderapura. Kalau tidak ada masalah dalam perjalanan, kami akan berada di puncak keesokan harinya yang juga bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesiaku yang ke-69.
Sebelum mendaki, kami berdoa bersama dulu, semoga pendakian ini berjalan dengan lancar dan semoga anggota tim bisa kembali dengan selamat. Langkah pertama kami pun dimulai. Jalan yang kami lalui masih agak landai dengan pemandangan sawah di kiri kanan kami. Inilah pemanasan ala Kerinci sebelum melewati tanjakan terjal yang tidak manusiawi nantinya. Sekitar 10 menit kemudian, kami tiba di Pintu Rimba. Mulai dari sini, pemandangan akan berupa hutan dengan vegetasi yang cukup rapat. Jalurnya masih lumayan landai. Sepertinya pemanasan masih belum selesai. Jalur berlumpur juga banyak ditemui di sini, namun saya masih bisa melipir menghindarinya dengan tujuan agar sepatu tidak kemasukan air lebih awal. Di sini juga banyak ditemui pohon tumbang yang melintang di jalur pendakian, sehingga membuat kami berusaha ekstra untuk melewatinya.
Teman-teman pun sudah mulai terpisah satu per satu. Yang nafasnya panjang dan tahan lama, terus melangkah ke depan meninggalkan mereka yang nafasnya biasa-biasa saja. Saya termasuk pemilik nafas yang biasa-biasa saja, berjalan santai selangkah demi selangkah. Perjalanan masih panjang dan puncak tidak akan ke mana-mana. Mengingat kondisi fisik saya yang kurang persiapan ditambah nafas yang biasa-biasa saja, saya pun membuat aturan buat diri sendiri dalam melangkah, setengah jam jalan dan 10 menit istirahat. Mau sepelan apapun saya berjalan, intinya dalam setengah jam saya harus tetap melangkah. Setelahnya, istirahat 5-10 menit, tergantung keadaan saya.
Lima belas menit kemudian, saya tiba di Pos 1. Di sini sudah menunggu anggota tim lainnya yang sudah tiba lebih dulu. Di belakang saya, kalau tidak salah masih ada Uul, Yopie dan Bang Andy. Bukan cuma tim kami yang berada di Pos 1, namun ada rombongan-rombongan pendaki lain yang jumlahnya lebih banyak dari kami. Di Pos 1 ada sebuah shelter dan sebuah bangku panjang yang membuatnya sering juga disebut sebagai Pos Bangku Panjang. Setelah Uul, Yofie dan Bang Andy tiba, tak lama kemudian kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Pos 2.
Jalur menuju Pos 2 masih cukup landai dibandingkan jalur menuju Pos 1. Vegetasinya pun masih rapat seperti sebelumnya. Di sini kami kembali tercerai berai dalam melangkah. Jalur pendakian menjadi semakin ramai dengan para pendaki lainnya yang mulai teriak-teriak dalam melangkah. Salip menyalip antar pendaki pun sering terjadi. Ada yang menyalip saya dengan langkah yang cepat, namun beberapa saat kemudian saya kembali menyalipnya dan mendapatinya beristirahat mengatur nafas. Beberapa saat kemudian, dia kembali menyalip saya yang melangkah gontai tapi konstan.
Perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2, saya tempuh dalam setengah jam. Pos 2 hanya berupa tanah lapang yang lumayan luas untuk beristirahat. Di Pos 2 kami kembali menunggu anggota tim lainnya yang belum tiba. Seingat saya, di belakang saya hanya ada Yopie dan Bang Andy. Agak lama juga menunggu mereka, hingga Agus Novan, Ryan, Uul dan Dika memilih melanjutkan perjalanan lebih dulu ke Pos 3. Karena beristirahat terlalu lama juga tidak baik bagi tubuh yang mulai kedinginan. Ketika mereka tiba di Pos 2, saya mendengar Bang Andy mulai mengeluh tentang keadaan Yopie pada Bang Pander, "lambat nian jalannya itu orang", katanya. Orang yang dimaksud adalah Yopie. "Jalan boleh lambat, asal jangan pernah berhenti saja", gerutuku. Dan yang saya lihat dari Yopie memang seperti itu. Buktinya sesampainya di Pos 2, dia bukannya istirahat, malah langsung tancap gas menuju Pos 3.
Jalur menuju Pos 3 sudah mulai menanjak. Jalan datar sudah mulai jarang ditemui. Jalurnya pun kebanyakan jalur aliran air. Terbayang kalau hujan, jalur ini akan berupa kubangan lumpur dan tanjakan yang licin. Sepertinya pemanasan kali ini naik tingkat, berganti dengan tanjakan yang belum begitu menanjak. Tidak perlu mengeluarkan porsi tenaga yang berlebih di sini, karena jalur pendakian di depan akan lebih parah. Di jalur ini, saya sempat melihat beberapa ekor tupai yang menyeberang jalan di jalur pendakian. Saya cuma menyaksikannya saja, tanpa berucap apa-apa. Ini juga aturan buat diriku sendiri untuk tidak banyak berkomentar tentang apa yang terlihat ketika sedang mendaki. Saksikan dan nikmati saja apa yang disajikan oleh gunung, isi dan penghuninya.
Perjalanan ke Pos 3, saya tempuh dalam setengah jam. Pos 3 berupa tanah lapang yang cukup luas dibandingkan Pos 2 dan dilengkapi dengan sebuah shelter seperti di Pos 1. Di belakang saya yang masih belum tiba di Pos 3, masih ada Wafiq dan Yopie. Wafiq yang masih kerabat dengan Yopie, bermaksud menemani Yopie dalam mendaki. Ketika Wafiq tiba di Pos 3, ia bilang kalau Yopie memiliki masalah dengan nafasnya. Bisa dikatakan sesak nafas. Namun, dia masih terus semangat mendaki walau lambat.
Sebagian dari kami berada di Pos 3 selama setengah jam. Sisanya sudah ada yang berangkat menuju ke Shelter 1 terlebih dulu. Jalur menuju Shelter 1 tidak jauh beda dengan jalur dari Pos 2 ke Pos 3. Yang membedakan hanyalah jarak tempuhnya yang lebih lama, dan tanjakannya yang semakin terjal. Vegetasinya pun lebih rapat dari sebelumnya. Waktu yang saya tempuh untuk sampai ke Shelter 1 adalah satu setengah jam. Saya sampai di Shelter 1 bersama Novan dan Bang Pander. Jauh di belakang saya, seperti sebelumnya masih ada Wafiq dan Yopie.
Pemandangan pertama yang terlihat ketika sampai Shelter 1 adalah banyaknya pendaki yang berada di sini. Seperti ada pasar kaget di sini melihat jumlah pendaki yang berbaur berkelompok-kelompok. Ada yang baru mau mendaki, dan ada yang sudah mau turun. Mereka tak bisa saya bedakan sama sekali. Ada yang saling mengenal satu sama lain. Biasanya yang saling mengenal satu sama lain adalah sesama ranger Kerinci yang sudah sering naik turun Kerinci. Sedangkan sisanya, hanya berusaha sok akrab karena nasib yang sama sesama pendaki, atau untuk sekedar meramaikan suasana. Inilah salah satu kenikmatan dari mendaki. Keramahan yang ditunjukkan sesama pendaki begitu terasa, terkadang saling berbagi makanan, minuman dan tentu saja tidak berbagi pakaian.
Shelter 1 ini berupa tanah datar yang lebih luas dari Pos 1, 2 dan Pos 3, dan dilengkapi dengan sebuah shelter yang beratapkan terpal berwarna biru yang sepertinya baru terpasang. Langit juga terlihat jelas dari sini, walaupun masih dikelilingi oleh vegetasi yang rapat. Di sini sebenarnya nyaman untuk mendirikan tenda dan menginap kalau mau santai dalam mendaki Kerinci, tapi sayangnya tak ada sunber air sama sekali. Ketika tiba di Shelter 1, waktu sudah menunjukkan pukul 12:30. Di sini kami istirahat makan siang dengan bekal yang kami bawa dari Rumah Bang Andy. Kesan dinginnya pegunungan tidak terasa sama sekali di bawah terik matahari tempat kami beristirahat. Sejam kemudian, Wafiq dan Yopie baru tiba di Shelter 1. Wafiq memutuskan untuk makan siang juga, dan Yopie hanya istirahat sebentar saja dan memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Shelter 2. Ia tidak merasa lapar sama sekali walaupun makan siangnya ada. Yang penting energinya masih ada untuk bisa dipakai mendaki.
Tak berselang berapa lama setelah kedatangan Wafiq dan Yopie, saya beserta kawan-kawan lainnya melanjutkan perjalanan menuju Shelter 2. Agus Novan dan Ryan selalu jadi yang terdepan dalam berjalan. Disusul Uul, Dika, Aul, Agus Lion, Fannah, Rifki, Novan dan saya. Sedangkan Bang Pander dan Bang Andy entah di mana posisi mereka. Terkadang mereka di depan saya dan terkadang juga di belakang saya. Saya tidak pernah memperhatikan kapan mereka istirahat dalam perjalanan menuju Shelter 2 ini. Kekuatan seorang ranger tak usah dipertanyakan lagi. Naik turun Kerinci sudah seperti mainan bagi mereka.
Jalur menuju Shelter 2 ini kebanyakan berupa tanah liat dan seperti jalur aliran air. Vegetasinya pun masih rapat seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan ada jalur yang berupa terowongan yang dibentuk oleh dahan-dahan pohon yang melintang. Kalau tanjakannya sendiri, saya sudah bisa bilang wow untuk model tanjakannya. Di sini, terkadang saya menggunakan akar dan dahan hanya untuk sekedar menjadikannya pegangan atau pijakan untuk bisa melewati sebuah tanjakan. Di jalur ini, kami lebih sering berpapasan dengan pendaki yang turun dibandingkan sebelumnya. Sempat turun gerimis dalam perjalanan menuju Shelter 2. Novan dan Rifki yang berjalan bersamaku, memutuskan untuk memakai jas hujan. Sedangkan saya, melihat terangnya kondisi di depan tempat yang kami tuju, saya memutuskan untuk tidak memakainya. Pertimbangan lainnya kenapa saya malas memakai raincoat kalau hujan tidak deras adalah kalau jalan, saya pasti kepanasan, dan itu tidak nyaman bagi saya. Benar saja, beberapa saat kemudian, hujan gerimis pun reda. Novan dan Rifki akhirnya memutuskan melepaskan jas hujan mereka.
Sekitar 2 jam sebelum mencapai Shelter 2, saya, Aulia, Agus Lion, Rifki dan Fannah beserta Novan beriringan dalam berjalan. Kami lebih banyak istirahat pada tahap ini. Fannah sempat mual, dan ketika istirahat, kami pakai untuk mengobrol. Hal ini terkadang membuat kita lupa dengan waktu istirahat. Kalau tidak diingatkan untuk jalan, maka kami semua akan terus beristirahat, mengingat di belakang masih ada Wafiq dan Yopie. Dan ketika berjalan pun, ritmenya sangat pelan akibat stamina yang mulai berkurang. Nafasku ku pun terdengar menderu-deru. Ini adalah hal yang biasa bagiku, dan saya merasa masih kuat mendaki. Terkadang ketika saya merasa lemas, merasa stamina sudah benar-benar habis dan berat melangkahkan kaki, di sinilah doping cokelat sangat berguna bagiku. Satu potong cokelat saja bisa membuat saya seperti mendapatkan stamina ekstra untuk bisa terus melangkah. Bahkan menurutku, cemilan terbaik di gunung itu yaa cokelat, bawa sebanyak-banyaknya kalau perlu. Tetapi kalau kata Agus Novan, seseorang harus mengetahui makanan terbaik bagi dirinya untuk tetap membuat dirinya tetap fit selama mendaki. Intinya, kenali kekurangan dirimu dan persiapkan sendiri solusinya ketika ingin mendaki.
Karena langkah yang begitu pelan dan waktu istirahat yang sudah tidak beraturan lagi, membuat Novan akhirnya memutuskan untuk melangkah lebih cepat meninggalkan kami. Ini bisa dimaklumi karena untuk ukuran mereka yang cepat dalam melangkah jika berada dalam ritme pendakian yang lambat akan melemahkan kondisinya juga. Sedangkan sisanya masih bersama dengan langkah yang sama dalam melewati tanjakan demi tanjakan yang mulai tidak manusiawi.
Sekitar pukul 17:00, kami tiba di Shelter 2. Di sana, sudah ada Novan, Agus Novan, Ryan, Uul, Dika dan Bang Pander yang sudah menikmati suasana sore di Shelter 2 dengan indomie rebus dan biskuit. Mereka lumayan lama menanti kami. Dan di belakang sana, Wafiq dan Yopie tidak ada kabarnya sama sekali. Melihat indomie rebus yang masih tersisa, saya pun turut menyantapnya. Perjalanan ke Shelter 2 ini sangat menguras banyak tenaga. Saya butuh suplai makanan, apapun itu. Yang lain sepertinya begitu seperti Aulia, Rifki, Agus Lion dan Fannah. Karena sisa indomie rebus yang sedikit dan rasanya masih kurang banyak, saya pun memasak kembali. Atas pertimbangan mereka yang tiba duluan di Shelter 2 ini, stok masakannya pun saya tambah untuk Wafiq dan Yopie kalau mereka tiba di sini.
Shelter 2 ini berada di ketinggian 3100 meter dan sekilas penampakannya hanya berupa tanah datar yang sempit sekali tanpa shelter. Langit terbuka lebar di sini, namun sayang pemandangannya masih tertutup oleh puncak pohon. Terkadang di balik puncak-puncak pohon itu terlihat lautan awan yang posisinya lebih rendah dari tempat kami beristirahat. Di Shelter 2 ini, para pendaki bisa mendirikan tenda dan bermalam di sini sebagai alternatif apabila tidak bisa atau tidak mau mencapai Shelter 3 dalam keadaan gelap. Di sini terdapat sumber air tapi sayangnya keruh. Kita harus berhati-hati mengambilnya untuk bisa mendapatkan air yang bersih. Jarak tempat air dari tempat kami beristirahat, tepatnya di jalur menuju Shelter 3 adalah sekitar 10 sampai 15 menit.
Ketika saya tiba, Shelter 2 sudah penuh sesak dengan pendaki yang mau mendirikan tenda di sini dan yang akan melanjutkan perjalanan menuju Shelter 3. Tersiar kabar kalau di Shelter 3, tempat untuk mendirikan tenda sudah tidak ada alias sudah penuh dengan pendaki. Ini juga yang membuatku berpikir, mengingat kesepakatan semalam, lanjut tidaknya kami ke Shelter 3, tergantung sesampainya kami di Shelter 2. Kalau kami tiba di Shelter 2 pada jam 17:00, ini berarti kami harus mendirikan tenda di Shelter 2 dan keesokan harinya berjalan langsung menuju puncak. Dan melihat Wafiq dan Yopie yang tidak kunjung sampai di Shelter 2, semakin menguatkan diriku kalau kami akan mendirikan tenda di Shelter 2. Namun, melihat situasi Shelter 2 yang penuh sesak dengan pendaki, rasanya lebih baik berada di Shelter 3 yang penuh dengan pendaki. Pertimbangan saya, akses ke puncaknya lebih dekat dan nantinya tidak akan menguras stamina kita dalam menuju puncak.
Beberapa saat kemudian, Bang Andy yang entah muncul dari mana, yang bahkan saya sendiri tidak menyadari keberadaannya, mengomando kami untuk lanjut ke Shelter 3 sebelum kemalaman, biar bisa cari tempat untuk mendirikan tenda. Walau kabarnya Shelter 3 sudah penuh, setidaknya Shelter 3 lebih luas dari Shelter 2 dan ada sumber air yang lebih bersih dari Shelter 2. Tak lama kemudian Novan, Agus Novan, Ryan, Dika, Uul, dan Bang Pander melanjutkan perjalanan menuju Shelter 3. Mereka bermaksud tiba lebih cepat di Shelter 3 agar bisa mencari lokasi mendirikan tenda, dan kalau bisa memasak buat makan malam nantinya. Sedangkan sisanya, termasuk diriku memberi batas sampai jam 18:00 menunggu Wafiq dan Yopie untuk kemudian berangkat juga ke Shelter 3.
Hingga pukul 18:00 Wafiq dan Yopie belum muncul juga dan kami pun mulai kedinginan menunggu mereka. Akhirnya kami pun memutuskan berangkat menuju Shelter 3. Saya cuma bisa berdoa, semoga Wafiq dan Yopie tidak apa-apa di belakang sana, mereka orang kuat kok. Masih ada waktu setengah jam jalan sebelum gelap. Di tanah Kerinci ini, waktu mulai gelapnya sekitar pukul 18:30. Estimasi waktu tempuh saya menuju Shelter 3 sekitar 2 jam perjalanan. Lebih singkat dibandingkan dengan perjalanan dari Shelter 1 ke Shelter 2 yang butuh waktu tiga setengah jam. Namun jalurnya akan menjadi yang terberat selama pendakian ini.
Perkenalan jalur yang menyiksa ini sudah dimulai sejak meninggalkan Shelter 2. Kemiringan tanjakannya sudah tak terukur lagi. Bagiku tanjakan ini sudah seterjal terjalnya tanjakan. Jalur ini membuatku merasa seperti berada di celah-celah di antara 2 punggungan kecil, bisa juga diibaratkan berada di sebuah saluran pembuangan dan sedang menyusurinya menuju bagian hulunya. Dan sepertinya jalur ini memang jalur aliran air. Terbayang kalau hujan lebat, akan seperti apa penampakan jalur ini.
Tanjakan ini mengingatkan saya pada tanjakan di jalur Kalimati ke Arcopodo di Semeru, namun lebih parah dan lebih jauh. Di tambah lagi, kami harus melewatinya dengan membawa kerir. Lengkap sudah tantangannya. Langkah kami begitu pelan. Butuh ekstra tenaga untuk melangkah. Melewati jalur ini tak ubahnya seperti merangkak dan memanjat. Apapun yang bisa dipegang atau dipijak seperti akar pohon atau dahan pohon akan digunakan untuk membawa kita ke posisi yang lebih tinggi. Kalau cuma berharap pada pijakan kaki pada tanah, kita akan semakin sulit untuk melangkah. Di tambah hari yang sudah mulai gelap, semakin menyulitkan langkah kami.
Ternyata bukan cuma rombongan kami yang menuju ke Shelter 3. Banyak pendaki-pendaki lainnya yang berjuang melewati jalur yang sama dengan kami. Satu per satu mereka melewati kami. Dan terkadang ada di antara mereka ada yang mengulurkan tangan mereka untuk kami jadikan pegangan agar bisa melangkah naik. ("Melangkah Naik", kata yang aneh.). Kejadian seperti ini tak cuma berlangsung sekali, namun sering. Hingga pada satu titik, Fannah kembali mengalami mual-mual pada saat melewati jalur yang butuh bantuan orang lain untuk naik. Kebetulan di atasnya ada pendaki yang mendirikan tenda. Mereka adalah orang Kerinci juga, bisa juga disebut sebagai ranger tak bertuan. Mereka membantu kami, dan melihat kondisi Fannah, mereka menawarkan pada kami untuk istirahat sejenak di tenda mereka. Ada sekitar setengah jam kami di sana. Tempatnya lumayan datar dan tidak terlalu luas. Hanya cukup untuk 3 tenda berdiri berdempetan. Namun mereka memasang satu tenda flysheet sehingga tempatnya terasa agak luas. Mereka menawarkan kami air hangat, terutama pada Fannah yang sepertinya butuh perawatan.
Dari tempat ini, suara-suara keramaian di Shelter 3 sudah mulai terdengar. Terkadang terdengar juga suara kembang api yang kilatannya bisa kita lihat dari sini. Baru kali ini saya temukan ada yang bawa kembang api di gunung. Kata yang punya tenda, Shelter 3 cuma 15 menit dari sini kalau jalan normal. Dan satu per satu pun pendaki naik melewati kami. Ada satu pendaki yang berhenti di tempat kami berhenti, dan sempat bertegur sapa dengan kami. Ketika ia tahu kami rombongan dari Bandung, ia langsung mengatakan kalau ada 2 orang Bandung juga di belakang, posisi mereka sudah melewati Shelter 2. Setelah menanyakan ciri-ciri mereka, saya yakin kalau mereka berdua adalah Wafiq dan Yopie. Kami pun kembali bersemangat melanjutkan perjalanan menuju Shelter 3. Tak lama kemudian, kami pun pamit sama yang punya tenda dan kembali melanjutkan perjalanan. Jalurnya masih sama, tak ada perubahan sama sekali parahnya, bahkan tanjakannya tambah parah dengan langit yang lumayan terbuka. Pohon-pohon tinggi sudah mulai jarang terlihat. Langit nampak penuh bintang malam ini. Tak ada waktu mengagumi bintang saat ini, karena pikiranku terus membayangkan Shelter 3, Shelter 3 dan Shelter 3.
Beberapa saat setelah meninggalkan tempat istirahat terakhir, kami bertemu dengan Bang Andy yang turun mencari kita. Mengingat banyaknya tenda pendaki di atas, ia mengira kami akan kesulitan menemukan tempat tenda kami. Ia pun menuntun kita terus ke Shelter 3, hingga saya dan Aulia terpisah dari mereka; Bang Andy, Agus Lion, Rifki dan Fannah. Pada tahap ini, saya dan Aulia lebih sering berhenti hingga kesulitan mengejar Bang Andy dan yang lainnya. Saat sedang istirahat sambil bersandar pada sisi kanan jalur yang lumayan tegak, saya akhirnya bisa mengagumi sejenak langit yang penuh bintang di malam ini. Mata saya jadi saksi dengan kondisi stamina yang terkuras habis. Gumaman saya ini pun terdengar oleh seorang pendaki di hadapan saya, tepatnya di atas saya yang mendirikan tenda di sana. Ia pun menghampiri saya dan Aulia. Ia melihat kami seperti melihat kami dalam sebuah kubangan, dikarenakan posisi dia yang lebih tinggi dari kami. Setelah berbasa basi sejenak, ia pun menawarkan untuk lewat dekat tenda beliau, katanya lebih enak jalurnya, tidak perlu merangkak dan memanjat dan cuma sekitar 3 menit ke Shelter 3. Kami berdua kembali bersemangat lagi, semoga 3 menit itu bukan cuma sugesti belaka untuk membuat kita bersemangat. Pendaki itu tidak bohong. Jalurnya lumayan landai dan tidak sampai 10 menit kemudian, kami pun tiba di Shelter 3.
Tak ada penanda kalau saya dan Aulia sudah berada di Shelter 3. Yang saya kenali, di sini banyak tenda berdiri tidak beraturan layaknya sebuah pemukiman kumuh. Karena dalam keadaan gelap dengan penerangan seadanya, saya bisa mendeskripsikan Shelter 3 ini sebagai tempat yang lumayan datar dan terbuka dengan langit membentang luas di atas kita. Syukur malam ini tak ada hujan dan badai. Angin pun sepertinya juga terasa tak berhembus. Alamnya tenang tapi para pengunjungnya yang bergemuruh.
Sesampai di Shelter 3, saya dan Aulia kebingungan mencari tenda kami. Kami pun berteriak memanggil nama anggota tim kami satu per satu. Namun tak ada jawaban. Saya dan Aulia ibarat anak hilang mencari rumahnya dimana. Pendaki-pendaki yang kami lewati dan bertanya pada mereka juga tidak tahu posisi tenda kami. Hingga di sebuah tempat di dekat sebuah spanduk yang terpasang, saya dan Aulia betemu dengan Agus Lion yang juga sedang kebingungan mencari posisi tenda kami. Ekspresinya seperti anak yang kehilangan mamanya di tengah pasar malam. Akhirnya kami bertiga pun kembali berhenti di dekat spanduk itu. Beristirahat lagi. Staminaku benar-benar habis malam ini.
Melihat Agus Lion dan Aulia yang juga malas bergerak, akhirnya dengan keadaan yang amat sangat dipaksakan, saya pun memutuskan untuk pergi duluan mencari tenda kami dan menghimbau pada Aulia dan Agus Lion untuk menunggu di sini, sekalian menunggu Wafiq dan Yopie. Saya pun mulai berjalan menyusuri jalan dan melewati tenda para pendaki satu per satu ke arah puncak, sambil bertanya pada mereka yang saya temui ketika berjalan. Dan, alhamdulillah tak berapa lama kemudian, ada pendaki yang mengenal Bang Andy. Setelah meyakinkan kalau Bang Andy yang di maksud adalah Bang Andy yang bersama rombongan dari Bandung, maka ia pun mengantar saya menuju tenda itu. Tak berapa lama kemudian, saya pun bertemu Uul yang entah lagi sibuk apa. Bang Andy pun muncul, dan menanyakan yang lainnya. Ketika mengetahui kalau yang lainnya sedang menunggu di tempat yang ada spanduknya, ia pun akhirnya pergi sendiri menjemput mereka.
Ketika saya tiba, jam tangan saya menunjukkan pukul 20:30. Dua setengah jam dari Shelter 2 ke Shelter 3. Suasana tenda sangat sunyi ketika saya tiba. Sebagian sudah berada dalam posisi tidur, namun malas bersuara. yang terlihat sibuk hanya Bang Pander yang sedang memasak. Uul menyampaikan kalau Fannah sempat pingsan sesampainya di sini, makanya dia langsung tepar duluan di dalam tenda.
Saya pun mencari tenda yang masih lowong, dan menyiapkan perlengkapan tidur untuk malam ini, dan perlengkapan yang akan saya bawa nanti ke puncak. Suasana malam pun akhirnya terlewatkan untuk dinikmati mengingat letih yang mendera selama perjalanan dari awal pendakian. Ditambah lagi, kita harus mempersiapkan fisik dan stamina di dini hari nanti untuk menuju puncak yang juga tidak bakal mudah. Mempersiapkannya pun tak ada cara lain selain tidur. Malam ini sebenarnya indah sekali. Langit malam yang bertabur bintang ditambah hembusan angin yang hampir tidak terasa sama sekali. Tenda-tenda pendaki lainnya menjadi pemandangan unik tersendiri yang masing-masing diterangi oleh lampu-lampu senter ataupun oleh api unggun yang mereka buat. Namun sayang, semuanya hanya terekam sepintas oleh mata yang mulai redup sebelum masuk tenda untuk beristirahat.
Setengah jam kemudian, kawan-kawan lainnya tiba juga termasuk Wafiq dan Yopie. Salut untuk Wafiq dan Yopie atas usahanya bisa sampai ke Shelter 3, pelan namun sampai. Mereka pun juga akhirnya bergegas untuk beristirahat guna mempersiapkan stamina dan fisik buat ke puncak nanti jam 4 pagi.
4 comments
Ngeliat foto-fotonya, ada beberapa spot yang cukup familiar walopun gak tau pembandingnya apa :p
Anyway, sukak dengan tracknya. Kalo yang seperti itu jadi semangat. Karena sekali melangkah mendadak langsung tinggi. Hahaha
Spot pembandingnya sepertinya saya tahu... di gunung dan hutan kan yaa?? :p
Emang sih, sekali melangkah langsung tinggi. Itu salah satu nilai plusnya... :))
hahaha.. iyaaaa,. di gunung. Tapi emang tiap gunung pasti selallu punya kemiripan kok antara satu dengan yang lain. Entah sebagian kecil atau sebagian besar.
Iyaaaa,.. makanya biasanya gunung-gunung yang tingginya kebangetan dan waktu tempuhnya cuma bentar trus pos awal pendakiannya di titik yang gak terlalu tinggi, siap-siaplah dengan track macam itu. Hehehe
Gak kebayang kalau awal pendakiannya dimulai dari titik nol meter dengan jalur seperti ini. :)) Kalau Kerinci sih ketinggian pos awal pendakiannya sekitar 1500 meter kalau gak salah....
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs