"I Pray For The Impossible"
Berharap menggapai yang tidak mungkin. Ini adalah status whatsapp salah seorang teman yang juga bisa mewakili kondisi pribadi saya dalam menjelajahi alam Gunung kerinci. Hanya dalam waktu tiga bulan sebelum keberangkatan, saya memutuskan untuk ikut bersama rombongan teman-teman yang dari Bandung, Bogor dan Jakarta. Jumlah keseluruhan yang jadi berangkat ada 12 orang dan setengahnya adalah bekas tim yang ke Rinjani tahun lalu. Mimpi ke Kerinci ini tak bisa dipisahkan dari perjalanan sehabis ke Rinjani. Tim Rinjani ingin lebih tinggi menjejakkan kaki dari Rinjani, dan sayangnya yang bisa mewujudkannya hanya 6 orang dari 10 orang. Sehabis Kerinci, rencananya tim ini ingin lebih tinggi lagi menjejakkan kakinya. Let’s pray for the impossible.
Tak banyak persiapan yang saya lakukan dalam kurun waktu 3 bulan. Saya cuma sibuk di akhir-akhir sebelum keberangkatan dalam mencari perlengkapan mendaki yang belum ada, perlengkapan pribadi maupun tim. Saya hanya mampu mencari perlengkapan pribadi saja seperti sleeping bag, matras, raincoat, senter, dan beberapa macam logistik pribadi, seperti baterai senter, obat-obatan pribadi, cokelat, kopi sachet dan lain-lain. Sedangkan perlengkapan tim, saya tidak bisa mengusahakannya sama sekali. Tidak seperti perjalanan ke Rinjani tahun lalu, saya masih bisa mengusahakan tenda pinjaman, namun sekarang tidak ada sama sekali. Saya berangkat murni dengan kerir yang berisi barang-barang pribadi.
Sedangkan persiapan fisik, saya bisa mengatakan kalau fisik saya hampir tidak siap. Saya hanya mengandalkan banyak gerak dan banyak jalan kaki menjelang keberangkatan. Itu pun sambil mencari perlengkapan mendaki yang belum ada. Selebihnya saya cuma punya keyakinan kalau saya masih kuat mendaki. "I pray for the impossible to become possible". Pengetahuan tentang Gunung Kerinci dan Danau Gunung Tujuh banyak bisa ditemukan di internet, terutama di Wikipedia dan di blog-blog catatan perjalanan mereka yang pernah ke sana. Dengan mengetik kata ‘Kerinci’ di google, semua tautan mengenai Gunung Kerinci akan bermunculan satu per satu. Namun bagi saya pribadi, mendengar kata Kerinci, yang terbayang di benak saya adalah nama salah satu Kapal Pelni, gunung tertinggi kedua di Indonesia, salah satu habitat harimau sumatra, dan tempat cerita mitos 'manusia kerdil' yang keberadaannya masih jadi misteri sampai sekarang. Sedangkan nama Danau Gunung tujuh dan Pantai Air Manis adalah nama yang baru bagi saya, hampir pasti saya belum pernah mendengar nama itu sebelum mendaki Rinjani.
Rencananya, kami akan berada di tanah Sumatra selama 6 hari dari tanggal 15 sampai 20 Agustus 2014. Dalam 6 hari kami akan mendaki Gunung Kerinci, Danau Gunung Tujuh dan wisata ke Pantai Air Manis di Padang. Pendakian kali ini juga bertepatan dengan momen 17-an HUT RI ke 69, dan sudah pasti Kerinci akan penuh sesak oleh pendaki seperti cerita-cerita Agustus-an di gunung-gunung yang biasa didaki. Saya sendiri memulai perjalanan dari tanggal 14 Agustus 2014 dikarenakan posisi yang lebih jauh daripada kawan-kawan yang lainnya.
Kamis, 14 Agustus 2014
Hari ini saya memulai perjalanan dengan rute Makassar - Jakarta. Karena saya sendiri yang berada paling timur, maka saya juga yang harus menyesuaikan diri dengan jadwal keberangkatan kawan-kawan lainnya yang berada di barat. Rencananya kami akan berangkat dari Jakarta menuju Padang keesokan paginya. Titik temu kami semua ada di Padang dikarenakan keberangkatan terpecah menjadi dua tempat yakni Bandung dan Jakarta. 5 orang dari Jakarta dan 7 orang dari Bandung.
Saya berada di Bandara Hasanuddin jam setengah tujuh maghrib, sedangkan jadwal keberangkatan pesawat yang saya tumpangi jam delapan lebih sedikit. Sehabis check in, saya pun keluar kembali ke bandara mencari makan untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Ketika sedang menikmati makanan, ada pesan Whatsapp masuk dari seorang teman yang sepertinya lagi... (apa ya??). Obrolannya pun tidak seperti biasanya, pakai Bahasa Inggris. Obrolan yang berat :d. Tapi lumayan buat mengisi waktu sampai pesawat berangkat. Kalau orangnya lagi baca ini, terima kasih yaaa atas obrolannya. :">
Saya tiba di Jakarta sekitar jam 10 malam. Di sinilah petualangan dimulai. Bertemu dengan satu per satu kawan-kawan lainnya dan menjadi gembel di bandara semalaman. Orang pertama yang akan saya temui di Jakarta adalah Fannah yang berangkat dari Bogor. Fannah adalah teman Wafiq, salah satu anggota tim yang berangkat dari Bandung. Saya diberitahu Wafiq kalau Fannah juga berangkat dari Jakarta. Saya dan Fannah akhirnya sepakat untuk bertemu di bandara saat mau berangkat ke Padang, namun lokasi tepatnya belum disepakati.
Setelah mengambil barang bagasi, saya langsung menuju terminal keberangkatan 1B untuk kemudian mencari tempat sebelum menanyakan dan menyampaikan posisi masing-masing pada Fannah. Tempat yang saya tuju adalah sebuah bangku panjang yang hanya diisi oleh seorang perempuan yang sibuk dengan hp-nya dengan sebuah kerir di depannya. Perempuan ini sempat menoleh ke arahku dan kembali sibuk dengan hp-nya lagi.
Perkiraan saya, Fannah masih dalam perjalanan ke Bandara. Saya pun bersitirahat sejenak di bangku panjang itu sebelum menghubungi Fannah. Lagi pula masih ada waktu satu malam sebelum melanjutkan perjalanan ke Padang. Ketika saya mengambil hp bermaksud menghubungi Fannah, ternyata sudah ada SMS darinya yang masuk, yang mengabarkan ciri-ciri dirinya dan posisinya yang sudah berada di bandara. Yang membuat saya terkejut, ternyata ciri-ciri yang disebutkan itu persis dengan perempuan yang berada di sampingku. Saya pun menyapa, dan benaarr... Dia orangnya. Tidak perlu mencari lagi, tidak perlu mendorong trolly kesana kemari untuk mencari orangnya. Saya kaget, dia juga kaget dan parahnya lagi, kedatangan saya cuma berselang beberapa menit sesampainya dirinya di bandara. Bagi yang tidak percaya sama yang namanya ‘kebetulan’, ini namanya ‘kebetulan sekaliii’.
Selanjutnya giliran Ryan, Uul dan Agus Lion yang kami tunggu. Dari ketiganya saya hanya kenal dengan Uul, sedangkan Ryan dan Agus Lion, saya belum pernah bertemu dengan mereka. Ryan masih dalam perjalanan Bandung – Jakarta. Sedangkan Uul dan Agus Lion berencana datang ke bandara pada saat check in sekitar jam 4 pagi. Tinggallah saya dan Fannah berdua menunggu, membunuh waktu, ngobrol apa saja, tidur ayam, ke toilet, ngemper di bandara tanpa alas, jalan-jalan keliling bandara. Hal ini menjadi rutinitas dadakan bagiku dalam semalam sampai waktu check in tiba.
Jumat, 15 Agustus 2014
Jam 3 pagi sudah lewat, namun orang yang ditunggu tidak muncul-muncul juga. Pintu masuk keberangkatan sudah dibuka. Para penumpang sudah mulai mengantri masuk. Setengah jam kemudian yang ditunggu tidak kunjung datang, akhirnya saya dan Fannah memutuskan untuk check in lebih dulu. Akibat tidur seperti tidur ayam semalaman, ketika tiba waktu check in, mata malah tambah berat untuk dibuka.
Setelah check in, Ryan mengabarkan kalau dia sudah tiba di bandara. Kondisi yang setengah sadar malah membuat saya malas bergerak. Pikirku, nanti juga ketemu sendiri, entah di bandara, di pesawat atau di Padang. Sedangkan Uul dan Agus Lion entah ada di mana. Tidak ada kabar sama sekali dan dihubungi pun tak bisa.
Selang setengah jam kemudian, akhirnya saya dan Fannah bertemu dengan Ryan. Uul dan Agus Lion belum ada kabar sama sekali. Akhirnya kami bertiga memutuskan menunggu mereka di depan pintu Gate B1. Karena waktu subuh sudah tiba, kami pun sholat subuh terlebih dahulu di musholla dekat pintu gate B1. Setelah sholat subuh, Uul dan Agus Lion masih belum menampakkan diri juga. Kami pun bertiga kembali menunggu di depan pintu gate B1.
Selama menunggu Uul dan Agus Lion, kami bertiga mengisi waktu dengan mengobrol. Obrolan yang terkadang serius dan terkadang tidak serius. Hingga akhirnya, kami lupa dengan yang ditunggu dan lupa dengan jadwal keberangkatan pesawat. Jam keberangkatan di pass boarding menunjukkan pukul 05:20. Sedangkan ketika kami tersadar, waktu sudah menunjukkan pukul 05.35. Panik, yaa kami bertiga panik. Bukan hal yang lucu kalau kami gagal berangkat karena lupa waktu keberangkatan. Sedangkan keberadaan Uul dan Agus Lion, sudah tidak kami hiraukan lagi. Menurutku mereka pasti sudah di dalam pesawat. Anehnya, mereka tidak menghubungi kami sama sekali. Kelak kami akan ketahui kalau Uul berusaha menghubungi kami via group whatsapp, namun tak ada satupun dari kami bertiga yang membuka whatsapp pada saat menunggu itu.
Kami bertiga pun berlari masuk ke Gate B1. Sesampai di ruang tunggu Gate B1, keadaan sudah sepi dari penumpang. Dalam keadaan panik, kami berlari mencari petugas dan menanyakan tentang keberadaan pesawat yang akan kami tumpangi, dan syukurlah pesawatnya masih belum terbang. Alhamdulillah kami masih bisa naik ke pesawat. Dan tentang Uul dan Agus Lion, walaupun mereka satu pesawat dengan kami, ketemu dengan mereka nanti pas di Padang saja.
Di pesawat, saya dan Fannah kebagian tempat duduk berdampingan, sedangkan Ryan sudah terpisah entah di mana tempat duduknya. Saya kebagian duduk di tengah, Fannah di kiri saya di samping jendela, dan seorang bapak-bapak di samping kanan saya. Karena di bandara semalaman tidak bisa tidur dengan tenang, saya memutuskan untuk tidur di dalam pesawat selama perjalanan dari Jakarta ke Padang. Waktunya lumayan lama, satu setengah jam. Lupakan dengan pemandangan di luar pesawat di pagi hari. Momen terbaik ketika naik pesawat bagiku yaitu ketika matahari terbit dan matahari terbenam. Langitnya selalu jernih ketika saya naik pesawat pada jam-jam segitu, namun saat ini bagiku tidur lebih nikmat daripada menikmati pemandangan di luar pesawat sana. Lagipula tempat duduk saya tidak memungkinkan untuk menyaksikan dengan baik pemandangan di luar sana.
Tidurku pun tidak begitu nyenyak di dalam pesawat. Namun, tidur di pesawat lumayan nyenyak dibandingkan dengan tidur di bandara. Saya pun dibangunkan oleh pesan pilot yang mengabarkan pesawat sudah akan mendarat. Di samping kiriku, Fannah, entah dia baru bangun atau tidak tidur sama sekali, pandangannya masih tertuju di jendela pesawat. Melihat diriku yang sudah terbangun, dia pun mulai mengoceh tentang pesawat, tentang pemandangan di luar sana sampai pesawat mendarat. Bahkan, keadaan pesawat mendarat yang sudah biasa mendarat tidak mulus pun tak luput dari ocehannya. Saya pun berusaha menanggapinya seadanya. Tiba-tiba bapak-bapak di sebelah kanan saya nyeletuk, ‘Di bandara Minangkabau ini ada polisi tidur ya Mbak ya?’. Ucapannya ini ditujukan pada Fannah yang menunjukkan ekspresi terkejut ketika ban pesawat menyentuh landasan. Saya pun hanya bisa menyeringai mendengar celetukan si bapak. Saya penasaran apakah Fannah baru kali ini naik pesawat atau tidak, tapi saya tidak berani menanyakan hal ini padanya. Saya memutuskan untuk mengacuhkan rasa penasaran ini saja dan menganggapnya sebagai salah satu bumbu hiburan dalam perjalanan.
Setelah tiba di bandara, di sana sudah ada Uul sedang duduk manis di atas trolly menanti bagasinya. Saya pun mengambil trolly dan berusaha duduk manis juga menunggu bagasi. Tak lama berselang, Agus Lion pun menampakkan diri juga. Barang bagasi pun satu per satu dialirkan. Penerbangan dari Bandung pun baru tiba ketika menunggu barang bagasi ini. Bagasi Fannah, Ryan, Agus Lion dan Uul pun muncul satu per satu. Tinggal barang bagasi saya yang belum kunjung muncul. Hingga bagasi terakhir pesawat dari Jakarta dialirkan, bagasi saya tidak muncul juga. Saya pun menghampiri petugas bandara menanyakan kondisi bagasi pesawat dari Jakarta, dan dia menyatakan kalau semua bagasi sudah diturunkan. Panik yang kedua kalinya pun terjadi. Namun kali ini cuma saya sendiri yang panik.
Petugas bandara pun mengajak saya pergi ke konter maskapainya untuk melaporkan kehilangan bagasi. Petugasnya mengatakan mungkin bagasi saya ketinggalan di Jakarta, dan kalau memang masih ada di Jakarta, bagasinya akan dikirim melalui penerbangan selanjutnya jam 11 siang, dan akan diantarkan ke alamat saya nantinya. Namun bukan ketenangan yang saya dapatkan. Tujuan akhir saya dan kawan-kawan bukan di kota Padang ini, tetapi kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Jambi, ke kaki Gunung Kerinci di Desa Pelompek lewat darat kurang lebih selama 7 sampai 8 jam. Alamat pastinya di sana pun saya belum tahu. Kalau memang ketinggalan dan dikirim dari Jakarta jam 11 siang, akan sampai jam berapa pada saya? Kalaupun demikian, kemungkinan besar saya mendapat konfirmasi ketika saya masih dalam perjalanan ke kaki Gunung Kerinci.
Dengan raut wajah kesal dan sedikit membentak, saya pun memaksa petugas itu untuk memastikan saat itu juga kalau bagasi saya ketinggalan di Jakarta, dan berusaha minta jaminan kalau bagasi saya bisa sampai pada saya hari ini juga, karena keesokan harinya saya dan kawan-kawan sudah memulai pendakian. Namun, dia tidak bisa memastikannya sekarang juga karena prosedurnya, mereka harus menghubungi pihak maskapai di Jakarta terlebih dahulu. Menghubunginya pun lewat email dan nanti akan dikonfirmasikan ke saya secepatnya. "Mana bisa dipastikan dalam sekejap kalau menghubunginya seperti itu", gerutuku.
Yang selalu terbayang dari kejadian ini adalah cerita yang akan saya alami nantinya akan sangat sangat menjengkelkan. Gagal ke Kerinci hanya karena bagasi ketinggalan. Di tambah lagi, terbayang kalau saya jauh-jauh datang dari Makassar hanya untuk menginjakkan kaki di Padang dan Kaki Gunung Kerinci saja. Buat apa kalau cuma datang berkunjung dan hanya jadi penonton sementara yang lain mendaki? Terbayang juga peralatan-peralatan mendaki yang sudah saya persiapkan dengan susah payah, beberapa logistik pribadi seperti cokelat dan biskuit, akan hilang begitu saja. Kalaupun ketemu, tidak akan terpakai sama sekali, kecuali cokelat ama biskuitnya. Arrggghhhh…. Pikiranku jadi kacau saat itu, tak tahu harus berbuat apa. Terbayang juga biaya yang sudah saya keluarkan untuk perjalanan ini yang jumlahnya tidak sedikit, cuma karena demi Kerinci saja, saya rela mengalokasikan jumlah tersebut. Lesuh, lemas tiba-tiba.
Saya pun kembali ke kawan-kawan yang menanti kabar dariku. Tujuh orang rombongan dari Bandung pun sudah lengkap semua beserta bagasinya; Aulia, Wafiq, Yofie, Rifky, Novan, Agus Novan, dan Dika. Tinggal saya sendiri yang bermasalah dengan bagasinya. Saya pun menyalami mereka satu per satu dengan basa-basi ala kadarnya. Hanya muka datar tanpa senyum yang bisa aku perlihatkan pada mereka. Yang tidak tampak batang hidungnya cuma Uul. Entah kemana dia. Namun ketika dia muncul, dia mengatakan kalau dalam pesawat yang kita tumpangi dari Jakarta, ada rombongan pendaki lainnya, dengan bagasi sama yang berupa kerir. Dia berpikir mungkin kerir saya terbawa oleh mereka. Namun, saya berpendapat kalaupun terbawa oleh mereka, tidak mungkin mereka bisa keluar dari bandara ini dengan bebas, karena pasti ada pemeriksaan kesesuaian bagasi dengan nomor bagasinya di pintu keluar oleh petugas bandara. Alasanku cukup logis untuk tetap membuatku pesimis kalau bagasiku terbawa oleh mereka. Namun Uul memaksa untuk keluar bandara mencari mereka, mungkin saja mereka masih di sekitar bandara dan belum angkat kaki dari bandara ini. "Tidak ada salahnya dicoba", katanya. Bisa saja mereka membawanya tanpa sadar dan menyangka hanya diri mereka rombongan pendaki dalam pesawat itu, maka dengan seenaknya saja mereka mengangkut segala macam kerir tanpa memeriksanya terlebih dahulu.
Dengan harap-harap cemas, saya kembali mengucapkan dalam hati 'I pray for the impossible', dan dengan langkah yang pesimis, saya pun keluar dari bandara bersama Uul mencari rombongan itu. Setelah menengok ke sana ke mari, akhirnya ketemu juga rombongan itu. Dari jauh, yang saya perhatikan hanya tumpukan kerir yang ada di trolly mereka dan berusaha mengenali kerir saya sendiri, tanpa mempedulikan orang-orang dari rombongan itu. Dan benarlah, kerir saya berada di tumpukan paling bawah trolly mereka. Langsung saja saya klaim kerir itu milik saya. Mereka yang kebetulan rombongan pendaki dari Jakarta itu pun kembali memastikan kalau kerir-kerir mereka tidak kekurangan jumlah. Yang ada justru mereka kelebihan satu kerir.
Yang tidak habis saya pikir, mereka kok tidak memastikan jumlah kerir-kerir mereka sebelum keluar dari bangunan bandara, apakah lebih, kurang atau sudah pas jumlahnya. Yang lebih aneh lagi, mereka kok sepertinya tidak bisa mengenali kerir-kerir mereka sendiri. Dan yang paling aneh lagi, baru kali ini saya temui di bandara tak ada pemeriksaan kesesuaian bagasi dan nomor bagasi oleh petugas bandaranya. Petugas bandaranya ke mana dan ngapain saja?
Setelah berbasa-basi dengan rombongan itu, yang kebetulan satu tujuan dengan kami, saya pun masuk kembali ke bandara untuk memberitahu petugas kounter maskapai tadi kalau bagasi saya sudah ketemu dan terbawa oleh penumpang lainnya dan sekaligus meminta maaf atas sikap saya yang kurang sopan terhadap dirinya dalam mengurus kehilangan bagasi ini.
Rasa pesimis saya sebelumnya untuk keluar dari bandara mencari bagasi saya, membuahkan hasil. Sebuah kabar baik untuk bisa melanjutkan perjalanan ini. Once again, the impossible become possible, and I hope another impossible can become possible next time.
Berharap menggapai yang tidak mungkin. Ini adalah status whatsapp salah seorang teman yang juga bisa mewakili kondisi pribadi saya dalam menjelajahi alam Gunung kerinci. Hanya dalam waktu tiga bulan sebelum keberangkatan, saya memutuskan untuk ikut bersama rombongan teman-teman yang dari Bandung, Bogor dan Jakarta. Jumlah keseluruhan yang jadi berangkat ada 12 orang dan setengahnya adalah bekas tim yang ke Rinjani tahun lalu. Mimpi ke Kerinci ini tak bisa dipisahkan dari perjalanan sehabis ke Rinjani. Tim Rinjani ingin lebih tinggi menjejakkan kaki dari Rinjani, dan sayangnya yang bisa mewujudkannya hanya 6 orang dari 10 orang. Sehabis Kerinci, rencananya tim ini ingin lebih tinggi lagi menjejakkan kakinya. Let’s pray for the impossible.
Tak banyak persiapan yang saya lakukan dalam kurun waktu 3 bulan. Saya cuma sibuk di akhir-akhir sebelum keberangkatan dalam mencari perlengkapan mendaki yang belum ada, perlengkapan pribadi maupun tim. Saya hanya mampu mencari perlengkapan pribadi saja seperti sleeping bag, matras, raincoat, senter, dan beberapa macam logistik pribadi, seperti baterai senter, obat-obatan pribadi, cokelat, kopi sachet dan lain-lain. Sedangkan perlengkapan tim, saya tidak bisa mengusahakannya sama sekali. Tidak seperti perjalanan ke Rinjani tahun lalu, saya masih bisa mengusahakan tenda pinjaman, namun sekarang tidak ada sama sekali. Saya berangkat murni dengan kerir yang berisi barang-barang pribadi.
Sedangkan persiapan fisik, saya bisa mengatakan kalau fisik saya hampir tidak siap. Saya hanya mengandalkan banyak gerak dan banyak jalan kaki menjelang keberangkatan. Itu pun sambil mencari perlengkapan mendaki yang belum ada. Selebihnya saya cuma punya keyakinan kalau saya masih kuat mendaki. "I pray for the impossible to become possible". Pengetahuan tentang Gunung Kerinci dan Danau Gunung Tujuh banyak bisa ditemukan di internet, terutama di Wikipedia dan di blog-blog catatan perjalanan mereka yang pernah ke sana. Dengan mengetik kata ‘Kerinci’ di google, semua tautan mengenai Gunung Kerinci akan bermunculan satu per satu. Namun bagi saya pribadi, mendengar kata Kerinci, yang terbayang di benak saya adalah nama salah satu Kapal Pelni, gunung tertinggi kedua di Indonesia, salah satu habitat harimau sumatra, dan tempat cerita mitos 'manusia kerdil' yang keberadaannya masih jadi misteri sampai sekarang. Sedangkan nama Danau Gunung tujuh dan Pantai Air Manis adalah nama yang baru bagi saya, hampir pasti saya belum pernah mendengar nama itu sebelum mendaki Rinjani.
Rencananya, kami akan berada di tanah Sumatra selama 6 hari dari tanggal 15 sampai 20 Agustus 2014. Dalam 6 hari kami akan mendaki Gunung Kerinci, Danau Gunung Tujuh dan wisata ke Pantai Air Manis di Padang. Pendakian kali ini juga bertepatan dengan momen 17-an HUT RI ke 69, dan sudah pasti Kerinci akan penuh sesak oleh pendaki seperti cerita-cerita Agustus-an di gunung-gunung yang biasa didaki. Saya sendiri memulai perjalanan dari tanggal 14 Agustus 2014 dikarenakan posisi yang lebih jauh daripada kawan-kawan yang lainnya.
Kamis, 14 Agustus 2014
Hari ini saya memulai perjalanan dengan rute Makassar - Jakarta. Karena saya sendiri yang berada paling timur, maka saya juga yang harus menyesuaikan diri dengan jadwal keberangkatan kawan-kawan lainnya yang berada di barat. Rencananya kami akan berangkat dari Jakarta menuju Padang keesokan paginya. Titik temu kami semua ada di Padang dikarenakan keberangkatan terpecah menjadi dua tempat yakni Bandung dan Jakarta. 5 orang dari Jakarta dan 7 orang dari Bandung.
Saya berada di Bandara Hasanuddin jam setengah tujuh maghrib, sedangkan jadwal keberangkatan pesawat yang saya tumpangi jam delapan lebih sedikit. Sehabis check in, saya pun keluar kembali ke bandara mencari makan untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Ketika sedang menikmati makanan, ada pesan Whatsapp masuk dari seorang teman yang sepertinya lagi... (apa ya??). Obrolannya pun tidak seperti biasanya, pakai Bahasa Inggris. Obrolan yang berat :d. Tapi lumayan buat mengisi waktu sampai pesawat berangkat. Kalau orangnya lagi baca ini, terima kasih yaaa atas obrolannya. :">
Saya tiba di Jakarta sekitar jam 10 malam. Di sinilah petualangan dimulai. Bertemu dengan satu per satu kawan-kawan lainnya dan menjadi gembel di bandara semalaman. Orang pertama yang akan saya temui di Jakarta adalah Fannah yang berangkat dari Bogor. Fannah adalah teman Wafiq, salah satu anggota tim yang berangkat dari Bandung. Saya diberitahu Wafiq kalau Fannah juga berangkat dari Jakarta. Saya dan Fannah akhirnya sepakat untuk bertemu di bandara saat mau berangkat ke Padang, namun lokasi tepatnya belum disepakati.
Setelah mengambil barang bagasi, saya langsung menuju terminal keberangkatan 1B untuk kemudian mencari tempat sebelum menanyakan dan menyampaikan posisi masing-masing pada Fannah. Tempat yang saya tuju adalah sebuah bangku panjang yang hanya diisi oleh seorang perempuan yang sibuk dengan hp-nya dengan sebuah kerir di depannya. Perempuan ini sempat menoleh ke arahku dan kembali sibuk dengan hp-nya lagi.
Perkiraan saya, Fannah masih dalam perjalanan ke Bandara. Saya pun bersitirahat sejenak di bangku panjang itu sebelum menghubungi Fannah. Lagi pula masih ada waktu satu malam sebelum melanjutkan perjalanan ke Padang. Ketika saya mengambil hp bermaksud menghubungi Fannah, ternyata sudah ada SMS darinya yang masuk, yang mengabarkan ciri-ciri dirinya dan posisinya yang sudah berada di bandara. Yang membuat saya terkejut, ternyata ciri-ciri yang disebutkan itu persis dengan perempuan yang berada di sampingku. Saya pun menyapa, dan benaarr... Dia orangnya. Tidak perlu mencari lagi, tidak perlu mendorong trolly kesana kemari untuk mencari orangnya. Saya kaget, dia juga kaget dan parahnya lagi, kedatangan saya cuma berselang beberapa menit sesampainya dirinya di bandara. Bagi yang tidak percaya sama yang namanya ‘kebetulan’, ini namanya ‘kebetulan sekaliii’.
Selanjutnya giliran Ryan, Uul dan Agus Lion yang kami tunggu. Dari ketiganya saya hanya kenal dengan Uul, sedangkan Ryan dan Agus Lion, saya belum pernah bertemu dengan mereka. Ryan masih dalam perjalanan Bandung – Jakarta. Sedangkan Uul dan Agus Lion berencana datang ke bandara pada saat check in sekitar jam 4 pagi. Tinggallah saya dan Fannah berdua menunggu, membunuh waktu, ngobrol apa saja, tidur ayam, ke toilet, ngemper di bandara tanpa alas, jalan-jalan keliling bandara. Hal ini menjadi rutinitas dadakan bagiku dalam semalam sampai waktu check in tiba.
Jumat, 15 Agustus 2014
Jam 3 pagi sudah lewat, namun orang yang ditunggu tidak muncul-muncul juga. Pintu masuk keberangkatan sudah dibuka. Para penumpang sudah mulai mengantri masuk. Setengah jam kemudian yang ditunggu tidak kunjung datang, akhirnya saya dan Fannah memutuskan untuk check in lebih dulu. Akibat tidur seperti tidur ayam semalaman, ketika tiba waktu check in, mata malah tambah berat untuk dibuka.
Setelah check in, Ryan mengabarkan kalau dia sudah tiba di bandara. Kondisi yang setengah sadar malah membuat saya malas bergerak. Pikirku, nanti juga ketemu sendiri, entah di bandara, di pesawat atau di Padang. Sedangkan Uul dan Agus Lion entah ada di mana. Tidak ada kabar sama sekali dan dihubungi pun tak bisa.
Selang setengah jam kemudian, akhirnya saya dan Fannah bertemu dengan Ryan. Uul dan Agus Lion belum ada kabar sama sekali. Akhirnya kami bertiga memutuskan menunggu mereka di depan pintu Gate B1. Karena waktu subuh sudah tiba, kami pun sholat subuh terlebih dahulu di musholla dekat pintu gate B1. Setelah sholat subuh, Uul dan Agus Lion masih belum menampakkan diri juga. Kami pun bertiga kembali menunggu di depan pintu gate B1.
Selama menunggu Uul dan Agus Lion, kami bertiga mengisi waktu dengan mengobrol. Obrolan yang terkadang serius dan terkadang tidak serius. Hingga akhirnya, kami lupa dengan yang ditunggu dan lupa dengan jadwal keberangkatan pesawat. Jam keberangkatan di pass boarding menunjukkan pukul 05:20. Sedangkan ketika kami tersadar, waktu sudah menunjukkan pukul 05.35. Panik, yaa kami bertiga panik. Bukan hal yang lucu kalau kami gagal berangkat karena lupa waktu keberangkatan. Sedangkan keberadaan Uul dan Agus Lion, sudah tidak kami hiraukan lagi. Menurutku mereka pasti sudah di dalam pesawat. Anehnya, mereka tidak menghubungi kami sama sekali. Kelak kami akan ketahui kalau Uul berusaha menghubungi kami via group whatsapp, namun tak ada satupun dari kami bertiga yang membuka whatsapp pada saat menunggu itu.
Kami bertiga pun berlari masuk ke Gate B1. Sesampai di ruang tunggu Gate B1, keadaan sudah sepi dari penumpang. Dalam keadaan panik, kami berlari mencari petugas dan menanyakan tentang keberadaan pesawat yang akan kami tumpangi, dan syukurlah pesawatnya masih belum terbang. Alhamdulillah kami masih bisa naik ke pesawat. Dan tentang Uul dan Agus Lion, walaupun mereka satu pesawat dengan kami, ketemu dengan mereka nanti pas di Padang saja.
Di pesawat, saya dan Fannah kebagian tempat duduk berdampingan, sedangkan Ryan sudah terpisah entah di mana tempat duduknya. Saya kebagian duduk di tengah, Fannah di kiri saya di samping jendela, dan seorang bapak-bapak di samping kanan saya. Karena di bandara semalaman tidak bisa tidur dengan tenang, saya memutuskan untuk tidur di dalam pesawat selama perjalanan dari Jakarta ke Padang. Waktunya lumayan lama, satu setengah jam. Lupakan dengan pemandangan di luar pesawat di pagi hari. Momen terbaik ketika naik pesawat bagiku yaitu ketika matahari terbit dan matahari terbenam. Langitnya selalu jernih ketika saya naik pesawat pada jam-jam segitu, namun saat ini bagiku tidur lebih nikmat daripada menikmati pemandangan di luar pesawat sana. Lagipula tempat duduk saya tidak memungkinkan untuk menyaksikan dengan baik pemandangan di luar sana.
Tidurku pun tidak begitu nyenyak di dalam pesawat. Namun, tidur di pesawat lumayan nyenyak dibandingkan dengan tidur di bandara. Saya pun dibangunkan oleh pesan pilot yang mengabarkan pesawat sudah akan mendarat. Di samping kiriku, Fannah, entah dia baru bangun atau tidak tidur sama sekali, pandangannya masih tertuju di jendela pesawat. Melihat diriku yang sudah terbangun, dia pun mulai mengoceh tentang pesawat, tentang pemandangan di luar sana sampai pesawat mendarat. Bahkan, keadaan pesawat mendarat yang sudah biasa mendarat tidak mulus pun tak luput dari ocehannya. Saya pun berusaha menanggapinya seadanya. Tiba-tiba bapak-bapak di sebelah kanan saya nyeletuk, ‘Di bandara Minangkabau ini ada polisi tidur ya Mbak ya?’. Ucapannya ini ditujukan pada Fannah yang menunjukkan ekspresi terkejut ketika ban pesawat menyentuh landasan. Saya pun hanya bisa menyeringai mendengar celetukan si bapak. Saya penasaran apakah Fannah baru kali ini naik pesawat atau tidak, tapi saya tidak berani menanyakan hal ini padanya. Saya memutuskan untuk mengacuhkan rasa penasaran ini saja dan menganggapnya sebagai salah satu bumbu hiburan dalam perjalanan.
Setelah tiba di bandara, di sana sudah ada Uul sedang duduk manis di atas trolly menanti bagasinya. Saya pun mengambil trolly dan berusaha duduk manis juga menunggu bagasi. Tak lama berselang, Agus Lion pun menampakkan diri juga. Barang bagasi pun satu per satu dialirkan. Penerbangan dari Bandung pun baru tiba ketika menunggu barang bagasi ini. Bagasi Fannah, Ryan, Agus Lion dan Uul pun muncul satu per satu. Tinggal barang bagasi saya yang belum kunjung muncul. Hingga bagasi terakhir pesawat dari Jakarta dialirkan, bagasi saya tidak muncul juga. Saya pun menghampiri petugas bandara menanyakan kondisi bagasi pesawat dari Jakarta, dan dia menyatakan kalau semua bagasi sudah diturunkan. Panik yang kedua kalinya pun terjadi. Namun kali ini cuma saya sendiri yang panik.
Petugas bandara pun mengajak saya pergi ke konter maskapainya untuk melaporkan kehilangan bagasi. Petugasnya mengatakan mungkin bagasi saya ketinggalan di Jakarta, dan kalau memang masih ada di Jakarta, bagasinya akan dikirim melalui penerbangan selanjutnya jam 11 siang, dan akan diantarkan ke alamat saya nantinya. Namun bukan ketenangan yang saya dapatkan. Tujuan akhir saya dan kawan-kawan bukan di kota Padang ini, tetapi kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Jambi, ke kaki Gunung Kerinci di Desa Pelompek lewat darat kurang lebih selama 7 sampai 8 jam. Alamat pastinya di sana pun saya belum tahu. Kalau memang ketinggalan dan dikirim dari Jakarta jam 11 siang, akan sampai jam berapa pada saya? Kalaupun demikian, kemungkinan besar saya mendapat konfirmasi ketika saya masih dalam perjalanan ke kaki Gunung Kerinci.
Dengan raut wajah kesal dan sedikit membentak, saya pun memaksa petugas itu untuk memastikan saat itu juga kalau bagasi saya ketinggalan di Jakarta, dan berusaha minta jaminan kalau bagasi saya bisa sampai pada saya hari ini juga, karena keesokan harinya saya dan kawan-kawan sudah memulai pendakian. Namun, dia tidak bisa memastikannya sekarang juga karena prosedurnya, mereka harus menghubungi pihak maskapai di Jakarta terlebih dahulu. Menghubunginya pun lewat email dan nanti akan dikonfirmasikan ke saya secepatnya. "Mana bisa dipastikan dalam sekejap kalau menghubunginya seperti itu", gerutuku.
Yang selalu terbayang dari kejadian ini adalah cerita yang akan saya alami nantinya akan sangat sangat menjengkelkan. Gagal ke Kerinci hanya karena bagasi ketinggalan. Di tambah lagi, terbayang kalau saya jauh-jauh datang dari Makassar hanya untuk menginjakkan kaki di Padang dan Kaki Gunung Kerinci saja. Buat apa kalau cuma datang berkunjung dan hanya jadi penonton sementara yang lain mendaki? Terbayang juga peralatan-peralatan mendaki yang sudah saya persiapkan dengan susah payah, beberapa logistik pribadi seperti cokelat dan biskuit, akan hilang begitu saja. Kalaupun ketemu, tidak akan terpakai sama sekali, kecuali cokelat ama biskuitnya. Arrggghhhh…. Pikiranku jadi kacau saat itu, tak tahu harus berbuat apa. Terbayang juga biaya yang sudah saya keluarkan untuk perjalanan ini yang jumlahnya tidak sedikit, cuma karena demi Kerinci saja, saya rela mengalokasikan jumlah tersebut. Lesuh, lemas tiba-tiba.
Saya pun kembali ke kawan-kawan yang menanti kabar dariku. Tujuh orang rombongan dari Bandung pun sudah lengkap semua beserta bagasinya; Aulia, Wafiq, Yofie, Rifky, Novan, Agus Novan, dan Dika. Tinggal saya sendiri yang bermasalah dengan bagasinya. Saya pun menyalami mereka satu per satu dengan basa-basi ala kadarnya. Hanya muka datar tanpa senyum yang bisa aku perlihatkan pada mereka. Yang tidak tampak batang hidungnya cuma Uul. Entah kemana dia. Namun ketika dia muncul, dia mengatakan kalau dalam pesawat yang kita tumpangi dari Jakarta, ada rombongan pendaki lainnya, dengan bagasi sama yang berupa kerir. Dia berpikir mungkin kerir saya terbawa oleh mereka. Namun, saya berpendapat kalaupun terbawa oleh mereka, tidak mungkin mereka bisa keluar dari bandara ini dengan bebas, karena pasti ada pemeriksaan kesesuaian bagasi dengan nomor bagasinya di pintu keluar oleh petugas bandara. Alasanku cukup logis untuk tetap membuatku pesimis kalau bagasiku terbawa oleh mereka. Namun Uul memaksa untuk keluar bandara mencari mereka, mungkin saja mereka masih di sekitar bandara dan belum angkat kaki dari bandara ini. "Tidak ada salahnya dicoba", katanya. Bisa saja mereka membawanya tanpa sadar dan menyangka hanya diri mereka rombongan pendaki dalam pesawat itu, maka dengan seenaknya saja mereka mengangkut segala macam kerir tanpa memeriksanya terlebih dahulu.
Dengan harap-harap cemas, saya kembali mengucapkan dalam hati 'I pray for the impossible', dan dengan langkah yang pesimis, saya pun keluar dari bandara bersama Uul mencari rombongan itu. Setelah menengok ke sana ke mari, akhirnya ketemu juga rombongan itu. Dari jauh, yang saya perhatikan hanya tumpukan kerir yang ada di trolly mereka dan berusaha mengenali kerir saya sendiri, tanpa mempedulikan orang-orang dari rombongan itu. Dan benarlah, kerir saya berada di tumpukan paling bawah trolly mereka. Langsung saja saya klaim kerir itu milik saya. Mereka yang kebetulan rombongan pendaki dari Jakarta itu pun kembali memastikan kalau kerir-kerir mereka tidak kekurangan jumlah. Yang ada justru mereka kelebihan satu kerir.
Yang tidak habis saya pikir, mereka kok tidak memastikan jumlah kerir-kerir mereka sebelum keluar dari bangunan bandara, apakah lebih, kurang atau sudah pas jumlahnya. Yang lebih aneh lagi, mereka kok sepertinya tidak bisa mengenali kerir-kerir mereka sendiri. Dan yang paling aneh lagi, baru kali ini saya temui di bandara tak ada pemeriksaan kesesuaian bagasi dan nomor bagasi oleh petugas bandaranya. Petugas bandaranya ke mana dan ngapain saja?
Setelah berbasa-basi dengan rombongan itu, yang kebetulan satu tujuan dengan kami, saya pun masuk kembali ke bandara untuk memberitahu petugas kounter maskapai tadi kalau bagasi saya sudah ketemu dan terbawa oleh penumpang lainnya dan sekaligus meminta maaf atas sikap saya yang kurang sopan terhadap dirinya dalam mengurus kehilangan bagasi ini.
Rasa pesimis saya sebelumnya untuk keluar dari bandara mencari bagasi saya, membuahkan hasil. Sebuah kabar baik untuk bisa melanjutkan perjalanan ini. Once again, the impossible become possible, and I hope another impossible can become possible next time.
Bersambung ke Part 2: http://heningkara.blogspot.com/2014/09/atap-sumatra-3805m-part-2.html
2 comments
ihh whaowww ihh whaowww ihh whaaaaaoowwww...
Ditunggu lanjutannya yaaa... <<< ini komen paling nyebelin kalo tau ada postingan bersambung. Wakakakakkk :p
Dan balasannya juga kebanyakan sama, "Tunggu tanggal mainnya..." :))
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs