Recent Comments
Loading...
Recent Comments

I Am Malala - Menantang Maut Di Perbatasan Pakistan Afghanistan

20 November 2014

Malala Yousafzai, nama seorang perempuan Pakistan yang baru-baru ini dinobatkan sebagai penerima Nobel Perdamaian tahun 2014. Dunia mencatat kalau dia adalah penerima nobel perdamaian termuda saat ini. Dia meraih Nobel Perdamaian di usianya yang ke 17 tahun. Usahanya untuk dapat mengenyam pendidikan di negerinya di tengah rezim Taliban yang mulai berkuasa di daerahnya mendapat banyak simpati dari negara lain. Tak hanya pendidikan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kaum perempuan di negerinya pada khususnya dan kaum perempuan di dunia pada umumnya.

Malala mulai mengenal sekolah saat taliban masih belum berkuasa di kampungnya di Lembah Swat, wilayah Pakistan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan. Namun, saat dia benar-benar menikmati pendidikannya, rezim Taliban muncul. Taliban ini merupakan para pelarian dari Afghanistan setelah mereka berhasil dipukul mundul oleh Amerika Serikat dalam perang yang terjadi di Afghanistan setelah peristiwa 11 September yang meruntuhkan menara kembar WTC di Amerika Serikat. Mereka mulai berusaha mengumpulkan dan merekrut anggota dengan melancarkan propaganda pada rakyat lembah Swat lewat radio. Dengan kondisi dan kualitas pendidikan yang rendah dari penduduk lembah Swat, dengan mudah Taliban bisa menguasai lembah Swat. Mulailah segala macam aturan-aturan pelarangan kepada penduduk Lembah Swat diberlakukan, salah satunya larangan bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan.

Salah satu petinggi Taliban, Sufi Mohammad dari balik penjara mengatakan, "Jika seseorang bisa mengemukakan contoh mana pun dalam sejarah yang menunjukkan bahwa Islam mengizinkan madrasah perempuan, dia bisa datang dan mengencingi janggutku". Malala cuma bisa mempertanyakan kebenaran akan hal ini pada Ayahnya yang juga salah seorang pemilik sekolah di mana Malala bersekolah yang begitu mengedepankan pendidikan dalam hidupnya pada siapapun. Ayahnya cuma bisa menjawab, "Jangan takut, mereka takut terhadap pena".

Kehidupan Malala setelah kemunculan Taliban di kampungnya mendadak berubah. Hal-hal yang dulu ia sering lakukan dengan bebas, menjadi terhalang setelah ketatnya berbagai macam aturan larangan yang diterapkan oleh Taliban. Sekolahnya tidak berjalan normal seperti sebelumnya. Guru-guru banyak yang ketakutan untuk mengajar anak-anak perempuan, dan anak-anak perempuan banyak dilarang bersekolah oleh orang tuanya. Mereka yang nekad melanggar aturan larangan ini, tak ayal akan jadi korban pembunuhan oleh Taliban. Namun, Malala tetap melakukan aktivitas sekolahnya walau harus dengan berhati-hati. Di luar bangunan sekolah, ia menjadi orang yang patuh pada aturan Taliban, tetapi di dalam bangunan sekolah, ia menganggap adalah haknya untuk mendapatkan pendidikan seperti yang ia inginkan.

Semua bermula saat sekolah Malala mengadakan parade perdamaian dan ayahnya selaku kepala sekolah mendorong siswanya khususnya siswa perempuan untuk bisa bersuara menentang apa yang sedang terjadi. Di sana dia memulai wawancara pertamanya dengan media. Semakin banyak wawancara yang ia berikan, ia merasa lebih kuat dan semakin banyak dukungan yang ia terima. Dari sana banyak media yang menyebutnya 'Pakha jenai', bijak melebihi usianya. Hingga suatu hari, seorang koresponden radio BBC mencari seorang guru perempuan untuk menulis buku harian mengenai kehidupan di bawah Taliban. Tetapi tidak ada guru perempuan yang mau melakukannya karena nyawa yang menjadi taruhannya. Tetapi, Malala malah mengajukan diri untuk melakukannya. Ia ingin orang tahu apa yang terjadi. Tulisan harian Malala muncul dalam web BBC berbahasa Urdu, dan tentu dengan memakai nama samaran. Namun, lambat laun walaupun menggunakan nama samaran, orang-orang yakin kalau yang membuat tulisan itu adalah Malala. Hal ini membuat Malala menjadi selebritis dadakan. Jurnalis memburunya ke mana-mana untuk meliput kesehariannya, hingga mereka mau membuatkan semacam video dokumenter mengenai keseharian dirinya. Bisa dibilang film dokumenter inilah yang membuat Malala mendunia. Ia menjadi lebih sering muncul di media lewat berbagai macam wawancara. Pembicaraannya cuma satu, tentang pendidikan.

Apa yang dilakukan Malala ini bukannya berjalan dengan mulus. Walaupun banyak mendapat simpati dari rakyat Pakistan, Taliban tidak tinggal diam. Taliban mulai melancarkan teror di mana-mana. Sekolah yang mempunyai murid perempuan ditutup paksa. Bangunan sekolah dihancurkan dan mereka tidak segan-segan untuk membunuh mereka yang mencoba melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh mereka. Dan para korbannya pun terkadang dipertontonkan agar semua orang bisa melihat akibat dari mereka yang membangkang. Hingga suatu ketika, Malala sendiri yang menjadi korbannya, yang hampir merenggut nyawanya. Sebutir peluru yang ditembakkan dari jarak dekat menghantam pelipis mata kirinya hingga tembus ke belakang tengkorak kepalanya. Mungkin Taliban menyangka dengan membunuh Malala akan membuat Malala-Malala lainnya takut bermunculan. Justru dengan membuat Malala tertembak, hal ini malah mengundang simpati dari penjuru dunia pada Malala. Bantuan mengalir dari mana-mana untuk kesembuhannya. Tak terkecuali dari politikus-politikus kotor Pakistan yang mencoba mendompleng ketenaran Malala agar bisa juga meraih simpati di mata rakyat Pakistan.

Sistem kedokteran di Pakistan tidak memungkinkan Malala untuk bisa mendapatkan perawatan sampai dia sembuh, hingga seorang dokter Inggris yang kebetulan sedang bertugas di Pakistan merekomendasikan untuk merujuk Malala ke rumah sakit di Birmingham Inggris. Ayahnya yang cuma seorang kepala sekolah dan menjalankan beberapa sekolah yang sudah dihancurkan oleh Taliban di daerahnya tidak bisa memenuhi biaya pengobatan Malala. Namun, semua itu tidak menjadi masalah ketika negara sudah ikut campur dalam proses penyembuhannya. Malala akhirnya diterbangkan ke Inggris dan menetap di sana serta tidak pernah lagi kembali ke Pakistan demi alasan keamanan. Keluarganya menyusul di kemudian hari dan sama seperti Malala, mereka juga tidak pernah lagi kembali ke Pakistan.

Ada satu kejadian menarik ketika pengobatan Malala mulai memasuki tahap pemulihan. Di sana ia disuguhkan hiburan film Bend It Like Beckham oleh para perawat. Di dalam film itu terdapat adegan di mana perempuan-perempuan syiah sedang memainkan bola hanya dengan menggunakan beha sport dengan celana pendek. Melihat adegan itu, Malala langsung mematikannya dan mengatakan bukan kebebasan perempuan seperti itu yang diharapkannya. Mungkin para perawat di sana menganggap kalau apa yang diperjuangkan oleh Malala adalah ingin seperti perempuan Eropa pada umumnya, yang bebas dan gemar memakai pakaian-pakaian minim. Tetapi nyatanya, ia tidak pernah mempermasalahkan cara berpakaian perempuan pakistan atau perempuan-perempuan manapun di dunia. Ia hanya mempermasalahkan haknya sebagai anak perempuan yang dirampas dalam mendapatkan pendidikan.

Dari Inggris, Malala mulai berkampanye tentang pendidikan kaum perempuan. Ia sekarang tidak hanya berbicara tentang pendidikan anak perempuan di Pakistan, tetapi anak perempuan di dunia. Simpati dan penghargaan di mana-mana didapatkannya, hingga ia mendapatkan kesempatan untuk berbicara di depan PBB. Prestasi-prestasi yang ditorehkannya ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Tetapi ada juga yang bersikap sinis kepadanya, terutama dari Pakistan sendiri. Banyak orang Pakistan menganggap kalau Malala sudah lupa akan negerinya sendiri karena sejak kasus penembakan itu, ia tidak pernah lagi kembali ke Pakistan. Tetapi bagi dunia, Malala mungkin sudah menjadi simbol perjuangan anak perempuan.

Membaca buku 'I Am Malala' ini layaknya membaca sejarah hidup Malala dan situasi Pakistan yang sedang dihadapinya. Tentang bagaimana wilayahnya yang berada di daerah perbatasan Pakistan Afghanistan menjadi wilayah yang kurang diperhatikan oleh negaranya sendiri, hingga Taliban bisa menyusup ke sana dan menguasai wilayah Lembah Swat serta memperlakukannya seperti memperlakukan Afghanistan saat rezim Taliban berkuasa di sana. Manusia mana yang mau hidup dalam pengekangan? Semua manusia menghendaki yang namanya kebebasan, namun bukan berarti kebebasan itu berarti bebas sebebas-bebasnya. Masih ada batasan dalam kebebasan yang dinginkan itu. Tetapi bukan berarti batasan itu harus dipersempit dan dipaksakan pada setiap orang.

Kebebasan yang kita inginkan juga bukan berarti sepenuhnya benar, bahkan terdapat kemungkinan besar kesalahan di dalamnya. Namun, mencegah kemungkinan melakukan kesalahan itu bukan berarti harus dengan mengekangnya apalagi memaksakannya pada orang lain. Seperti kata Mahatma Gandhi, "kebebasan tak patut dimiliki jika tidak menyertakan kebebasan untuk melakukan kesalahan".

Terkadang berbagai potret kehidupan tentang keterbelakangan kaum perempuan juga digambarkan di sana. Seperti kisah anak perempuan kecil yang menjual jeruk. Dia menggoreskan tanda-tanda pada secarik kertas hanya untuk mengetahui jumlah jeruk yang telah dijualnya, karena dia sama sekali tidak bisa membaca dan menulis. Ada juga kisah seorang perempuan yang tinggal di kota yang terletak di tepi laut tetapi tidak pernah melihat laut. Suaminya tidak pernah mengajaknya untuk melihat laut. Kalaupun dia keluar menyelinap sendiri, dia tidak akan bisa mengikuti papan tanda-tanda, karena dia tidak bisa membaca.

Apa yang hendak diperjuangkan Malala adalah melawan ketidaktahuan dengan pendidikan. Suaranya ingin didengar dan mungkin peristiwa yang dialaminya di negerinya Pakistan juga terjadi di daerah atau belahan dunia lainnya, tetapi dengan modus pengekangan yang berbeda. Pada intinya, semua anak-anak khususnya anak perempuan berhak mendapatkan pendidikan, apapun statusnya.

Source Pic: Random Taken From Google

3 comments

Reply Delete

Luar biasa Malala. Perjuangannya agar generasi muda di Pakistan memperoleh pendidikan dan tidak perlui takut terhadap intimidasi dari TALIBAN harus mendapat dukungan dunia

Reply Delete

Buset dahhh.... BW-nya rajin amat yaaa :)) salut dahhh....

Iyaa... menurut saya juga luar biasa dengan situasi dan kondisi Pakistan saat itu khususnya di Lembah Swat...

Reply Delete

Dasar nih orang, ada yang rajin BW malah digodain -_-

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs