Sekeras apapun hidup yang kau rasakan, engkau hanya bisa melakukan satu, yakni bertahan hidup. Dan selama norma-norma yang berlaku masih kau junjung tinggi, maka seharusnya dirimu merasa bangga masih bisa menjadi bagian dari zaman yang kian ganas ini. Engkau bisa membuat peradaban ini berwarna warni dan beraneka ragam. Engkau membuat satu perbedaan pada mereka yang menyebut diri mereka beruntung. Perbedaan yang tak semua orang menyadarinya. Bahkan, aku pun tahu persis, dirimu tak akan pernah mengakui keberadaanmu yang tak beruntung. Kau balut semuanya dengan tawa dan canda. Suka dukamu nampak samar di mataku. Seiring waktu, engkau hanya menuntut perubahan hidup yang lebih baik dari hari ke hari. Mungkin karena itu, aku sering menemuimu di sudut malam yang pekat. Melawan dingin yang menusuk tulang. Mempertaruhkan hidup. Tak peduli pada bahaya yang senantiasa mengintai. Mengorbankan kesehatan. Meninggalkan anak istri di rumah hanya untuk membuatnya bernapas di esok hari.
Tak ada yang memintamu untuk berada di pelataran itu. Engkau pun tak menawarkan diri untuk berada di sana. Tetapi, seiring waktu, keberadaanmu di sana sangat berarti di malam hari. Pelataran itu hanyalah sebuah tempat kosong bagi mereka yang sedikit membangkang atas sebuah aturan di malam hari. Tak aman, tak ada pengamanan yang resmi. Tetapi, aku bisa mengatakan engkau berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Dan tak semua orang akan mau melakoni aktivitas seperti yang kau lakukan di malam itu.
Seperti malam-malam yang telah lewat, malam itu tenang, sunyi dan senyap. Namun, malam itu tak seperti malam sebelumnya di tempat di mana aku bisa menemuinya melakoni peran hidupnya. Tak seperti malam sebelumnya yang penuh keceriaan, sapaan hangat, tawa dan canda. Malam itu aku temukan dirinya terbaring di atas rumput pada sebidang tanah yang belum bisa dikatakan sebuah taman. Dalam kegelapan engkau terlelap, percikan lampu sorot jalan di ujung jalan yang biasa redup menerangi malam itu tak nampak. Beralaskan kardus bekas yang biasa ia pakai membungkus benda yang ia jaga. Selembar jaket usang yang sudah menjadi pakaian perang baginya di tiap malam membungkus tubuhnya. Badannya melingkar mencoba menghalau dingin yang menusuk di malam itu. Ada kedamaian yang kau perlihatkan pada rautmu, entah sedang mimpi apa dirimu. Adakah inginmu di sana yang tak nyata sampai hari ini? Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika benak ini mengajukan pertanyaan itu dan mencoba membayangkannya.
Satu tepukan yang aku layangkan buyarkan mimpi indahmu. Cuma karena ingin pamit, dan memberikan sebuah nilai yang tak seberapa yang mungkin tak akan pernah cukup atas sebuah jasa. Dengan sigap, kau terbangun. Tingkahmu bahasakan rasa bersalah yang tak pernah aku ucapkan. Karena aku sadar, keberadaanmu di pelataran itu hanyalah karena kerelaan dirimu, tak terikat sama sekali dengan jawatan di dalamnya. Aku hanya mencoba mengerti, melayangkan pikiran membayangkan peluh yang mengalir di siang hari, di tempat yang lain yang juga tak pernah aku ketahui. Entah bagaimana lagi membahasakan kerasnya hidup yang kau lalui.
Sesaat berlalu, Seketika itu juga diri ini menceracau, menumpahkan kalimat demi kalimat, hanya untuk menemukan satu pembenaran atas sebuah keberadaan dirimu yang membuatku miris. Inikah sebuah keadilan hidup yang dititahkan padamu oleh Yang Maha Kuasa? Entah bagaimana caranya aku bisa menerima sebuah keadilan hidup di matamu. Tak terlihat kau muntahkan lewat keluhan di wajahmu. Tetapi aku tahu, dalam dirimu ada sebuah jeritan ketakberdayaan yang tak mungkin aku dengar, karena dirimu juga tak akan pernah mau memperdengarkannya. Seperti yang aku bilang, kau balut semuanya dalam senyum, tawa dan canda. Aku pun tak bosan mengulang kalimat 'dimengerti ketidakmengertiannya'. Walau diri ini juga tak akan pernah bisa mengerti. Semakin lama diri ini bertanya, selama itu pula diri ini berada dalam kebingungan. Apakah masalahku tak cukup untuk mempersulit hidupku sehingga harus melibatkan jalan hidup orang lain dalam pikiran ini? Bukankah manusia diuji sesuai dengan kesanggupannya untuk menghadapinya?. Dan tak salah aku menyebutmu sebagai manusia yang kuat, karena tak semua orang akan bisa menjalani hidup yang kau jalani sekarang ini.
Seiring langkahku yang semakin menjauh darinya, semakin redup pula cengkrama yang aku hadirkan tentang dirinya. Jalan yang kulalui tak pernah kosong. Sepertinya malam tak butuh istirahat layaknya makhluk. Deru kendaraan masih meraung membisingkan suasana yang seharusnya tenang. Lambat laun pikiranku tentang beliau yang di pelataran itu pun menghilang. Masih banyak manusia sepertinya di tempat yang lain, dengan lakon yang berbeda, yang rela bersimbah peluh, yang nilainya tak seberapa, hanya untuk bertahan hidup agar tetap bisa tersenyum di esok hari.
Tak ada yang memintamu untuk berada di pelataran itu. Engkau pun tak menawarkan diri untuk berada di sana. Tetapi, seiring waktu, keberadaanmu di sana sangat berarti di malam hari. Pelataran itu hanyalah sebuah tempat kosong bagi mereka yang sedikit membangkang atas sebuah aturan di malam hari. Tak aman, tak ada pengamanan yang resmi. Tetapi, aku bisa mengatakan engkau berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Dan tak semua orang akan mau melakoni aktivitas seperti yang kau lakukan di malam itu.
Seperti malam-malam yang telah lewat, malam itu tenang, sunyi dan senyap. Namun, malam itu tak seperti malam sebelumnya di tempat di mana aku bisa menemuinya melakoni peran hidupnya. Tak seperti malam sebelumnya yang penuh keceriaan, sapaan hangat, tawa dan canda. Malam itu aku temukan dirinya terbaring di atas rumput pada sebidang tanah yang belum bisa dikatakan sebuah taman. Dalam kegelapan engkau terlelap, percikan lampu sorot jalan di ujung jalan yang biasa redup menerangi malam itu tak nampak. Beralaskan kardus bekas yang biasa ia pakai membungkus benda yang ia jaga. Selembar jaket usang yang sudah menjadi pakaian perang baginya di tiap malam membungkus tubuhnya. Badannya melingkar mencoba menghalau dingin yang menusuk di malam itu. Ada kedamaian yang kau perlihatkan pada rautmu, entah sedang mimpi apa dirimu. Adakah inginmu di sana yang tak nyata sampai hari ini? Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika benak ini mengajukan pertanyaan itu dan mencoba membayangkannya.
Satu tepukan yang aku layangkan buyarkan mimpi indahmu. Cuma karena ingin pamit, dan memberikan sebuah nilai yang tak seberapa yang mungkin tak akan pernah cukup atas sebuah jasa. Dengan sigap, kau terbangun. Tingkahmu bahasakan rasa bersalah yang tak pernah aku ucapkan. Karena aku sadar, keberadaanmu di pelataran itu hanyalah karena kerelaan dirimu, tak terikat sama sekali dengan jawatan di dalamnya. Aku hanya mencoba mengerti, melayangkan pikiran membayangkan peluh yang mengalir di siang hari, di tempat yang lain yang juga tak pernah aku ketahui. Entah bagaimana lagi membahasakan kerasnya hidup yang kau lalui.
Sesaat berlalu, Seketika itu juga diri ini menceracau, menumpahkan kalimat demi kalimat, hanya untuk menemukan satu pembenaran atas sebuah keberadaan dirimu yang membuatku miris. Inikah sebuah keadilan hidup yang dititahkan padamu oleh Yang Maha Kuasa? Entah bagaimana caranya aku bisa menerima sebuah keadilan hidup di matamu. Tak terlihat kau muntahkan lewat keluhan di wajahmu. Tetapi aku tahu, dalam dirimu ada sebuah jeritan ketakberdayaan yang tak mungkin aku dengar, karena dirimu juga tak akan pernah mau memperdengarkannya. Seperti yang aku bilang, kau balut semuanya dalam senyum, tawa dan canda. Aku pun tak bosan mengulang kalimat 'dimengerti ketidakmengertiannya'. Walau diri ini juga tak akan pernah bisa mengerti. Semakin lama diri ini bertanya, selama itu pula diri ini berada dalam kebingungan. Apakah masalahku tak cukup untuk mempersulit hidupku sehingga harus melibatkan jalan hidup orang lain dalam pikiran ini? Bukankah manusia diuji sesuai dengan kesanggupannya untuk menghadapinya?. Dan tak salah aku menyebutmu sebagai manusia yang kuat, karena tak semua orang akan bisa menjalani hidup yang kau jalani sekarang ini.
Seiring langkahku yang semakin menjauh darinya, semakin redup pula cengkrama yang aku hadirkan tentang dirinya. Jalan yang kulalui tak pernah kosong. Sepertinya malam tak butuh istirahat layaknya makhluk. Deru kendaraan masih meraung membisingkan suasana yang seharusnya tenang. Lambat laun pikiranku tentang beliau yang di pelataran itu pun menghilang. Masih banyak manusia sepertinya di tempat yang lain, dengan lakon yang berbeda, yang rela bersimbah peluh, yang nilainya tak seberapa, hanya untuk bertahan hidup agar tetap bisa tersenyum di esok hari.
Source Pic: Random Taken From Google
55 comments
gak ngerti mau komen apa.
tapi aku sangat menikmati membaca postingan ini :)
@armae : biasalah... bahasanya terlalu mencengangkan, hebat!!!
iyah, masih banyak di luar sana yg ikhlas mengalirkan peluh demi hasil yg mungkin tak seberapa demi bertahan hidup. Namun mereka tetap bisa tersenyum dan merasa bahagia....selalu membuatku kagum dan bangga pada sosok yg demikian...
kosa katanya terlalu berat buatku mas hehe, keep blogging saja ya :D
yappari. . .sam sama kakkoi desu ne ^____^
~keren sekali. . .
Sebuah karya yang mengambarkan sebuah kehidupan keras para kuli kayuh yang selalu menjadikan kendaraannya sebagai temapat karavannya.
Sukses selalu Sob !
Salam
Ejawantah's Blog
Penuh makna...
Tulisannya pun indah...
Salam,
..bertahan hidup..
apa jika masih di bumi dengan hati kosong masih bisa disebut hidup?
*tiba-tiba jadi pengen jadi nightwalker gara2 tulisan kamu, sam
mampir~
tulisannya kaya' air...
mantepp
Sam, kangen :)
jujur saja... saya agak sulit memahami kata demi katanya, krn memang aku tidak pandai mengartikan kata2 yg (Kata Mas Aulia) kosa katanya terlalu tinggi untuk org seperti saya, tp saya ttp membri apresiasi thd sebuah karya indah ini...
ajaran aku mengartikan ini...ajarin aku memaknai ini...
Sulit di pahami tapi aku suka we lah ,, daripada teu ngartos,,,, hehe
Salam kenal,, lagi blog walking eee nyasar kesini. heee...
Berat mengartikannya nih,,..
Bahasa yang digunakan terlalu tinggi...
Menmbah mengernyitkan dahi...
mngusap peluh ..
Like it so! Selebihnya tak bisa berkomentar apa-apa... sy suka postingan macam ini yg keluar dr pemikiran dn perenungan dlm dr penulisnya.
nice sam :)
jujur...aku sangat tersentuh dengan mereka yang rela menghabiskan separuh bahkan seluruh malamnya demi membuat dapur mereka tetap berasap..Malam layaknya hari yang tak terhalangi gelap...
nice word kak...pembelajaran hidupku buatku...
"Mari belajar Menjadi Kritis Dengan Berkomentar" :D
Aku gak bisa NGomong dah kalau gini :D
ini bercerita perpisahan. perpisahan itu menyedihkan. #nebak2
pengen komen sam, tapi bingung komen apa.. yang pasti, dhe menikmati postinganmu, menikmati alunan tulisanmu.. happy blogging!! ;)
hanya hening yang bisa menjawb smua nya...aku begitu menikmati kata demi kata..karna aku tau ia mencntai hening..sunyi senya tanpa deru kendaraan ata mesin mesin #nyambung ngak yah..
tentang wanita PSk kah ini??
wew... keren nih,,, sumpil !!!
By the way, Visit dan Join blog ku ya, , ,
Butuh teman nih, , ,
salam kenal :P
gapekamania.blogspot.com
:)
nah tuh Mae bisa komen...:D
Hanya sebuah tulisan mae, yang ada dalam pikiran, dan selamat menikmati yaaa... :)
tapi beneran baca postingan yang ini rasanya ngaliir aja. bener2 menikmati tiap katanya.
oia, buat kamu. iya, kamu. yang jadi "aku" di tulisan itu. besok2 lagi kalo si Bapak lagi tidur, jangan di bangunin donk, kasiaan -__-"
air kaliii ngalir...:D tapi rasanya tulisan ini kurang panjang deh kalo ngebayangin tulisanmu...:D
sebenarnya dilematis juga mau membangunkan atau tidak. Kalau tidak dibangunkan, si bapak bisa kehilangan rejeki dan menyangka kalo benda yang dijaganya ada yang curi, dan kalau dibangunin justru mengganggu mimpi indahnya... Btw, kalo Mae yang jadi 'aku' di sana, bakalan bangunin si bapak ato langsung ninggalin aja?? :)
aku paling gak tega kalau disuruh bangunin orang. kecuali memang ada hal2 yg bener2 mendesak seseorang untuk bangun, baru deh ku bangunin.
apalagi kalo tidurnya pules gitu. kasiaaaann >,<
iyaa... memang ada ketenangan ketika melihat seseorang tidur, tapi kalo tidurnya sampai ngiler mending dibangunin, kasian kasur ama bantalnya penuh iler..:))
terlalu mencengangkan sehingga untuk paham dengan sekejap pun susah ya mas..:D
#baru nyadar kalo pemilik blog kisah 'cinta' telah berganti nama... heheheh...
iyaaa... asal jangan memandang remeh mereka aja... mungkin mereka yang merasa beruntung juga pun masih membutuhkan mereka yang kurang beruntung di mata mereka yang merasa beruntung... :)
berat yaaa...saya ga tau lagi yang ringan itu seperti apa yaaa...:D
Waduhh.... ga ngerti euyyy.. saya mah ga bisa bahasa nippon...
Ini kisah tentang tukang parkir liar di malam hari sob...tetapi mungkin masih senasib dengan para kuli kayuh yang menjadikan kendaraannya sebagai tempat karavannya... :)
terima kasih yaahhh...
salam.
itu udah diartiin ^____^
pertanyaanmu dalam banget, jadi ingat biksu Tong di serial Kera Sakti... ini jawabn saya, selama kita masih bernapas, selama itu pula kita masih hidup dan pasti bertahan hidup entah itu dengan cara yang mudah ataupun sulit. Sedangkan tentang hati yang kosong, siapa yang tahu selain pemiliknya dan Pembuat-Nya...
Kalo jadi nightwalker hati-hati yaaa... bawa bekal yang banyak.. :D
air.. mengalir dari hulu ke hilir yaaa... terima kasih yaaa....
kamu siapa??:D
yang jelas orang idup n bernyawa, bs bernapas, doyan makan, kdg2 sk salto2 ndiri. Hahah
oh iyaaa.... saya ingat, kamu yang pernah terkurung dalam kulkas dan ga bisa keluar itu kan?? :D :))
ya mas... saya cuma berkata-kata. Kalo langsugn to the point ke inti ceritanya malah ga jadi sebuah tulisan yang panjang donk... :D
dinikmati aja yaa... dan semoga bermanfaat... :)
nah kitu atuhh... ngertos teu ngartos mah nu penting suka..hahahha... :D
salam kenal juga....cuma cengkrama dengan diri sendiri kok tentang kenyataan di depan mata..:)
maaf kalo gitu.....ga sempat menyederhanakannya lebih lanjut...:D
sepertinya ini sudah jadi style-ku dalam menulis... saya perhatikan tulisan-tulisan lain, kok semacam ada kemiripan... jadiii, dinikmati aja yaa.. dan terima kasih sudah menyukainya...:)
apalagi mereka penuh senyum, tawa dan canda dalam menghadapinya, semua yang kita panik mengejarnya jadi tak terasa berarti dibandingkannya. Namun, di satu sisi, kita selayaknya tidak mengacuhkan mereka ataupun meremehkan mereka sebagai bagian dari peradaban zaman sekarang ini... :)
yuukkk...mariii.. :D
nah tuh bisa ngomong dan ngasih tahu kalo ga bisa ngomong..:D
tebakannya salah mas... ini cerita tentang tukang parkir di tengah malam...:) dan bukan berarti tentang perpisahan dengan tukang parkirnya..:d, karena esok malamnya juga akan ketemu kembali....
selalu begitu.. kalo ga berat, susah komen... tapi bisa dinikmati.. alhamdulillah yaaa...:D
maaf, ada satpam sam tidak? :D
pertandingan bolanya sudah mau mulai..
tolong jagain stadion yaa :))
=)) hahahahaha~
*larisecepatkilat
wkwkwwkwk...=)) segera meluncur ke stadion untuk menjalankan tugasss...hahahahah...
larinya jangan kencang-kencang, entar "JATUH"...:))
siapa yang kau maksud dengan 'ia' di sana?? si bapak atau si 'aku' nya? kalau saya sendiri, sukanya sepertinya ga segitunya...:D
hahaha.. tebakannya bikin ngakak...:))
kayanya di tulisan ini memang ga menyebut kata perempuan, tapi saya menyebut kata 'anak istri', jadi ga mungkin perempuan kan? :)
Ini tentang tukang parkir liar di sebuah pelataran di malam hari. :)
I-)
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs