Pandanganku tertuju pada awan hitam di depanku. Hembusan angin membawanya bergerak ke arahku, mencoba menutupi langit biru yang memayungiku. Aku tidak tahu kabar apa yang dibawanya. Mereka hinggap dan segera mencurahkan isinya. Tetapi semuanya hanya berlangsung sekejap, cuma sekilas dan mereka pun berlalu mencari perhentian terakhirnya. Tak terasa langit biru pun kembali menghiasi atapku. Gerimis yang turun sebelumnya, telah menimbulkan sengatan aroma tanah basah. Mungkin inilah saat-saat yang paling indah untuk menikmati guyuran sesaat dari awan hitam tadi. Kita mungkin sering mengalami guyuran sesaat itu, tetapi kita seakan lebih sering tak menyadarinya dan tak mencoba membahasakannya dengan rasa syukur.
Pacuan aktivitas di siang hari telah menguras semua semangat yang kumiliki. Aku terduduk di beranda rumah ini menikmati sisa-sisa hari yang belum berlalu, melupakan sejenak helaan peluh di siang hari, untuk kemudian menanti malam menunggu waktu untuk kabur dari kehidupan sehari, dan menanti pagi menunggu waktu untuk kembali berlaga. Itu mungkin hanya sekelumit rutinitas yang tiada henti kita lakoni sehari-hari. Kita terkadang begitu menikmatinya, terkadang mengeluh tentangnya, ataupun terkadang menertawakannya hingga membuat kita terlupa akan lakon yang kita perani.
Di halaman depan sana, suara riuh anak-anak yang menikmati permainannya bergemuruh. Tetapi kebisingan yang ditimbulkannya justru membuatku seperti mendengar alunan musik yang aku sukai. Pandanganku terpaku pada seorang anak yang lebih memilih bermain sendiri di dekat sebuah pohon ketimbang berkumpul dengan anak-anak lainnya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya yang tak bisa diam sedikitpun. Sesekali ia memandang malu ketika aku terus memperhatikannya. Tetapi hal itu tidak membuatnya berhenti melakukan apa yang ingin dilakukannya. Dia terus bergerak dengan lincah memanjat pohon yang masih terbilang muda. Sesampainya ia pada ketinggian tertentu, ia berusaha menggapai rantingnya untuk dijadikannya sebagai luncuran ke bawah. Ia pun terus mengulang-ulang aktivitasnya itu. Hingga suatu ketika, tiba-tiba suara seperti benda jatuh membangunkanku dari lamunan. Suara itu berasal dari arah anak yang sedang sendiri itu. Ketika aku menoleh padanya, anak itu masih tengkurap. Aku tak bereaksi apa-apa dan terus memandanginya. Dan perlahan-lahan dia pun bangkit dengan diam-diam. Batinnya seolah-olah berkata, “Gak apa-apa. Saya baik-baik saja”, dan dia pun kembali mengulangi aktivitasnya. Namun, panggilan dari orang tuanya menghentikan geraknya. Dia pun dengan patuh, kembali ke rumahnya dengan berlari. Entah dia merasakan sakit atau tidak, tetapi dia bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
Itulah dunia anak-anak. Dunia yang penuh dengan permainan, kegembiraan, tanpa pernah peduli dengan kebisingan dan kesumpekan hari, seolah tak ada beban yang harus dipikirkan olehnya. Dia seakan-akan berusaha menampakkan eksistensinya di depanku. Dia berusaha membuatku iri akan dunianya. Dia berusaha menampakkan sesuatu yang belum pernah aku lakukan dan rasakan. Andai ia tahu bahwa aku pernah merasakan masa seperti dia, mungkin dia akan berpikir dua kali untuk melakukan aktivitasnya itu. Aku teringat sebuah kisah di mana seorang bertanya kepada seorang anak, “Apa cita-citamu nanti kalau sudah dewasa?”. Si anak menjawab mungkin dengan kepolosannnya, “cita-citaku tak ingin menjadi dewasa.” Orang yang bertanya itu pun merespon, “sialan, dengan menjawab seperti itu dirimu sudah dewasa, belegug.”
Sisa hari di waktu itu mulai redup dan akan digantikan oleh malam. Satu suara memecah lamunanku akan tingkah anak itu. Sebuah panggilan akan sebuah kewajiban.
Pacuan aktivitas di siang hari telah menguras semua semangat yang kumiliki. Aku terduduk di beranda rumah ini menikmati sisa-sisa hari yang belum berlalu, melupakan sejenak helaan peluh di siang hari, untuk kemudian menanti malam menunggu waktu untuk kabur dari kehidupan sehari, dan menanti pagi menunggu waktu untuk kembali berlaga. Itu mungkin hanya sekelumit rutinitas yang tiada henti kita lakoni sehari-hari. Kita terkadang begitu menikmatinya, terkadang mengeluh tentangnya, ataupun terkadang menertawakannya hingga membuat kita terlupa akan lakon yang kita perani.
Di halaman depan sana, suara riuh anak-anak yang menikmati permainannya bergemuruh. Tetapi kebisingan yang ditimbulkannya justru membuatku seperti mendengar alunan musik yang aku sukai. Pandanganku terpaku pada seorang anak yang lebih memilih bermain sendiri di dekat sebuah pohon ketimbang berkumpul dengan anak-anak lainnya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya yang tak bisa diam sedikitpun. Sesekali ia memandang malu ketika aku terus memperhatikannya. Tetapi hal itu tidak membuatnya berhenti melakukan apa yang ingin dilakukannya. Dia terus bergerak dengan lincah memanjat pohon yang masih terbilang muda. Sesampainya ia pada ketinggian tertentu, ia berusaha menggapai rantingnya untuk dijadikannya sebagai luncuran ke bawah. Ia pun terus mengulang-ulang aktivitasnya itu. Hingga suatu ketika, tiba-tiba suara seperti benda jatuh membangunkanku dari lamunan. Suara itu berasal dari arah anak yang sedang sendiri itu. Ketika aku menoleh padanya, anak itu masih tengkurap. Aku tak bereaksi apa-apa dan terus memandanginya. Dan perlahan-lahan dia pun bangkit dengan diam-diam. Batinnya seolah-olah berkata, “Gak apa-apa. Saya baik-baik saja”, dan dia pun kembali mengulangi aktivitasnya. Namun, panggilan dari orang tuanya menghentikan geraknya. Dia pun dengan patuh, kembali ke rumahnya dengan berlari. Entah dia merasakan sakit atau tidak, tetapi dia bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
Itulah dunia anak-anak. Dunia yang penuh dengan permainan, kegembiraan, tanpa pernah peduli dengan kebisingan dan kesumpekan hari, seolah tak ada beban yang harus dipikirkan olehnya. Dia seakan-akan berusaha menampakkan eksistensinya di depanku. Dia berusaha membuatku iri akan dunianya. Dia berusaha menampakkan sesuatu yang belum pernah aku lakukan dan rasakan. Andai ia tahu bahwa aku pernah merasakan masa seperti dia, mungkin dia akan berpikir dua kali untuk melakukan aktivitasnya itu. Aku teringat sebuah kisah di mana seorang bertanya kepada seorang anak, “Apa cita-citamu nanti kalau sudah dewasa?”. Si anak menjawab mungkin dengan kepolosannnya, “cita-citaku tak ingin menjadi dewasa.” Orang yang bertanya itu pun merespon, “sialan, dengan menjawab seperti itu dirimu sudah dewasa, belegug.”
Sisa hari di waktu itu mulai redup dan akan digantikan oleh malam. Satu suara memecah lamunanku akan tingkah anak itu. Sebuah panggilan akan sebuah kewajiban.
Source Pic: Momen sehabis hujan
24 comments
Memperhatikan anak-anak, seperti melihat cermin waktu.. teringat sosokku saat kanak-kanak, tak banyak beban pikiran seperti sekarang..^^
dan menghilangkan jenuh, bermain bersama anak-anak :)
`sore dan berjumpa #Senja
Elegi esok pagi <<< Kalimat yang tiba-tiba muncul di kepala saat baca judul postingan ini. Oke,. skip!!!
dunia anak, mungkin adalah dunia yang akan terus kita kenang, kita tertawakan dan kita rindukan. tidak akan pernah terulang, tapi akan terus di kenang, sampai kapanpun yang kita bisa....
nice....
menyenangkan menyambt senja melihat aktiviatas anak2..welcome home...asik udah di bone lagi :)
Setiap melihat anak kecil terutama yg batita...satu pertanyaan yg acapkali melintasi benak saya adalah: apa ya pikiran anak-anak kecil itu...
Kak Saaaaaammm. Maen Yuuuukk, aku punya sepeda baru. Ayo, coba sama-sama.
masa anak-anak, memang masanya bermain. Masanya lutut penuh dengan luka goresan. Masanya keringat menemani menjemput magrib. Ahhh.. Tapi, beberapa anak yang lain ada yang kurang beruntung. Himpitan ekonomi pun memaksa mereka tuk menjadi "dewasa"..
Dan kita hanya bisa tersenyum melihatnya penuh canda, tawa tanpa ada beban pikiran... but life must go on my friend... just let it be a memory in our mind... :)
Aku tidak bermain, cuma memperhatikan... :D
Entah apa maksudnya, kok tiba-tiba muncul kalimat itu... hubungannya apa coba??? :-?
sepertinya benar nihh kalimat "apa yang dirindukan manusia itu yang tidak ada dihadapannya", dan masa lalu masuk dalam kategori itu... :)
sangat menyenangkan.... lama tidak mendengar suara cempereng mengaduh seperti ini... :D
Their mind still pure I think... they only know to play and scream oek oek... :D
ga mau ahhhh... aku pengennya main layangann...:))
saya tambahin yaaa... masa jidat penuh dengan benjolann.... :D
himpitan ekonomi memang memaksa mereka menjadi "dewasa", tetapi bukan berarti mereka yang seperti itu langsung menghilangkan sisi anak-anaknya, yakni bermain.. :)
ngomongin soal anak-anak,
anak-anak dulu cuma bisa pegang dan hisap PERMEN berbentuk ROKOK, ehh... anak-
anak sekarang sudah hebat pegang dan hisap ROKOK :-?
#comment ga' nyambung sma postingan, biarin! yg pnting comment :P
kadang, saya malah ingin kembli menjadi anak2. skrg bertengkar, beberapa menit kemudian dah baikan. tidak ada dendam. org dewasa, klo dah masalah perasaan batasnya tipis bener sama dendam.
eh, baca ini saya malah makin penasaran sma rencana proyek ente tuw. ayo sih nulis ttg perempuan. #tetep keukeh. wkwkkwkwkkk
Enggak tau jugak :D
Waduhhh... yang udah dewasa harus siap-siap dengan koreknya kalo gitu... :))
wkwkwk... pengalaman sering baku bombe' yaa dulu waktu masih lucu-lucunya...:))
gak akannnnnnnnn....... kamu aja napaaaaa?? kan udah sesuai dengan tema yang selalu kamu idam-idamkan tuh... "perempuan dan prostitusi"... :D
gak jelassss.......:))
Tetap tidak bisa hilang kak. Karena itulah anak-anak. tercipta untuk bermain. Dan lewat bermainnya itulah mereka akan belajar.. :)
Kayanya aku juga bilang begitu deh...:D
sisi bermainnya ga bisa hilang walaupun mereka berperan menjadi "Dewasa"... :)
halo sam, salam kenal ya. blogmu bagus sekali :) maaf ya sam saya liat foto yang jadi ilustrasi postingan ini adalah foto hasil jepretan saya :D kalau ga keberatan tolong berikan keterangan sumber ambil fotonya dari mana ya :) terima kasih sam
Salam kenal juga... Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan saya memajang foto tanpa sumbernya sama sekali, karena aku juga milih gambarnya random dari google... :)
ok.. sumber gambar akan saya cantumin link-nya sesegera mungkin... sekali lagi maaf yaaa atas kelancangan saya... :)
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs