Recent Comments
Loading...
Recent Comments

Adi, Perahu dan Lautan

19 June 2012

Kapal

Di siang itu memang terik. Matahari dengan teriknya membiaskan sinarnya memantul pada permukaan lautan yang bergejolak.  Gejolak ini sebenarnya bukan sebuah bencana, tetapi bisa diisyaratkan sebagai sebuah bencana untuk seseorang yang baru ataupun jarang menyapa lautan. Tentu saja nama bencana itu adalah mabuk laut. Sekali saya memandang permukaan lautan yang silau itu mengikuti riak permukaannya, seketika itu juga isi perut ingin mencuat ke atas, keluar dari tubuh ini. Namun, saat rasa itu sudah hampir tak tertahankan lagi, pandangan pun saya alihkan ke langit dan berharap tubuh yang berada di atas perahu yang meliuk ini bisa berdamai dengan gerak lautan.

Menghayati dan memaknai sebuah keberadaan itu tidaklah mudah. Beberapa minggu yang lalu, di tengah lautan, di antara gugusan pulau-pulau di wilayah Karimun Jawa, saya ingin membahasakan tentang apa yang saya dan kawan-kawan lakukan di sana. Menurut istilah seorang kawan bahwa  apa yang kami lakukan ini adalah wasting time. Ia menyebutnya demikian, karena apa yang kami lakukan ini lebih banyak bengongnya. Bengong menunggu perahu berhenti di spot yang tepat untuk memancing, dan bengong menunggu umpan pancingan dimakan ikan. Apalagi untuk seseorang yang tidak terbiasa dengan lautan, bengong di sini berarti menahan rasa mual karena ingin muntah, dan salah seorang kawan yang sudah terlanjur muntah, akhirnya menyerah dan memilih untuk tidur sampai perahu merapat ke daratan. Bagi yang tidak terbiasa memancing ataupun yang pancingannya tidak dilirik oleh ikan sama sekali, bengong di sini berarti the real wasting time.

Sinar Mentari

Dari awal berangkat dengan perahu ini, seorang bocah berumur sekitar 10 tahun berhasil menarik perhatianku. Awalnya, saya tidak mengira kalau bocah tersebut akan ikut ke dalam perahu yang akan kami tumpangi, karena ia hanya terlihat seperti seorang bocah yang sedang bermain di perahu sambil bercanda dengan para kru perahu yang akan menemani kami. Bocah itu ternyata sudah sering ikut melaut bersama para kru perahu untuk mencari ikan. Tentunya dengan pengalaman itu, ia sudah menjadi bagian dari para kru perahu itu. Bocah itu bernama Adi, dan ia memutuskan untuk berhenti sekolah dengan alasan karena ia tak tahan berhadapan dengan gurunya yang galak. Ia lebih memilih untuk menghadapi lautan yang luas daripada menghadapi gurunya yang galak. Ia lebih memilih untuk berbaur dengan lautan daripada berbaur dengan teman-teman sebayanya. Entah apa yang ada di pikirannya, tetapi dari sini ia benar-benar mengajakku untuk mengerti dan memahami arti sebuah keberadaan.

Ajakan dari paman teman saya yang kebetulan ikut juga di perahu itu untuk bersekolah di kota, ditolaknya mentah-mentah. Berbagai bujukan coba digambarkan tentang arti pentingnya sekolah, tak didengarkan olehnya. Ia lebih senang menikmati nyanyian laut bergejolak dengan riaknya dan liukan perahu yang mencoba menyeimbangi gejolak lautan itu. Bujukan dan rayuan tidak berhenti begitu saja, ketika ia memutuskan untuk tidak mendengar semuanya. Berbagai cara dilakukan agar ia mendengarkan, tetapi kegigihannya untuk tidak mendengarkannya itu, membuat dirinya menciptakan batas tersendiri antara ia dengan kami dan para kru perahu lainnya. Ia lebih memilih untuk berdiam di bagian depan perahu yang langsung beratapkan langit, berdiam di sana sendirian sementara perahu terus bergerak mencari spot yang tepat untuk memancing. Entah karena kepanasan, bengong sendiri tak ada aktivitas, atau mungkin karena mabuk laut, ia pun akhirnya berbaring tengkurap dan tertidur di bawah teriknya matahari siang itu hingga perahu berhenti di satu titik.

Tidur berjemur

Laut surut

Memancing, berenang, mendayung sampan, bahkan menarik jangkar, adalah suatu hal yang biasa buatnya. Ia melakukan semua itu seperti layaknya ia sedang bermain. Tak ada beban yang terlihat di raut mukanya, bahwa sampai kapan ia akan melakoni hal-hal yang seperti ini. Ia seperti merasa aman berada di atas perahu di tengah lautan. Tak ada kata ‘bahaya’ ataupun ‘menakutkan’ yang terlintas di tingkahnya. Layaknya sebuah perahu, bocah itu mengajarkan bahwa tempat teraman bagi sebuah perahu adalah dermaga, tetapi ia tidak dirancang dan dibuat untuk berdiam diri di dermaga. Ia dibuat untuk menerjang lautan, menembus badai. Demikian pula dengan manusia, jika ingin merasa aman, lebih baik ia berdiam diri di rumah. Tetapi, benarkah manusia diciptakan untuk merasa aman? Manusia memang hidup di dunia ini dan jalan yang akan dilaluinya ibarat lautan dengan keganasan ombaknya. Tanpa sadar sekelilingnya dipenuhi dengan badai. Setenang apapun mereka merasakannya, badai dan lautan itu tetap bergejolak, menghempas mereka yang pasrah padanya dan meliukkan mereka yang mencoba bertahan daripadanya.

Dalam menerjang lautan dan menembus badai, sebuah perahu mungkin tak akan bisa mengendalikan besarnya ayunan ombak yang akan dilaluinya dan derasnya badai yang akan menghantam. Tetapi ia bisa mengarahkan dirinya, melewati semua itu dan mengantarkannya pada tujuan awalnya berlayar. Ada nahkoda yang mengemudikannya. Nahkoda yang penuh perhitungan dan pertimbangan, serta cekatan dalam mengambil sebuah keputusan. Seorang nahkoda yang handal, memang bisa dilihat dari pengalamannya mengemudikan sebuah perahu. Seperti perahu tadi, sebuah benda sebagus apapun bentuknya, tetapi apabila ia tidak pernah berkenalan dengan lautan, secara fisik ia akan seperti perahu, tetapi secara fungsi, saya lebih senang menyebutnya sebagai miniatur perahu, walau fisiknya memang layak untuk disebut perahu.

Menjala Ikan

Bocah seperti Adi ini mungkin hanyalah salah satu dari sekian banyak bocah-bocah di penjuru negeri ini yang lebih memilih untuk bertarung langsung dengan kehidupan daripada duduk tenang di dalam sebuah ruangan menunggu suguhan pelajaran dari seorang guru. Mungkin tak hanya lautan yang bisa berhasil membujuk seorang bocah untuk bersahabat dengannya, tetapi masih banyak bagian alam lainnya yang berhasil membujuk bocah-bocah lainnya untuk menyatu dengan mereka. Ada jalanan dengan lampu merah dan kolong jembatannya. Ada puncak gunung dengan rute pendakiannya. Ada hutan dengan pohon-pohonnya dan hewan liarnya yang bisa diburu. Semua bagian alam itu, mungkin menyembunyikan bocah-bocah itu yang dengan riang bermain dengannya, tanpa memperdulikan bahaya yang mengancam ataupun suramnya hari esok. Dan kita tak akan bisa melihatnya kalau kita tidak memaksimalkan penglihatan kita tentangnya. Inilah sebuah keberadaan yang disuguhkan seorang Adi di hadapan saya bahwa ia adalah satu dari sekian banyak warna berbeda yang tersaji di penjuru negeri ini, di sana, di Pulau Kemujan, Karimun Jawa.

18 comments

Reply Delete

hemmm...kisah 'miris' yang masih banyak/sering mewarnai kehidupan anak-anak di negeri yang gemah ripah loh jinawi. Adi hanya mewakili 1 cerita..dan jika 1 anak mewakili 10 anak [1;10]..betapa banyaknya anak-anak negeri ini yang bertarung dengan kehidupan di usianya yang masih belia

Reply Delete

Finally.. Selesai juga nih cerita. Selamat yaaa.. :D

Kalau disana ada Adi, di warung sebelah tempatku bekerja disini ada namanya Putri. Kalau Adi bilang gurunya galak, kalau Putri bilang ditinggal kepala sekolahnya ke Mataram, hingga sekolahnya tidak terurus dan ia tidak ingin pergi bersekolah. Lantas, apa yang ia lakukan? Membantu ibunya berjualan makanan di warung. Tapi sungguh, mereka jauh lebih hebat daripada nyawa-nyawa yang hanya menghabiskan masa muda berselimut bangku sekolah dengan alasan 'demi keamanan'.

Eniwey, itu gambarnya diambil pake G11 kah? Jadi pengen komentari gambar ke lima. Kalau settingnya dibuat agak lebih gelap, mungkin hasilnya bisa lebih baik lagi. Momennya pas tuh ;)

Reply Delete

Bang Saaaaaaaaaaammmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm.... :p

Reply Delete

Terlepas dari benar atau ndak guru adi yang katanya galak, bagaimanapun juga pendidikan dasar merupakan hal penting yang seharusnya diperoleh oleh anak-anak seumuran adi. Namun nyatanya lautan ternyata lebih bersahabat dengannya daripada gurunya.
Gimana kalo mas Sam aja yang jadi gurunya, tapi jangan galak-galak ntar dia kabur lagi hehehehe

Reply Delete

menurutku itu pilihan dia, tetapi bagiku ia terlalu cepat untuk menentukan apa yang ia inginkan dan pilihan yang tersedia juga mungkin tak banyak yang ditawarkan kepadanya... dan jumlah mereka yang bertarung dengan kehidupan di usianya yang masih belia ini rasa-rasanya banyak...

Reply Delete

akhirnyaaa... :D

menurut pandangan kita yang melihatnya, mereka, adi dan putri hebat di mata kita yang melihatnya, tetapi apakah sudah pantas kita memberi cap hebat kepadanya di usia mereka? Jalan mereka masih panjang, tetapi ia terjebak dan lebih memilih dengan pilihan yang sedikit untuk menekuni apa yang mereka sukai... Dan kalo dibandingkan dengan mereka yang bisa duduk manis di bangku sekolah, saya sepakat denganmu kalau bocah-bocah ini dikatakan hebat... :D

Gambarnya pake kamera teman, dan bukan saya yang jepret. G11 gak ikutan jalan-jalan dadakan ini, karena lagi tugas di wilayah lain. Gantinya, jadilah olympus saku yang di bawa, jadilah hasilnya 4 gambar paling atas.. :D

Reply Delete

berisiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkkkkkkkkkkkkkk.... %-(

hahahah... :)) =))

Reply Delete

Pendidikan dasar emang penting, tetapi kalau kelakuan gurunya seperti itu, saya pun kalo sebagai adi juga akan kabur dari sekolah, dan lebih memilih lautan.. Jadi buat guru-guru, yang baik lah ngajar anak-anak, jangan galak-galak, dan jangan terlalu otoriter... :D hahaha

saya ga mau ahhh... saya mau bergabung ama adi ajaa... berguru pada lautan... :P

Reply Delete

miris baca ceritanya , anak anak seperti Adi memang byk jumlahnya di negeri ini yang rela atau memang terpaksa meninggalkan sekolah atau malah nggak punya kesempatan sama sekali duduk di bangku sekolah

Reply Delete

wooowww kereen bang tulisannya... :-)

Reply Delete

Miris memang Mbak kalo kita melihat dan merasakan apa yang kita saksikan itu, apalagi buat mereka yang dengan keadaan terpaksa melakoni kehidupan yang seperti itu, tetapi bagi mereka yang menjadi seperti itu karena pilihan mereka sendiri, saya kira patut untuk dihargai karena setidaknya mereka masih punya semangat untuk maju... :)

Reply Delete

Terima kasih yaaaa atas apresiasinya... :)

Reply Delete

adi lebih memilih berpetualang dibanding sekolah.. wuihh keren donk, gurunya lautan.. hihi.. :P
tp kita tentunya berharap anak2 seperti adi punya masa depan yg lbh baik dan pendidikan yg lbh baik..

Reply Delete

Terkadang seseorang lebih berani menghadapi kerasnya alam dek Adi daripada menghadapi manusia - manusia dan aturan yang dibuat oleh manusia juga... Bersahabatlah dengan Alam adikku... Pahami Alam, belajarlah dari alam dan rawatlah, niscaya mereka akan memberikan yang terbaik sesuai janji Alam itu sendiri.. tapi jangan tinggalkan sekolah.. itu adalah bekalmu kelak adikku... ^_^

Reply Delete

saya jadi inget film JERMAL.. :)

Reply Delete

iyaaa... kereen yaaa ngebayangin seseorang bisa berguru pada lautan.. :D, tapi miris juga ngebayangin ke depannya akan seperti apa orang itu...

yaa, semuanya juga pasti berharap begitu.. lebih baik ke depannya..

Reply Delete

alam memang keras, tetapi manusia lebih ulet untuk dihadapi... kedua-duanya menawarkan hal yang penuh tantangan untuk dihadapi, tinggal bagaimana cara menghadapinya saja... :)

Reply Delete

Baru dengar ada judul film JERMAL... :D

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs