Pernah sebuah pertanyaan dilontarkan kepada saya, dan saya cukup kesulitan menjawabnya, tetapi harus saya jawab. Pertanyaan yang jawabannya cuma setuju atau tidak setuju, dan membutuhkan sedikit penjelasan tentang pembenaran dari pilihan jawaban itu. Kesulitan itu sebenarnya ada pada saya sendiri yang menginginkan semua pihak puas, tetapi opsi jawaban yang diberikannya menginginkan harus ada yang menjadi korban. Di satu sisi, saya tidak ingin yang bertanya jadi tersinggung, sedang di sisi lain jawaban yang saya akui benar, pasti akan disanggah habis-habisan oleh yang bertanya. Tahukah pertanyaannya seperti apa? Pertanyaannya itu menyangkut soal kedaulatan. Ke mana ia seharusnya mengabdikan diri? Apakah ke negeri seberang atau negeri yang mengklaim wilayahnya tetapi tak pernah mempedulikannya ataupun mengurusnya.
Saya masih ingat cengkrama itu, di salah satu dusun yang bagi saya sangat luar biasa untuk bisa sampai di daerah itu. Tak adanya transportasi darat menuju ke sana adalah kendalanya. Semuanya bergantung pada transportasi perahu motor boat, dan itupun juga masih tergantung dengan pasang surutnya air sungai. Bersama seorang ketua adat yang fasih berbahasa Inggris dan Jerman di sebuah wilayah perbatasan yang kebetulan bertemu denganku, meminta pendapat saya tentang ke mana tanah yang ia pijak itu seharusnya mengabdi. Saya justru menjawab antara setuju dan tidak setuju dengan berbagai macam pertimbangan yang semoga tidak membuatnya berang, tetapi di satu sisi saya menekankan untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah, walau sepahit apapun sejarah itu memperlakukan kita saat ini.
Sehabis menjawab itu, rentetan keluhan demi keluhan keluar dari lisannya yang penuh dengan berbagai macam perbandingan. Dan di antara macam-macam perbandingan itu, yang paling saya ingat dan membuat saya miris adalah ibarat sebuah rumah yang kita bergerak di dalamnya, jalan menuju ke rumah tetangga sebelah lebih mudah diakses daripada jalan menuju ruang tamu rumah itu sendiri. Di ruang tamu itu sendiri, para pewaris rumah yang berdiam diri di sana, terlalu sibuk berbicara tentang kesempurnaan sebuah rumah yang tak kunjung mendekati kesempurnaan, sementara bagian cacat di bagian pinggirnya tak pernah terpikirkan sama sekali. Haruskah rumah itu mesti menciut besarnya untuk menghilangkan bagian yang cacat itu? Atau perlukah sebuah pembenahan?
Kisah 'Cerita Dari Tapal Batas', berhasil menghadirkan semua cengkrama itu lagi. Satu bukti bagi diri ini, bahwa kisah layar kaca itu bukanlah sebuah rekayasa untuk sebuah kepentingan tertentu, ataupun ucapan untuk memperoleh simpati, tetapi itulah kenyataan yang diperlihatkan di sana, di salah satu beranda yang tak terurus. Di cerita itu kita bisa menemui kisah tentang bagaimana perjuangan seorang guru yang mengurusi satu sekolah di sana. Seorang diri, satu sekolah.., bukan satu kelas!!! Tentang bagaimana seorang perangkat kesehatan yang berkunjung ke rumah-rumah di sana dengan akses yang sulit. Seorang diri...seorang!!! Kisah single fighter ini kabarnya karena jarang ada yang mau ditempatkan di wilayah seperti itu. Kalaupun ada, mereka tak akan bisa tahan dengan kondisinya yang serba sulit. Sedangkan bagian yang mudah adalah merantau ke negeri seberang, negeri yang lebih menjanjikan sebuah kesejahteraan.
Ketika penduduk di sana ditanya tentang Indonesia, Merah Putih, Garuda, Rupiah ataupun lagu Indonesia Raya, sungguh sebuah jawaban yang miris yang kita temukan, seperti:
Intinya, mereka tak begitu mengenal indonesia sebagaimana indonesia merangkul pijakan tanah mereka. Ketidaktahuan mereka akan indonesia adalah sebuah ancaman tersendiri. Ketertinggalan mereka adalah kerapuhan sebuah kedaulatan. Keterbatasan gerak mereka bisa berujung pada satu ketidaksukaan pada Indonesia.
Menyaksikan kisah mereka hanyalah menghadirkan simpati layaknya kisah2 nyata yang berakhir tragis lainnya. Tetapi cukupkah dengan hanya mengetahuinya dan bersimpati saja? Tan Malaka pernah berkata bahwa "Jika dalam sebuah wilayah dan tak mempunyai sumber daya, maka untuk maju atau memperluas imperialis sebuah wilayah itu, ia harus menguasai daerah yang memiliki sumber daya itu. Sebaliknya, jika sumber daya itu ada dan berlimpah, tetapi lemah dalam hal semangat, intelektualitas, persatuan dan kesatuan, maka wilayah itu tak ubahnya seperti umpan dan santapan bagi wilayah-wilayah yang lebih maju". Untuk bisa maju dan berkembang semuanya harus berjalan selaras, sumber daya dengan rasa kepemilikannya, semangat, intelektualitas serta persatuan dan kesatuan. Walaupun saat ini, mungkin kita atau saya tidak memiliki salah satu dari komponen itu, setidaknya kita menyadari kelemahan itu dan berusaha berbenah dan mengubahnya menjadi sebuah kelebihan hingga ujungnya bisa menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.
Coba tengok di layar kaca, dari semua pergolakan-pergolakan konflik yang disajikan pada media di sana oleh para pengurus bangsa dengan simbol kebesaran golongannya masing-masing yang berwarna-warni, adakah simbol 2 warna merah putih yang sering diperlihatkan di sana? Atau kalau mau mencermati lebih lanjut lagi, berapa kali kata "INDONESIA" di sebutkan di sana? Saya sangat jarang menemuinya. Ataukah memang benar bahwa nama INDONESIA itu sudah tenggelam di antara tumpukan-tumpukan permasalahan sikut-menyikut antar golongan? Entahlah, tapi bagiku yang di tengah saja 'tidak terurus', lalu bagaimana bisa memikirkan dan membenahi yang berada di tepian.
Saya masih ingat cengkrama itu, di salah satu dusun yang bagi saya sangat luar biasa untuk bisa sampai di daerah itu. Tak adanya transportasi darat menuju ke sana adalah kendalanya. Semuanya bergantung pada transportasi perahu motor boat, dan itupun juga masih tergantung dengan pasang surutnya air sungai. Bersama seorang ketua adat yang fasih berbahasa Inggris dan Jerman di sebuah wilayah perbatasan yang kebetulan bertemu denganku, meminta pendapat saya tentang ke mana tanah yang ia pijak itu seharusnya mengabdi. Saya justru menjawab antara setuju dan tidak setuju dengan berbagai macam pertimbangan yang semoga tidak membuatnya berang, tetapi di satu sisi saya menekankan untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah, walau sepahit apapun sejarah itu memperlakukan kita saat ini.
Sehabis menjawab itu, rentetan keluhan demi keluhan keluar dari lisannya yang penuh dengan berbagai macam perbandingan. Dan di antara macam-macam perbandingan itu, yang paling saya ingat dan membuat saya miris adalah ibarat sebuah rumah yang kita bergerak di dalamnya, jalan menuju ke rumah tetangga sebelah lebih mudah diakses daripada jalan menuju ruang tamu rumah itu sendiri. Di ruang tamu itu sendiri, para pewaris rumah yang berdiam diri di sana, terlalu sibuk berbicara tentang kesempurnaan sebuah rumah yang tak kunjung mendekati kesempurnaan, sementara bagian cacat di bagian pinggirnya tak pernah terpikirkan sama sekali. Haruskah rumah itu mesti menciut besarnya untuk menghilangkan bagian yang cacat itu? Atau perlukah sebuah pembenahan?
Kisah 'Cerita Dari Tapal Batas', berhasil menghadirkan semua cengkrama itu lagi. Satu bukti bagi diri ini, bahwa kisah layar kaca itu bukanlah sebuah rekayasa untuk sebuah kepentingan tertentu, ataupun ucapan untuk memperoleh simpati, tetapi itulah kenyataan yang diperlihatkan di sana, di salah satu beranda yang tak terurus. Di cerita itu kita bisa menemui kisah tentang bagaimana perjuangan seorang guru yang mengurusi satu sekolah di sana. Seorang diri, satu sekolah.., bukan satu kelas!!! Tentang bagaimana seorang perangkat kesehatan yang berkunjung ke rumah-rumah di sana dengan akses yang sulit. Seorang diri...seorang!!! Kisah single fighter ini kabarnya karena jarang ada yang mau ditempatkan di wilayah seperti itu. Kalaupun ada, mereka tak akan bisa tahan dengan kondisinya yang serba sulit. Sedangkan bagian yang mudah adalah merantau ke negeri seberang, negeri yang lebih menjanjikan sebuah kesejahteraan.
Ketika penduduk di sana ditanya tentang Indonesia, Merah Putih, Garuda, Rupiah ataupun lagu Indonesia Raya, sungguh sebuah jawaban yang miris yang kita temukan, seperti:
'ini Indonesia, tapi saya tak merasa kalau indonesia itu ada'
'Merah Putih itu warna bendera indonesia, tapi saya tak tahu maknanya, merah itu apa, putih itu apa...'
'Garuda... Itu seperti gambar yang ada pada baju kaos saya, tetapi saya tak tahu artinya'
'Rupiah... Saya tak bisa berhitung dengannya'
'lagu indonesia raya.... Saya tidak tahu, tidak hafal'.
Intinya, mereka tak begitu mengenal indonesia sebagaimana indonesia merangkul pijakan tanah mereka. Ketidaktahuan mereka akan indonesia adalah sebuah ancaman tersendiri. Ketertinggalan mereka adalah kerapuhan sebuah kedaulatan. Keterbatasan gerak mereka bisa berujung pada satu ketidaksukaan pada Indonesia.
Menyaksikan kisah mereka hanyalah menghadirkan simpati layaknya kisah2 nyata yang berakhir tragis lainnya. Tetapi cukupkah dengan hanya mengetahuinya dan bersimpati saja? Tan Malaka pernah berkata bahwa "Jika dalam sebuah wilayah dan tak mempunyai sumber daya, maka untuk maju atau memperluas imperialis sebuah wilayah itu, ia harus menguasai daerah yang memiliki sumber daya itu. Sebaliknya, jika sumber daya itu ada dan berlimpah, tetapi lemah dalam hal semangat, intelektualitas, persatuan dan kesatuan, maka wilayah itu tak ubahnya seperti umpan dan santapan bagi wilayah-wilayah yang lebih maju". Untuk bisa maju dan berkembang semuanya harus berjalan selaras, sumber daya dengan rasa kepemilikannya, semangat, intelektualitas serta persatuan dan kesatuan. Walaupun saat ini, mungkin kita atau saya tidak memiliki salah satu dari komponen itu, setidaknya kita menyadari kelemahan itu dan berusaha berbenah dan mengubahnya menjadi sebuah kelebihan hingga ujungnya bisa menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.
Coba tengok di layar kaca, dari semua pergolakan-pergolakan konflik yang disajikan pada media di sana oleh para pengurus bangsa dengan simbol kebesaran golongannya masing-masing yang berwarna-warni, adakah simbol 2 warna merah putih yang sering diperlihatkan di sana? Atau kalau mau mencermati lebih lanjut lagi, berapa kali kata "INDONESIA" di sebutkan di sana? Saya sangat jarang menemuinya. Ataukah memang benar bahwa nama INDONESIA itu sudah tenggelam di antara tumpukan-tumpukan permasalahan sikut-menyikut antar golongan? Entahlah, tapi bagiku yang di tengah saja 'tidak terurus', lalu bagaimana bisa memikirkan dan membenahi yang berada di tepian.
6 comments
:))) belum baca, nnti aja deh :)
tersadar sudah lama saya tidak berkunjung ke lapak hening, mengenang masa2 2 tahun silam, hey yg punya lapak keman asaja ????????
indonesia...
seperti begitu jauh dan purba.
pasti ni film gak kalah seru sama tanah air surga katanya...
8-} I-)
Masih tetap jagain lapak ini....
Tepinya sepertinya masih begitu... terasa jauh dan purba.
"Cerita Dari Tapal Batas" ini hampir sama dengan "Tanah Surga, Katanya...", cuma dikemas dalam bentuk Film Dokumenter..
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs