Pagi ini adalah saat-saat yang langka, di mana pagi-pagi sebelumnya justru jarang aku sapa dengan penuh kesadaran. Terkadang ia berlalu begitu saja tanpa sempat melihat ke belakang tentang apa yang baru saja terlewat. Semua itu mungkin karena sudah menjadi semacam tuntutan rutinitas yang berkesan wajib dan harus di laksanakan. Tetapi, bagi yang masih terbebas dan tidak terikat dengan rutinitas itu, pagi bisa saja dimanipulasi menjadi malam. Seperti pagi yang akan bercerita selanjutnya ini, ia hanyalah bagian malam yang terlambat, yang itu pun harus terganggu oleh kacau dan bisingnya suasana sekitar saat itu.
Di pagi itu aku harus menahan kantuk dan kondisi ruangan yang begitu dingin menusuk kulit karena pengaruh udara dari balik jendela yang aku biarkan terbuka sejak semalam. Hari ini begitu sempurna, matahari terbit tepat waktu. Awan mendung yang biasanya menghalanginya untuk terbit tepat waktu hilang entah ke mana. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku tak mendengar ada suara yang menyertai terbitnya matahari. Suara ayam pun yang bersahut sahutan dalam menyambut pagi juga hilang di telan sunyi. Hanya ada kicauan burung yang menyanyikan lagu cerahnya hari. Kontras dengan keadaan di luar sana, di dalam sana yang juga masih satu bagian dengan ruangan ini, penghuninya pun bermalas-malasan memulai aktivitasnya di pagi ini.
Semuanya serba terlambat. Suara gaduh yang biasanya terdengar di pagi hari tak terdengar di kupingku. Suara gaduh ini biasanya berupa umpatan karena barang yang dicari tidak berada di tempat, hingga pencarian pun tak menemukan hasil dan akhirnya umpatan pun jadi solusinya. Orang yang tidak senang mendengar umpatan ini menimpalinya dengan berbagai nasehat yang bikin kuping pekak. Orang yang dinasehati berusaha tidak mendengarkan apa-apa, walaupun secara berbisik dia mengatakan sesuatu yang kurang ajar yang ditujukan kepada orang yang menasehati, dan berlalu begitu saja keluar pekarangan rumah mengejar waktu yang terus meninggalkannya pergi.
Aku masih di sini terjaga sedari malam tadi, belum bisa mengistirahatkan tubuh ini. Aku biarkan semuanya berjalan apa adanya. Karena mata yang tidak mau bekerja sama, maka tubuh ini pun tidak saya paksakan untuk beristirahat. Sama sekali tidak terpikir dampaknya dengan membiarkannya seperti itu, tetapi aku cuma bisa berpikir masa bodoh dengan hal itu. Suatu saat aku akan berubah. Suatu sikap yang bisa dikatakan optimis dan juga bisa dikatakan pesimis. Alangkah bodohnya pemikiran seperti itu. Plin-plan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sikap seperti itu. Tak menentu, tak terarah, dan membiarkan waktu mengatur semuanya. Ibarat sebuah ruangan yang tidak pernah terjamah oleh siapapun. Penuh debu karena sapuan sang waktu, hingga waktu pun akan melapukkannya dan merobohkannya bersama dengan rayap-rayap yang senantiasa membangun peradaban sepeninggal manusia pada ruangan itu.
Pagi ini, aku duduk termenung menatap layar laptop yang masih beroperasi sejak semalam dengan ditemani segelas kopi dingin sisa semalam yang kubiarkan berada di depanku dan tak kunikmati. Aku memandanginya berulang kali dan berharap ada kata-kata yang lahir dari kejadian itu. Tak mudah untuk membahasakan segelas kopi yang tak dinikmati. Bagi para peminum kopi, mungkin mereka akan langsung menyeruputnya ketika selesai diseduh dengan air panas, dan membiarkan bibirnya membengkak akibat sengatan panas yang ditimbulkan oleh air panas yang telah dicampurkan ke dalam kopi itu. Namun itu bukanlah sebuah masalah bagi seorang pecandu. Seorang pecandu maut pun, akan merasa senang ketika maut hanya bisa mengecupnya lalu menghilang entah ke mana. Serasa di surga ketika hal itu telah terlewati. Walaupun hanya setetes yang bisa dirasakan oleh lidah ini, namun kenikmatan yang tiada tara dari segelas kopi dapat memuaskan hasrat batin ibarat seribu keinginan telah tergapai.
Selain segelas kopi yang menjadi sasaran pelampiasan keterdiamanku, sebuah jam beker yang terdapat di samping laptop ini, juga menjadi saksi bisu keheningan pagi yang kuhadirkan. Ia sudah menempati tempat itu sejak aku berada di tempat ini pertama kali, dan tempatnya tak pernah beranjak dari sana. Namun, aku hanya menyentuhnya ketika ia sedang sekarat saat jarumnya perlahan-lahan berhenti berputar. Itu pun kalau aku sadari dan sedang membutuhkannya. Mungkin jam beker itu mewakili sebuah ungkapan bahwa betapa besar nilai sebuah barang ketika kita membutuhkannya, dan kita selalu saja mengabaikan keberadaannya yang begitu berguna ketika kita disibukkan oleh urusan yang lain. Bahkan suatu kepedulian pun tidak akan timbul kalau kita tidak melatihnya.
"Selamat pagi, pagi." Aku ingin menyapamu seperti itu di kala hari sudah siang. Semoga engkau mengerti.
Di pagi itu aku harus menahan kantuk dan kondisi ruangan yang begitu dingin menusuk kulit karena pengaruh udara dari balik jendela yang aku biarkan terbuka sejak semalam. Hari ini begitu sempurna, matahari terbit tepat waktu. Awan mendung yang biasanya menghalanginya untuk terbit tepat waktu hilang entah ke mana. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku tak mendengar ada suara yang menyertai terbitnya matahari. Suara ayam pun yang bersahut sahutan dalam menyambut pagi juga hilang di telan sunyi. Hanya ada kicauan burung yang menyanyikan lagu cerahnya hari. Kontras dengan keadaan di luar sana, di dalam sana yang juga masih satu bagian dengan ruangan ini, penghuninya pun bermalas-malasan memulai aktivitasnya di pagi ini.
Semuanya serba terlambat. Suara gaduh yang biasanya terdengar di pagi hari tak terdengar di kupingku. Suara gaduh ini biasanya berupa umpatan karena barang yang dicari tidak berada di tempat, hingga pencarian pun tak menemukan hasil dan akhirnya umpatan pun jadi solusinya. Orang yang tidak senang mendengar umpatan ini menimpalinya dengan berbagai nasehat yang bikin kuping pekak. Orang yang dinasehati berusaha tidak mendengarkan apa-apa, walaupun secara berbisik dia mengatakan sesuatu yang kurang ajar yang ditujukan kepada orang yang menasehati, dan berlalu begitu saja keluar pekarangan rumah mengejar waktu yang terus meninggalkannya pergi.
Aku masih di sini terjaga sedari malam tadi, belum bisa mengistirahatkan tubuh ini. Aku biarkan semuanya berjalan apa adanya. Karena mata yang tidak mau bekerja sama, maka tubuh ini pun tidak saya paksakan untuk beristirahat. Sama sekali tidak terpikir dampaknya dengan membiarkannya seperti itu, tetapi aku cuma bisa berpikir masa bodoh dengan hal itu. Suatu saat aku akan berubah. Suatu sikap yang bisa dikatakan optimis dan juga bisa dikatakan pesimis. Alangkah bodohnya pemikiran seperti itu. Plin-plan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sikap seperti itu. Tak menentu, tak terarah, dan membiarkan waktu mengatur semuanya. Ibarat sebuah ruangan yang tidak pernah terjamah oleh siapapun. Penuh debu karena sapuan sang waktu, hingga waktu pun akan melapukkannya dan merobohkannya bersama dengan rayap-rayap yang senantiasa membangun peradaban sepeninggal manusia pada ruangan itu.
Pagi ini, aku duduk termenung menatap layar laptop yang masih beroperasi sejak semalam dengan ditemani segelas kopi dingin sisa semalam yang kubiarkan berada di depanku dan tak kunikmati. Aku memandanginya berulang kali dan berharap ada kata-kata yang lahir dari kejadian itu. Tak mudah untuk membahasakan segelas kopi yang tak dinikmati. Bagi para peminum kopi, mungkin mereka akan langsung menyeruputnya ketika selesai diseduh dengan air panas, dan membiarkan bibirnya membengkak akibat sengatan panas yang ditimbulkan oleh air panas yang telah dicampurkan ke dalam kopi itu. Namun itu bukanlah sebuah masalah bagi seorang pecandu. Seorang pecandu maut pun, akan merasa senang ketika maut hanya bisa mengecupnya lalu menghilang entah ke mana. Serasa di surga ketika hal itu telah terlewati. Walaupun hanya setetes yang bisa dirasakan oleh lidah ini, namun kenikmatan yang tiada tara dari segelas kopi dapat memuaskan hasrat batin ibarat seribu keinginan telah tergapai.
Selain segelas kopi yang menjadi sasaran pelampiasan keterdiamanku, sebuah jam beker yang terdapat di samping laptop ini, juga menjadi saksi bisu keheningan pagi yang kuhadirkan. Ia sudah menempati tempat itu sejak aku berada di tempat ini pertama kali, dan tempatnya tak pernah beranjak dari sana. Namun, aku hanya menyentuhnya ketika ia sedang sekarat saat jarumnya perlahan-lahan berhenti berputar. Itu pun kalau aku sadari dan sedang membutuhkannya. Mungkin jam beker itu mewakili sebuah ungkapan bahwa betapa besar nilai sebuah barang ketika kita membutuhkannya, dan kita selalu saja mengabaikan keberadaannya yang begitu berguna ketika kita disibukkan oleh urusan yang lain. Bahkan suatu kepedulian pun tidak akan timbul kalau kita tidak melatihnya.
"Selamat pagi, pagi." Aku ingin menyapamu seperti itu di kala hari sudah siang. Semoga engkau mengerti.
22 comments
Wah biar kata saya pecandu kopi tapi tak akan kubiarkan bibir ini membengkak dengan sengatan air panas... ah bisa jontor itu...
btw.. tetep kereen tulisannya...
Hahah... Itu cuma ungkapan yang diperbuas, mas. :D
Terima kasih atas apresiasinya....
aku setuju dengan kalimat terakhir sebelum kau mengucapkan selamat pagi..
bahkan sautu kepedulian pun tidak akan timbul kalau kita tidak melatihnya.
Lalu Cara melatihnya bagaimana?
Pagi itu indah, sayangnya rasa malas sering menutupi mata kita dr keindahannya. Apalagi pagi menjelang identik dgn saat utk kembali bekerja.. ah andai pagi ini bisa leyeh2 saja...
Insomniakah? Katanya banyak begadang bisa menurunkan daya tahan tubuh lho.
Barang itu seakan akan menjadi penting hanya ketika di butuhkan. di lain waktu , biasanya sering dilupakan.
Ini sama nasibnya seperti remot tv di rumah saya.....
Kalo pagi ini gak bisa leyeh-leyeh, masih ada pagi di esok hari kalo masih ketemu... :D
Insomnia mah penyakit, dan saya masih jauh dari kategori itu. Emang sih bisa menurunkan daya tahan tubuh kalau keseringan, tetapi kalo sekali-kali aja gak terlalu pengaruh juga kali... :D
Di tv saya juga gitu, remot rumah sering dianggurin... :D
gk tau mau komen apa, memang sy oon tuk nangkap tulisan2 yg berbau sastra, cuma pesan sy hati2 jgn sampe shalat subuhnya kesiangan... *smile
Saya cuma berusaha membahasakan pagi dengan kondisi yang terasa, sisanya terserah pembacanya mau dibaca, terus diartiin atau diacuhkan... hehe :D
Untuk pesannya, terima kasih pesannya kawan... semoga tidak akan pernah terjadi yang namanya kesiangan... :)
saya jalan2 yah mas, saling kenal/
pagiku itu, ketika penjual gorengan keliling lewat dengan teriakan khasnya "weci, onde-onde, getas..." dan deru mobil atau speda motor orang tua yang mengantarkan anak2 ke smp belakang kos, juga ramai dan ribut antrian depan kamar mandi kos... pagiku berarti pukul 06.00 :)
Silahkan... 8-} I-)
Saya jadi ikut membayangkan bagaimana rupa paginya itu... :D
Bahasanya tingkat tinggi euy, lanjutkan, :D
Saya suka nh tulisan yg kyak gni hehe
Tingkat tinggi? Setinggi apa?
Terima kasih sudah berkunjung.
Saya juga suka, cuma gak segitunya hehe
semoga hari-hari mendatang dalam hidup kamu akan lebih indah..
ku doakan semoga segala cita-cita kamu akan tercapai..
usaha itu tangga kejayaan..
semoga berjaya..
Aamiinnn.... Terima kasih atas doanya dan semoga dirimu pun juga begitu... :)
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs