Recent Comments
Loading...
Recent Comments

Pikiran, Memastikan dan Kenyataan

10 May 2009

Coba perhatikan segelas kopi yang ada di hadapanmu. Segelas kopi itu bisa mengobati rasa akan dahaga dan pelengkap dari sebatang rokok yang terselip diujung bibir. Tapi pernahkah terbayangkan betapa banyak manusia yang berperan dalam segelas kopi itu. Tentang yang membeli kopinya, tentang yang menjual kopinya, tentang yang memproduksi kopinya hingga menjadi sebuah kopi dengan cita rasa yang tinggi, tentang petani kopi yang dengan susah payah menanamnya, merawatnya, hingga memanennya dan menjualnya ke pabrik kopi, dan tentunya tentang gelasnya sendiri, dan lain-lain sebagainya yang di luar pengetahuanku. Sangat sederhana apa yang ada di depanmu, dan begitu mudahnya kita menghabiskan segelas kopi itu, dan hanya bisa merasakan rasa dari kopi itu tanpa pernah mempertanyakan asal usulnya.

Cerita di atas adalah sebuah imaji dari sebuah pelukis yang ketika ingin melukis segelas kopi yang ada di depannya, seseorang menanyakan untuk apa sih melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti melukis. Orang yang tidak mengerti seni ini mendapatkan jawaban seperti di atas. Ketika seorang pelukis memperhatikan sebuah objek, yang dilihatnya adalah bukan objek yang ada di depannya, tetapi bagaimana objek itu bisa mengalami proses hingga bisa berada di tempat itu.

Lain halnya dengan sebuah botol greensand yang tiba-tiba berguling di sampingku ketika aku dan kawan-kawanku duduk menunggu angkutan umum lewat. Salah seorang kawanku menendangnya, dan aku melerainya. Takut botolnya pecah dan akan menjadikannya beling yang kemudian berserakan dan akan merugikan orang lain. Namun, apa jawabnya.

Dia berkata darimana kamu tahu bahwa ketika botol ini kutendang, botol ini akan pecah.

Aku diam seribu bahasa dan berusaha mencari jawaban untuk bisa ngeles. Aku bilang, itu termasuk barang pecah belah dan mungkin saja pecah ketika kamu menendangnya.Kalau terbuat dari plastik sih, kamu mau melakukan apa saja terserah kamu.

Dia kemudian menyangkal bahwa kamu mengatakan mungkin, dan mungkin itu kan belum pasti dan untuk membuatnya pasti kamu harus membuktikannya terlebih dahulu. Sedangkan kamu sudah memebuat keputusan mengenai sesuatu yang belum pasti. Ketika botol ini kutendang, ada 2 pilihan yang akan terjadi padanya, yakni pecah atau tidak pecah. Sedangkan kamu sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, dan langsung menyuruh saya untuk berhenti dan mengajak saya untuk mengikuti apa yang kamu yakini benar. Dan bagaimana kalo botol ini kutendang lebih keras dan tidak pecah???

Aku hanya bisa terdiam mendengar ocehannya. Aku telah menentukan sebuah kebenaran terhadap botol itu ketika akan ditendang. Kebenaran yang belum diuji kebenarannya. Kebenaran yang bersifat fatal, sehingga aku menecegahnya untuk ditendang. Apakah sesuatu yang fatal harus dihindari ketika kita meyakininya akan terjadi. Dia menyebutku pengecut, penakut karena hal sepele ini, hanya sebuah analogi dari sebuah botol. Dan kebetulan waktu itu aku menghadapi kenyataan yang sama tentang sesuatu yang aku hindari tanpa pernah menghadapinya sama sekali.

Dia lalu menendang botol itu dengan keras. Yang terjadi botol itu tidak pecah sama sekali. Masih utuh seperti sedia kala.

Terkadang sebuah logika tidak selamanya benar, walaupun kemungkinan benarnya lebih tinggi daripada salahnya. Harus dibuktikan sendiri kebenarannya. Layaknya seorang anak kecil yang sering melakukan hal-hal yang dilarang sama orang dewasa karena sebuah rasa penasaran yang tinggi. Dia mendapatkan sebuah kenyataan dan pengalaman dari melakukan hal-hal tersebut. Dan yang membahayakan ketika hal itu membuatnya ketagihan dan bersifat fatal bagi dirinya dan bagi orang lain.

Teringat kembali akan ocehan Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia bahwa adillah kamu sejak dalam pikiran. Menempatkan sesuatu pada tempatnya butuh pembelajaran sendiri, dan pengalaman yang menghantarkan kita sampai ke sana.

Sama seperti pelukis di atas. Ia komplain terhadap sesuatu yang dianggapnya benar terhadap orang yang tidak mengerti apa-apa tentang apa yang dilakukannya. Sampai kapankah kita tidak mau mengerti. Kita selalu sombong dengan mengatakan bahwa apa yang kita lakukan adalah yang paling benar, tanpa pernah mempertimbangkan apa yang terpengaruh oleh perbuatan kita sendiri.

Baik dan buruk punya nilai yang relatif. Siapa yang menentukannya. Kita yang melakukannya, atau orang lain yang menyaksikannya. Kembali melahirkan sebuah tanya. AAArrrrrrrgggghhhhhhhh.

2 comments

Reply Delete

[img]https://lh4.googleusercontent.com/-BT4-3yaM4kc/UNqFsFd18kI/AAAAAAAABE0/EAvlCR8Howw/s720/Cerita%2520Dari%2520Tapal%2520Batas%2520%25282011%2529%2520DVDRip.mkv_snapshot_54.55_%255B2012.10.24_11.24.24%255D.jpg[/img]

Post a Comment

˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs