Aku ambil sebuah kertas kosong berwarna putih dan merebahkannya di atas meja. Dengan pena tinta merah di tangan kananku, aku berusaha menggoreskan sesuatu di atasnya, mencoba mendamaikan mereka berdua dengan untaian kata-kata yang ada di benakku. Ketika tancapan pertama sang pena mendarat di atas kertas kosong itu, tiba-tiba semuanya menjadi buram, kata-kata itu berpencar menjauh dan secepat kilat menghilang dari benakku. Entah kenapa, sepertinya kutub magnet sang kertas susah untuk tarik menarik dengan kutub magnet pena yang kugenggam, sehingga aku tak bisa melanjutkan goresan apapun di atasnya. Aku pun terdiam, berhenti untuk melanjutkan liukan sang pena, mencoba memahami kesulitan yang kualami.
Sebenarnya gampang saja kalau mau meliukkan pena di atas kertas. Melirik kenyataan yang ada yang dialami ataupun yang disaksikan, seharusnya pena bisa melaju di atas selembar kertas, berbahasa menyusun kata-kata membentuk rangkaian kalimat-kalimat menuruti kehendak si pemegang pena. Begitu juga halnya dengan khayalan dan imaji yang ada, dan dengan bekal pengetahuan dan wawasan yang dimiliki, kita bisa membahasakannya sesuai dengan keinginan kita. Hahaha.... sepertinya ngomong itu lebih gampang daripada melakukannya, dan sepertinya juga menasehati orang lain itu lebih gampang daripada menasehati diri sendiri.
Aku letakkan pena itu dari tanganku dan menggantinya dengan kertas yang sedari tadi rebah di atas meja. Aku pandangi putihnya sembari menerbangkan khayalku dan berharap bisa kembali merangkai kata-kata yang terurai sebelumnya. Lama aku terdiam dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ada sebuah titik merah di sana, bekas tancapan sang pena. Titik itu sepintas tak menyiratkan makna apa-apa. Semakin lama aku pandangi, titik itu semakin lama membisikkan maknanya, menyatakan keberadaannya yang tak pernah dihargai.
Ia hanyalah pelengkap sebuah kalimat, penanda kalau kalimat itu sudah berakhir. Tetapi kalau maksud dari kalimat itu tersampaikan, sepertinya keberadaan titik itu tak perlu dipedulikan sama sekali, toh yang mau tahu tentang kalimat itu bukan hanya seorang guru bahasa Indonesia yang sering mencap silang sebuah tulisan siswanya kalau tanda titik itu diabaikan. Seringkali juga, mereka yang telah berhasil meliukkan pena di atas kertas dan bukan hanya sekedar menggoreskannya, lupa menghadirkannya pada tempat yang seharusnya.
Tapi lain halnya, jika kertas itu diperlihatkan kepada Arthur Mendelson, seorang tokoh yang dicap gila dalam film Patch Adams. Kalau ditanyakan padanya apa yang dia lihat dalam selembar kertas itu, ia mungkin tidak akan pernah mengatakan kalau ia melihat sebuah titik merah dalam kertas itu, karena ia selalu memburamkan penglihatannya pada objek yang dilihatnya. Ia mengajarkan untuk melihat sesuatu itu untuk tidak terlalu fokus pada objeknya, karena objek itu adalah sebuah permasalahan utama dan ketika penglihatan terfokus pada permasalahan, kita tidak bisa melihat solusi dari permasalahan tersebut. Yaa, lihatlah sesuatu yang orang lain tidak bisa melihatnya dan lihat apa yang semua orang memilih untuk tidak melihatnya.
Teringat ketika seorang kawan memperlihatkan hal serupa di depanku dan mempertanyakan tentang apa yang saya lihat, lantas saya jawab bahwa saya hanya melihat sebuah titik, tak kurang dan tak lebih. Dia pun tertawa terpingkal-pingkal tak jelas, kemudian dia kembali menanyakan hal sama kepadaku sampai 5 kali kalau tidak salah. Dan jawaban saya tetap sama sampai 5 kali, bahwa saya hanya melihat sebuah titik, tak kurang dan tak lebih. Akhirnya, kekonyolan itu pun tak menghasilkan apa-apa pada saya karena ia lebih memilih bungkam dan tertawa terbahak-bahak menyembunyikan sebuah pengetahuan yang diketahuinya. Akupun membiarkannya dan berpikir masa bodoh dan menganggapnya sebuah canda dalam ketololan. Kalau saja waktu itu aku menjawab aku melihat kertas yang bercap titik di dalamnya, mungkin ceritanya bisa lain.
Kejadian itu pun kembali terulang, dan merasa seperti pernah mengalaminya. Kebetulan waktu itu aku lagi memegang sebuah pena merah dan cuma karena mau menulis, dan tak tahu harus menulis apa, jadilah hanya menorehkan sebuah titik di atas kertas itu. Sebuah titik yang membuat pikiranku mengembara tak karuan, mencoba menggali sebuah bahasa darinya.
Perbedaan ukuran yang sangat besar antara kertas dan titik itu, membuatku bertanya-tanya harus saya isi berapa titik sehingga kertas itu bisa penuh dengan titik. Ah sebuah pertanyaan konyol, tapi cukup untuk membuatku berandai-andai. Sepertinya tak ada salahnya berimaji memandang sesuatu dari atas, walaupun posisi kita sedang berada di bawah. Seandainya titik itu adalah manusia dan kertas itu adalah bumi. Seandainya titik itu adalah bumi dan kertas itu adalah matahari. Seandainya titik itu adalah matahari dan kertas itu adalah galaksi. Seandainya....
Astaghfirullah....Maafkan aku yang terlalu berandai-andai ya Allah...
Sebenarnya gampang saja kalau mau meliukkan pena di atas kertas. Melirik kenyataan yang ada yang dialami ataupun yang disaksikan, seharusnya pena bisa melaju di atas selembar kertas, berbahasa menyusun kata-kata membentuk rangkaian kalimat-kalimat menuruti kehendak si pemegang pena. Begitu juga halnya dengan khayalan dan imaji yang ada, dan dengan bekal pengetahuan dan wawasan yang dimiliki, kita bisa membahasakannya sesuai dengan keinginan kita. Hahaha.... sepertinya ngomong itu lebih gampang daripada melakukannya, dan sepertinya juga menasehati orang lain itu lebih gampang daripada menasehati diri sendiri.
Aku letakkan pena itu dari tanganku dan menggantinya dengan kertas yang sedari tadi rebah di atas meja. Aku pandangi putihnya sembari menerbangkan khayalku dan berharap bisa kembali merangkai kata-kata yang terurai sebelumnya. Lama aku terdiam dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ada sebuah titik merah di sana, bekas tancapan sang pena. Titik itu sepintas tak menyiratkan makna apa-apa. Semakin lama aku pandangi, titik itu semakin lama membisikkan maknanya, menyatakan keberadaannya yang tak pernah dihargai.
Ia hanyalah pelengkap sebuah kalimat, penanda kalau kalimat itu sudah berakhir. Tetapi kalau maksud dari kalimat itu tersampaikan, sepertinya keberadaan titik itu tak perlu dipedulikan sama sekali, toh yang mau tahu tentang kalimat itu bukan hanya seorang guru bahasa Indonesia yang sering mencap silang sebuah tulisan siswanya kalau tanda titik itu diabaikan. Seringkali juga, mereka yang telah berhasil meliukkan pena di atas kertas dan bukan hanya sekedar menggoreskannya, lupa menghadirkannya pada tempat yang seharusnya.
Tapi lain halnya, jika kertas itu diperlihatkan kepada Arthur Mendelson, seorang tokoh yang dicap gila dalam film Patch Adams. Kalau ditanyakan padanya apa yang dia lihat dalam selembar kertas itu, ia mungkin tidak akan pernah mengatakan kalau ia melihat sebuah titik merah dalam kertas itu, karena ia selalu memburamkan penglihatannya pada objek yang dilihatnya. Ia mengajarkan untuk melihat sesuatu itu untuk tidak terlalu fokus pada objeknya, karena objek itu adalah sebuah permasalahan utama dan ketika penglihatan terfokus pada permasalahan, kita tidak bisa melihat solusi dari permasalahan tersebut. Yaa, lihatlah sesuatu yang orang lain tidak bisa melihatnya dan lihat apa yang semua orang memilih untuk tidak melihatnya.
Teringat ketika seorang kawan memperlihatkan hal serupa di depanku dan mempertanyakan tentang apa yang saya lihat, lantas saya jawab bahwa saya hanya melihat sebuah titik, tak kurang dan tak lebih. Dia pun tertawa terpingkal-pingkal tak jelas, kemudian dia kembali menanyakan hal sama kepadaku sampai 5 kali kalau tidak salah. Dan jawaban saya tetap sama sampai 5 kali, bahwa saya hanya melihat sebuah titik, tak kurang dan tak lebih. Akhirnya, kekonyolan itu pun tak menghasilkan apa-apa pada saya karena ia lebih memilih bungkam dan tertawa terbahak-bahak menyembunyikan sebuah pengetahuan yang diketahuinya. Akupun membiarkannya dan berpikir masa bodoh dan menganggapnya sebuah canda dalam ketololan. Kalau saja waktu itu aku menjawab aku melihat kertas yang bercap titik di dalamnya, mungkin ceritanya bisa lain.
Kejadian itu pun kembali terulang, dan merasa seperti pernah mengalaminya. Kebetulan waktu itu aku lagi memegang sebuah pena merah dan cuma karena mau menulis, dan tak tahu harus menulis apa, jadilah hanya menorehkan sebuah titik di atas kertas itu. Sebuah titik yang membuat pikiranku mengembara tak karuan, mencoba menggali sebuah bahasa darinya.
Perbedaan ukuran yang sangat besar antara kertas dan titik itu, membuatku bertanya-tanya harus saya isi berapa titik sehingga kertas itu bisa penuh dengan titik. Ah sebuah pertanyaan konyol, tapi cukup untuk membuatku berandai-andai. Sepertinya tak ada salahnya berimaji memandang sesuatu dari atas, walaupun posisi kita sedang berada di bawah. Seandainya titik itu adalah manusia dan kertas itu adalah bumi. Seandainya titik itu adalah bumi dan kertas itu adalah matahari. Seandainya titik itu adalah matahari dan kertas itu adalah galaksi. Seandainya....
Astaghfirullah....Maafkan aku yang terlalu berandai-andai ya Allah...
18 comments
niceeeeee...
postingan mas sam selalu bikin aku gemetar..^^
aku suka..di mana kita pun seharusnya mampu memaknai kehadiran sebuah titik lebih dari sekedar noktah...
bahwa titik pun mempunyai arti besar,,namun titik pun harus menyadari sepenuhnya,,bahwa akan ada coretan yg lebih panjang drnya,..dan bukan hanya sekedar titik...^^
hmmmb..
yayaya..trkadang kita hanya melihat/fokus pda satu titik itu, padahal ada warna yang porsinya lebih besar dibanding titik itu, Jangan hanya trfokus pada satu permasalahan, sementara diluar prmsalahan itu banyak anugrah yg kita abaikan..
huhu..terima kasih Anda telah menampar saya, dan itu tak akan kulupakan..hahahahahaha :))
jadikanlah titik itu berubah menjadi rangkaian kata2 indah dengan imajinasi daya hayal yg tinggi...sku yakin pasti menghasilkan tulisan yg bagus...(maafkan daku jika coment nya g nyambung hahaha)
sam, saya juga tengah seperti itu..
Eleh-eleh, pada jago merangkai kata :O
ngomong2, mas Sam makasih udah follow punya sefty :D
Subhanallah.
Tak sia-sia Robb menciptakan pikiran. Memadukannya dengan tangan dan kemauan. Ada juga pena. Mungkin sedikit tergantikan oleh keyboard, tapi tak mengurangi kebermaknaan sebuah karya.
Karya anta, hebat.
Salam bloofers!
i'm following
ehem.. ternyata tulisanmu wokey sam! :)
nice posting. anyway, saya ikut co-pas gambarnya. link anda saya cantumkan. terimakasih :)
aku bener2 bingung mau berkomentar apa... sungguh sempurna,, terus berkarya mas sam..lewat tulisan, lewat kertas dan pena...
Coretan yang lebih panjang baru hadir ketika lama tertegun menyaksikan keberadaan titik itu di atas selembar kertas....
terima kasih atas apresiasinya...
Akupun di sadarkan olehnya... tapi tidak sampai menampar saya.... gila aja kalo saya harus menampar diri sendiri...wkwkwkwkw....=))
Sepertinya itu yang sedang aku lakukan... hahahah... :D
Sama donkkk....tapi saya tidak bisa memaksakannya lebih lanjut... :)
Ah biasa aja kali...:D
terima kasih mbak atas apresiasinya... semoga kita-kita bisa menjadi makhluk yang bersyukur atas segala karunia-Nya...
terima kasih Mai......kok bisa nyasar di siniiii???? :O
silahkan dicopy, tapi itu juga bukan gambar saya. aslinya saya dapat dari google juga...:)
terima kasih yaaa... semoga bisa tetap terus berkarya...:)
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs