Entah Mo Nulis Apa

Hanya sebuah keisengan yang menjadikannya sebuah aktivitas yang bikin ketagihan. Hingga semuanya berakhir dengan kata tidak bisa. Namun, 'tidak bisa' bukan berarti menyerah atau tidak mau melakukannya lagi. Tetapi malahan sebaliknya, semuanya membuahkan rasa penasaran untuk bisa. Bersama orang-orang yang menurutku terlalu normal untuk dinilai dan terlalu langka untuk ditemui menjadi keasyikan tersendiri untuk tidak berhenti.

Aku ingin berkisah tentang suatu tempat, tapi ngga tahu harus membahasakannya seperti apa. Di sana, kadang kita beramai-ramai saling berkompetisi untuk menjadi yang pertama untuk bisa atau hanya sekedar berteori saja, tapi kadang-kadang juga hanya dipenuhi oleh segelintir orang yang sama-sama tidak mempunyai kegiatan sama sekali selain membunuh waktu dengan melakukan aktivitas ini, juga bahkan sendiri pun pernah dengan alasan suntuk gara-gara habis dijejali oleh ocehan-ocehan para pendidik di dalam ruangan atau karena ingin curi-curi start untuk bisa.

Tempat itu hanyalah sebuah dinding horizontal yang memanjang dan diapit oleh 2 bangunan. Tempat itu sebenarnya berada di pinggir jalan di mana jalan itu jarang dilalui oleh kendaraan bahkan oleh orang-orang pun jarang, tapi karena posisinya yang vertikal dan memanjang horizontal serta memungkinkan untuk digelantungi, jadilah tempat itu sebagai ajang rutinitas yang tidak rutin-rutin amat dilakukan.

Awalnya, hanya dengan modal badan dan sebuah kantung magnesium. Kenekatan ini pun berakibat buruk pada jempol kaki yang meringis-ringis kesakitan karena menahan perih dari pijakan batu yang tajam-tajam. Tapi, itu bukan suatu masalah. Rasa perih malah tidak menciptakan keinginan untuk meringis, tetapi sebaliknya malah tertawa, menertawai kebodohan mungkin.

Lama-kelamaan tempat itu akhirnya membosankan juga, dan berusaha memvariasikannya di tempat manapun yang memiliki fasilitas yang minimal sama dengan yang di tempat itu.Entah itu tebing beneran, wall climbing, atau pun boulderan-boulderan elit.