Lalui hari demi hari dengan rutinitas yang sama dan terlewati tanpa ada ilmu yang masuk. Satu-satunya pengalihan kesuntukan untuk membunuh waktu hanyalah sebuah buku yang kebetulan ikut. Hingga saatnya tiba angkutan datang dengan bentuk yang sama ketika ia datang sebelumnya. Firasat menerka-nerka dengan kondisi seperti ini akan samakah dengan kondisi sebelumnya, ia tidak akan mampu bertahan dalam kondisi yang lama. Benar dugaan, selama di sini, ia cuma berguna sehari, sedangkan hari-hari berikutnya ia seperti pesakitan yang berbaring di ranjang menunggu ajal menjemputnya terbaring di jalan.
Secercah harapan yang timbul, sirna saat itu juga saat semuanya menyerah dengan kondisi ini. Harapan yang lainnya ialah menanti bantuan kembali dari pusat yang kemungkinannya untuk datang sangat kecil sekali. Yaaa.... daripada berputus asa ria, lebih baik menggantungkan harapan pada yang tidak bisa diandalkan. Hadapi saja... kata Bang Iwan, yang lagu itu saat ini, ingin mendengung di telinga.
Dengan kondisi yang super kritis, seperti logistik menipis, penyakit mewabah, hingga para kuli rewel, akhirnya satu keputusan nekad diambil. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya keputusan ini harus diwujudkan. Tetapi alangkah kagetnya ketika sore hari, sang pelaksana kembali dengan sejuta informasi dari pusat, entah kabar baik atau buruk. Satu per satu informasi itu mengalir menusuk ke dalam benak. Kabar baiknya, dana sudah bisa mencair namun jauh dari yang diharapkan, dan kembali harus menunggu angkutan untuk menjemputnya. Ke dua , camp baru sudah 80% jadi. Ke tiga, ada yang sudah bisa tersenyum berseri-seri karena..... (masalah pribadi). Sedangkan kabar buruknya, orang-orang yang berada dalam tim-ku kena semprotan 'kemarahan'. Entah bagaimana caranya bisa membahasakannya dengan baik. Jelasnya, dari pusat mempertanyakan kenapa cuma satu orang yang kabur dari sini (orang dalam tim-ku, red) dan kenapa harus dia. Karena dia semua jadi kacau. Yang sibuk malah yang bantuin dan yang nge back up kami. Kalau dibayangkan, bagaimana temanku si kribo menghadapi orang seperti itu. Jadinya tersenyum sendiri, tertawa dalam hati.
Namun yang menjadi kekhawatiran di sini adalah kelanjutannya, di mana tantangannya semakin besar. Sebulan di sini bukan berarti libur, tetapi menabung pekerjaan selama sebulan tertunda. Walaupun ada satu anggota yang sedang berjuang sendiri, namun perjuangannya semacam tidak dihargai. Yaaa.... mau gimana lagi, nasi sudah jadi bubur, tapi selama bubur itu belum basi, tetap masih bisa mengganjal perut yang kosong. Hidup harus terus berjalan, penuh warna dan proses.
Alasan kenapa bisa jadi begini sebenarnya ada. Yang terpikirkan adalah bagaimana caranya bisa meyakinkan agar alasan itu bisa diterima. Di sini pikiran masih berkecamuk, tidak ada yang bisa dipaksakan. Kalau orang bilang tidak bisa dan melihat hal itu logis tidak bisa, harus bilang tidak bisa. Dengan pengalaman terdampar di jalan selama 2 hari waktu perjalanan ke tempat ini, tak ada yang bisa dipaksakan, karena akan merugikan para pengangkut pada khususnya dan teman-teman di sini pada umumnya. Intinya, bala bantuan tidak ada, dan yang ada hanyalah keprihatinan dan kesenangan berbingung ria mencari solusi dengan mengalihkan perhatian pada pemenuhan permintaan kepada yang mudah dijangkau padahal orang-orang yang berada di sini sekarat antara hidup dan mati menanti kebosanan. Tidak ada tindakan bijak yang terasa. Yang terbayang hanyalah kepanikan dari yang mengontrol semua pekerjaan.
Harus bagaimana dengan ini semua. Cuma bisa berharap semoga bisa secepatnya keluar dari tempat ini. Sambil berharap, hari-hari terus dibawa santai seolah-olah harapan itu tidak ada. Bukannya melupakan masalah, tapi saat ini bukan saatnya menyelesaikan masalah, tapi saat penantian.
Seperti itu ceritaku selama berada di penantian ini. Sampai sekarang masih menanti, dan aku tak mau penantian ini hingga ujung waktu. Aku mencoba membahasakannya secara sembunyi-sembunyi selama 2 hari.
In My Palbed, Kamis 10 April 2008
Secercah harapan yang timbul, sirna saat itu juga saat semuanya menyerah dengan kondisi ini. Harapan yang lainnya ialah menanti bantuan kembali dari pusat yang kemungkinannya untuk datang sangat kecil sekali. Yaaa.... daripada berputus asa ria, lebih baik menggantungkan harapan pada yang tidak bisa diandalkan. Hadapi saja... kata Bang Iwan, yang lagu itu saat ini, ingin mendengung di telinga.
Dengan kondisi yang super kritis, seperti logistik menipis, penyakit mewabah, hingga para kuli rewel, akhirnya satu keputusan nekad diambil. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya keputusan ini harus diwujudkan. Tetapi alangkah kagetnya ketika sore hari, sang pelaksana kembali dengan sejuta informasi dari pusat, entah kabar baik atau buruk. Satu per satu informasi itu mengalir menusuk ke dalam benak. Kabar baiknya, dana sudah bisa mencair namun jauh dari yang diharapkan, dan kembali harus menunggu angkutan untuk menjemputnya. Ke dua , camp baru sudah 80% jadi. Ke tiga, ada yang sudah bisa tersenyum berseri-seri karena..... (masalah pribadi). Sedangkan kabar buruknya, orang-orang yang berada dalam tim-ku kena semprotan 'kemarahan'. Entah bagaimana caranya bisa membahasakannya dengan baik. Jelasnya, dari pusat mempertanyakan kenapa cuma satu orang yang kabur dari sini (orang dalam tim-ku, red) dan kenapa harus dia. Karena dia semua jadi kacau. Yang sibuk malah yang bantuin dan yang nge back up kami. Kalau dibayangkan, bagaimana temanku si kribo menghadapi orang seperti itu. Jadinya tersenyum sendiri, tertawa dalam hati.
Namun yang menjadi kekhawatiran di sini adalah kelanjutannya, di mana tantangannya semakin besar. Sebulan di sini bukan berarti libur, tetapi menabung pekerjaan selama sebulan tertunda. Walaupun ada satu anggota yang sedang berjuang sendiri, namun perjuangannya semacam tidak dihargai. Yaaa.... mau gimana lagi, nasi sudah jadi bubur, tapi selama bubur itu belum basi, tetap masih bisa mengganjal perut yang kosong. Hidup harus terus berjalan, penuh warna dan proses.
Alasan kenapa bisa jadi begini sebenarnya ada. Yang terpikirkan adalah bagaimana caranya bisa meyakinkan agar alasan itu bisa diterima. Di sini pikiran masih berkecamuk, tidak ada yang bisa dipaksakan. Kalau orang bilang tidak bisa dan melihat hal itu logis tidak bisa, harus bilang tidak bisa. Dengan pengalaman terdampar di jalan selama 2 hari waktu perjalanan ke tempat ini, tak ada yang bisa dipaksakan, karena akan merugikan para pengangkut pada khususnya dan teman-teman di sini pada umumnya. Intinya, bala bantuan tidak ada, dan yang ada hanyalah keprihatinan dan kesenangan berbingung ria mencari solusi dengan mengalihkan perhatian pada pemenuhan permintaan kepada yang mudah dijangkau padahal orang-orang yang berada di sini sekarat antara hidup dan mati menanti kebosanan. Tidak ada tindakan bijak yang terasa. Yang terbayang hanyalah kepanikan dari yang mengontrol semua pekerjaan.
Harus bagaimana dengan ini semua. Cuma bisa berharap semoga bisa secepatnya keluar dari tempat ini. Sambil berharap, hari-hari terus dibawa santai seolah-olah harapan itu tidak ada. Bukannya melupakan masalah, tapi saat ini bukan saatnya menyelesaikan masalah, tapi saat penantian.
Seperti itu ceritaku selama berada di penantian ini. Sampai sekarang masih menanti, dan aku tak mau penantian ini hingga ujung waktu. Aku mencoba membahasakannya secara sembunyi-sembunyi selama 2 hari.
In My Palbed, Kamis 10 April 2008
2 comments
Palbed itu apa???
ini sedang dimana ya?? in the middle of nowhere kah?
lagi. aku bingung.
dan akhirnya aku menemukan cara untuk membalas suatu perkataan, "nasi sudha menjadi bubur". Hasseeekkk :D
palbed itu semacam ranjang rakitan yang terbuat dari karung dan kayu, di mana dua kayu dijadikan sebagai penyangganya dan karungnya sebagai kasurnya... :)
Ini masih satu cerita dengan cerita "Terdampar Di Sudut Malam", tapi setelah terdampar hingga akhirnya benar2 terdampar di sana, dan lokasinya di pedalaman Kalimantan Tengah, namanya desa Buhut, tapi jauh dari desanya.. :)
Entah itu kata dari mana asalnya, tapi saya juga suka, bahwa menyesali sesuatu dengan mengatakan "nasi sudah jadi bubur, adalah hal yang salah, dan alangkah lebih baik ditambahkan, "Selama bubur itu belum basi, bubur itu tentunya masih bisa dimakan", yang menyiratkan bahwa selama kita masih bisa melakukan sesuatu, alangkah baiknya kita melakukannya, karena kita punya kreatifitas tersendiri masing-masing dalam melakukan sesuatu... :)
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs