Cerita Sebelumnya:
"Keep Walking"
Minggu, 17 Agustus 2014
"Keep Walking"
Minggu, 17 Agustus 2014
Istirahat saya tidak begitu nyenyak karena kedinginan. Sleeping bag, jaket, sarung tangan, kaos kaki dan kupluk yang saya kenakan tidak bisa membuat saya tidur nyenyak. Entah berapa kali saya tersadar hanya untuk memperbaiki posisi tidur, mencari cara agar bisa bersahabat dengan dinginnya malam. Namun semua itu rasanya hanya sekejap saja ketika Dika membangunkan kami sekitar jam 3 pagi. Saya pun masih bergeliat di dalam sleeping bag saat itu. Suara Dika menjadi semacam mimpi buruk bagi saya dan bertanya-tanya akan seperti apa langkah saya nantinya saat jalan ke puncak. Dalam keadaan memaksakan diri, saya pun berusaha bangun dan memeriksa kembali kelengkapan yang sudah saya persiapkan sebelumnya.
Di luar tenda, suasana sudah sangat ramai dengan pendaki yang sudah memulai perjalanannya menuju puncak. Ketika keluar dari tenda, saya menyaksikan cahaya senter para pendaki menghiasi pemandangan jalur ke puncak. Langit pun tidak mau kalah terang dengan taburan bintang-bintangnya. Hembusan angin pun tidak begitu kencang. Cuaca di dinihari ini begitu bersahabat. Cuma dinginnya yang tidak bersahabat jika kita berdiam diri. Begitu pula dengan tingkat oksigen yang saya rasakan. Belum juga saya melangkah, bernafas saja sudah terasa sesak di ketinggian 3.351 meter ini.
Sebelum berangkat, kami berdoa bersama terlebih dahulu. Semoga kita bisa menggapai puncak dengan aman, tak peduli mau sebelum atau sesudah matahari terbit, yang penting kita bisa menjejakkan kaki di sana dan menikmati sajian yang ditawarkan oleh Puncak Inderapura. Sekitar jam 4, kami berdua belas ditemani Bang Andy melanjutkan perjalanan menuju puncak, sedangkan Bang Pander bertugas menjaga tenda dan barang-barang selama kami ke puncak. Kata Bang Andy, sering terjadi pencurian kalau ada acara pendakian massal seperti ini. Yang saya tahu selama ini kalau di gunung, solidaritas sesama pendaki itu begitu tinggi, termasuk dalam menghargai barang-barang pendaki lainnnya. Ternyata hal ini tidak berlaku saat ini. Kecurigaan harus tetap ada dan kalau bisa dihindari lebih baik dihindari yang namanya kecurian itu.
Perlahan kami melangkah. Pada langkah-langkah pertama, kami masih seiring dalam melangkah. Hingga lama-kelamaan satu per satu dari kami mulai berjauhan. Para pendaki lainnya silih berganti saling salip-menyalip. Saya pun demikian, melangkah berbaur dengan pendaki lainnya dan terkadang sendiri dengan jarak yang lumayan jauh dengan pendaki di depan dan di belakang saya. Sedangkan teman-teman lainnya entah di mana mereka. Saya tidak tahu pasti siapa saja yang berada di depan atau di belakang saya. Yang saya pikirkan saat itu bagaimana caranya supaya saya tidak berhenti melangkah. Mengingat nafas saya yang sudah tidak bisa diajak bekerja sama lagi, akhirnya kembali saya membuat aturan sendiri dalam melangkah. Sepuluh langkah dengan satu kali istirahat kecil sekitar 10 sampai 15 detik hanya untuk mengambil nafas, sedangkan istirahat lamanya masih dalam aturan setengah jam jalan dengan 10 menit beristirahat. Dengan ritme seperti ini, saya berharap bisa mendekati puncak dan berada di sana walau secara perlahan.
Medan menuju puncak ini terdiri dari pasir dan kerikil. Jalur yang berkerikil lebih dominan dibandingkan dengan yang berpasir. Tak ada pepohonan lagi di sekelilingnya, gersang. Kita sendiri harus ekstra hati-hati dalam melangkah, memastikan pijakan yang dipijak tidak membuat kita terjatuh, terjerumus ke dalam jurang, atau menyebabkan runtuhnya pijakan yang kebanyakan berupa bebatuan yang bisa membahayakan pendaki lain di belakang kita. Dengan posisi terbuka seperti ini, ditambah dengan ramainya pendaki yang ke puncak, menjadikan jalur ini seperti arena balapan di malam hari.
Di saat saya sedang beristirahat mengambil nafas, Wafiq yang awalnya berada di belakang saya, datang menghampiri saya dan menanyakan keadaan Fannah. Setahu saya Fannah sudah berada di depan bersama yang lainnya. Namun, tak berapa lama ketika saya dan Wafiq mulai melangkah dan bertemu dengan Rifki, Agus Lion, dan Dika, mereka bilang kalau Fannah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak dan turun ke Shelter 3 bersama Bang Andy. Pertanyaan saya ketika mendengar kabar ini, mereka lewat mana turunnya, kenapa kami tidak berpapasan dengan mereka. Mungkin dengan bertemu dengan salah satu dari kita, Fannah mau mengurungkan niatnya untuk kembali ke Shelter 3. Namun, ya sudahlah mungkin ini sudah keputusan Fannah sendiri, mengingat juga kondisinya semalam yang terlalu dipaksakan hingga tiba di Shelter 3.
Perjalanan harus tetap dilanjutkan. Masih ada Danau Gunung Tujuh buat Fannah untuk benar-benar dinikmati di hari berikutnya. Saya pun kembali melangkah dengan langkah yang terseok-seok. Hingga akhirnya saya melangkah sendiri meninggalkan Wafiq, Agus lion, Rifky dan Dika sampai tiba di Tugu Yudha sekitar jam setengah enam.
Tugu Yudha merupakan tempat datar yang luas yang penuh dengan kerikil dan bebatuan. Ke puncak tinggal setengah jam lagi. Tempat ini sudah ramai dengan pendaki ketika saya tiba dengan rekahan semburat sinar sang fajar yang mulai menampakkan terangnya perlahan-lahan di ufuk timur di sebelah kanan saya. Di tempat ini nantinya akan dipakai oleh para pendaki untuk memperingati kemerdekaan RI ke 69. Di sini saya sempat beristirahat sejenak, berusaha mengembalikan ritme nafas yang tersengal-sengal.
Belum berapa lama meninggalkan Tugu Yudha, saya bertemu dengan Uul dan Aulia yang sedang beristirahat sambil mengabadikan suasana menjelang matahari terbit dengan kameranya. Akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat juga di sini. Tempatnya miring dan tidak terlalu bagus untuk beristirahat karena tidak membuat kita bebas bergerak. Danau Gunung Tujuh terlihat jelas dari sini dengan gunung-gunung yang mengelilinginya. Sinar mentari pun mulai menerangi bumi secara perlahan-lahan. Suasana ini yang sering dinanti-nanti oleh tiap pendaki di gunung manapun. Tak peduli di puncak atau masih dalam perjalanan menuju puncak, ketika rekahan sinar mentari pagi mulai muncul, kita lebih baik berhenti menikmati ketenangan ini. Ketenangan peralihan gelap ke terang. Ditambah lagi dengan cerahnya cuaca di masa peralihan ini, menyempurnakan ketenangan yang kita rasakan. Rasa syukur pun terucap atas semua maha karya dari Sang Pencipta ini. Keindahan yang tidak semua orang bisa merasakannya dan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang rela bersusah payah berjalan hingga tiba pada titik ini. Bagaimana dengan Fannah di Shelter 3 sana? Semoga saja ia bisa menikmati peralihan yang disajikan oleh Shelter 3 di bawah sana. Saya yakin kalau pemandangan pagi hari Di Shelter 3 tak kalah indah dengan tempat kami bertiga berada.
Dari tempat kami bertiga beristirahat, tiba-tiba terdengar teriakan dari Tugu Yudha menyuruh para pendaki yang berada di atas untuk turun ke Tugu Yudha. Ini sebuah isyarat kalau mereka ingin melaksanakan upacara peringatan kemerdekaan RI yang ke 69. (Enak aja nyuruh turun, naiknya susah woyyy). Para pendaki yang baru tiba di Tugu Yudha, akhirnya berhenti dan turut meramaikan upacara ala kadarnya ini. Sebuah bendera merah putih berukuran jumbo, yang sisi-sisinya dipegang oleh tiap pendaki berusaha dibentangkan. Suasana di bawah sana seperti tidak beraturan. Lagu Indonesia Raya pun dinyanyikan serentak oleh para pendaki. Kami bertiga berusaha mengikuti mereka bernyanyi sekeras mungkin. Letih dan lelah yang mendera, terlupakan sejenak akibat seremoni ini. Saya merinding mendengar lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan secara 'brutal' seperti ini. Setelah lagu Indonesia Raya itu selesai, tiba-tiba terdengar pekikan "merdeka!!!". Kami bertiga pun berteriak sekeras-kerasnya dan berulang-ulang kali mengikuti pekikan itu. Ini malah membuat saya makin merinding melihatnya. Setelah itu, akhirnya saya tersadar kalau teriak seperti ini juga membuat saya kehabisan nafas juga. Istirahat yang seharusnya dipakai untuk mengatur nafas malah kembali harus diatur kembali setelah acara teriak-teriak itu.
Di sela-sela kami beristirahat menikmati peralihan gelap ke terang ini, akhirnya Wafiq, Rifki, Agus Lion dan Dika tiba di tempat kami bertiga. Sedangkan Yopie masih jauh di belakang sana dan sisanya; Novan, Ryan dan Agus Novan sepertinya sudah berada di puncak lebih dulu. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja Bang Andy muncul dan menyarankan kita agar melanjutkan perjalanan menuju puncak. Karena melihat banyaknya jumlah pendaki yang ada di belakang, kondisi puncak yang tidak terlalu luas akan penuh sesak dengan pendaki. Ditambah lagi, apabila hari makin tinggi, maka kawah Kerinci akan mengeluarkan asap belerang yang tidak baik apabila kita hirup. Untuk menghindari ini semua, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Di sini kami mulai berpapasan dengan pendaki yang mulai turun sesudah menikmati suasana puncak. Kami pun akhirnya bertemu dengan Ryan, Agus Novan dan Novan yang memutuskan turun dari puncak karena kedinginan menunggu kami di sana. Karena bujukan akan ada acara foto satu tim di puncak, akhirnya ketiganya pun memutuskan untuk naik kembali ke puncak, tapi mereka akan beristirahat sebentar di tempat kami bertemu, sambil menunggu Yopie yang ketinggalan jauh di belakang sana.
Sekitar jam 7 pagi, saya pun tiba di puncak bersama Uul dan Aulia. Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di tanah tertinggi Pulau Sumatra, di Puncak Inderapura Gunung Kerinci 3805mdpl. Tak ada lagi penghalang untuk bisa memandangi cakrawala 360 derajat, kecuali asap belerang dari kawah kerinci yang sesekali keluar menyembur lurus ke atas menghalangi pandangan terhadap cakrawala pada satu titik. Tak terhitung berapa kali saya memutar badan menyaksikan semua ini. Hamparan bukit-bukit, awan yang berarak, Danau Gunung Tujuh, Shelter 3, jalur menuju puncak beserta pendaki yang terlihat seperti sebuah titik-titik tak beraturan. Semuanya terlihat dan berada di bawah tempat saya berpijak.
Puncak Inderapura hanya berupa sebidang tanah datar yang terlihat memanjang dengan lebar yang tak ubahnya seperti jalan setapak. Kata Bang Pander sebelumnya, angin di puncak lumayan kencang, sehingga berdiri pun harus punya teknik tersendiri agar kita tidak terbawa angin. Namun, saat saya berada di puncak, angin sepertinya sedang bersahabat dengan para pendaki yang berada di sini. 100% cuaca sangat cerah, sempurna. Bagian yang paling tidak nyaman ketika berada di sini dengan keadaan yang ramai dengan pendaki adalah kesan sunyinya pegunungan tidak terlalu bisa dirasakan, seperti yang selalu diperlihatkannya ketika menatapnya dari jauh di bawah sana. Pengecualian apabila kita bisa membawa diri ini berada dalam kondisi terasing di tengah keramaian. Bagian paling tidak nyaman yang kedua adalah ketika kita ingin mengambil gambar, selalu saja ada yang lalu-lalang ataupun berhenti mendadak di depan kamera, sehingga kita juga harus pandai-pandai mencari spot agar tidak mengalami gangguan semacam ini. Namun sayangnya, ruang gerak yang sempit di puncak ini tidak memberi saya banyak pilihan.
Ketika sedang menyantap biskuit sebagai sarapan bersama Uul dan para pendaki lainnya yang saya bawa dari Shelter 3, ada satu tim pendaki yang mencoba membentangkan bendera merah putih ukuran jumbo di puncak ini. Sepertinya bendera ini yang dibentangkan di Tugu Yudha sebelumnya. Karena puncak bukan tempat yang memungkinkan bendera ini dibentangkan secara sempurna, maka dengan mengambil tempat di sebuah kemiringan di sisi barat dari puncak, para anggota tim pendaki ini mencoba membentangkannya. Beberapa kali terlihat pendaki yang terpeleset ataupun terperosot ke bawah sambil memegang ujung bendera ini. Memang sangat beresiko dan berbahaya melihat aksi-aksi mereka. Beberapa kali teriakan untuk berhati-hati juga terdengar dari para pendaki yang menyaksikannya. Setelah terbentang sempurna, kini giliran yang pegang kamera yang mengambil resiko untuk mengabadikan momen ini. Dan inilah perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia dari para pendaki yang berada di sini, mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi di Pulau Sumatra, Atap Sumatra.
Sekitar setengah jam kemudian, akhirnya kami semua bisa berada di puncak, kecuali Fannah dan Bang Pander. Kami pun berfoto-foto ria di sana. Jepret sana jepret sini. Pendaki yang lalu lalang dan tiba-tiba berhenti di depan kamera semakin sering saja terlihat. Sepertinya bukan cuma saya yang mengeluhkan hal seperti ini, tapi yang memegang kemera sepertinya kebanyakan mengeluhkan hal yang sama. Ini terlihat dari sikap mereka yang terkadang dengan sikap yang sopan menyuruh si 'pengganggu' ini enyah dari depan kamera. Setelah semua 'ritual' ini kami lakukan, dan atas desakan dari Bang Andy yang terus memperhatikan dan mengkhawatirkan asap belerang yang keluar dari kawah Kerinci akan semakin banyak, akhirnya sekitar jam 8 kami meninggalkan Puncak Inderapura untuk kembali ke Shelter 3.
Perlahan kami mulai turun melewati jalur yang sama ketika kami naik, berhati-hati mencari pijakan agar tidak terpeleset. Kalau tidak yakin dengan pijakan yang akan kita injak, terpaksa kita harus jongkok sambil mengulurkan kaki perlahan ataupun memerosotkan diri di atas tanah. Bahkan ada juga yang melompat-lompat ketika turun ibarat seorang jagoan superhero (Gak sayang ama dengkulnya mas??). Mereka yang melakukan hal seperti ini bukan bagian dari tim saya. Berhati-hati turun seperti ini merupakan bagian dari pencegahan agar dengkul tidak cepat kesakitan karena perjalanan masih panjang. Inilah salah satu penyakit yang sering saya keluhkan ketika turun. Sakit pada dengkul, ditambah lagi dengan tumpuan pada jari-jari kaki atau tumit kaki. Semuanya pasti luka atau kapalan ketika melakoni fase turun dari sebuah pendakian. Namun dengan mempertahankan ritme gerak ketika turun, kesakitan yang kita alami pada dengkul maupun kaki bisa dihindari lebih lama. Ritme ini terkadang tidak bisa dipertahankan ketika dihadapkan pada waktu yang sempit akibat tidak mau kemalaman sampai di gerbang pos pendakian nantinya.
Masih banyak pendaki yang berusaha menuju puncak saat kami turun. Sesekali terlihat juga petugas pos pendakian kerinci yang bertugas memantau para pendaki dalam mendaki. Saya tidak bisa membedakannya dengan pendaki lain. Hal ini terjadi ketika saya menyapa mereka yang sedang memperhatikan para pendaki saat sedang beristirahat. Ketika mereka memperkenalkan diri, akhirnya saya baru tahu kalau ada pengawas pendakian di sini. Sinyal telepon yang cukup lancar di sini, memudahkan komunikasi mereka dengan pos pendakian di Tugu Macan..
Saya tiba di Shelter 3 sekitar jam 10 pagi. Di sana sudah ada bang Andy yang sedang memasak dengan Fannah dan Bang Pander. Saya baru mulai menyadari kalau posisi tenda kami berada di tengah jalan, tepatnya di atas sebuah punggungan dimana di sebelah kanan dan kirinya jurang. Tidak terbayang akan bagaimana jadinya tempat ini apabila terjadi cuaca buruk.
Karena makan siang sebagian sudah matang, saya memutuskan untuk makan lebih awal mendahului kawan-kawan yang lainnya, agar bisa packing lebih awal setelahnya untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju gerbang Pos Pendakian. Satu per satu dari kami akhirnya juga turut menyantap makan siang mereka. Setelah itu, tanpa menunggu waktu lama lagi, akhirnya kami semua mulai berkemas. Satu per satu barang-barang masuk ke dalam kerir masing-masing. Hingga di akhir packing, ternyata masih ada satu matras yang tersisa di lokasi tenda kami. Matras misterius siapa ini? Akhirnya Bang Pander pun membawa matras ini turun ke basecamp. Kelak sampai kami tiba di rumah Bang Andy, kepemilikan matras ini tidak kami ketahui sama sekali.
Sekitar kurang 15 menit jam 12 siang, kami pun meninggalkan Shelter 3 menuju Shelter 2. Menuruni Jalur ini harus kita lewati dengan susah payah sama seperti ketika kita mendakinya. Tetapi banyak juga pendaki yang juga turun melewatinya seperti olahraga Parkour di film Yamakashi, melompat dari satu sudut ke sudut lainnya. Saya cuma geleng-geleng kepala melihat mereka. Sepertinya tumpuan kaki mereka kuat sekali. Sedangkan saya, jangankan bergerak lincah seperti itu, bergerak pelan-pelan saja justru masih sering terpeleset.
Satu jam kemudian, saya tiba di Shelter 2. Keramaian di Shelter 2 masih sama seperti kemarin. Di sini saya bertemu dengan Aulia yang sedang berisitirahat. Saya dan Aulia berada di Shelter 2 sekitar 20 menit sambil menunggu Aulia mengambil air. Mengingat hari yang sudah beranjak siang dan tujuan yang masih jauh, saya pun mencoba mempercepat langkah menuju shelter 1. Di tengah perjalanan, saya dan Aulia bertemu dengan Dika, Fannah dan Bang Andy. Di belakang seperti biasa masih ada Yopie sendiri yang entah seberapa jauh dari kami. Akhirnya bang Andy memutuskan untuk menunggu Yopie. Sedangkan kami berempat melanjutkan perjalanan menuju Shelter 1 dengan jalan yang santai sambil menahan perih di lutut, paha dan kaki.
Kami berempat tiba di Shelter 1 jam 15:15 dan bertemu Wafiq sendirian, sedangkan sisanya sudah melaju menuju Pos 3. Lima belas menit kemudian, Bang Andy dan Yopie akhirnya tiba di Shelter 1. Yopie hanya sekedar berbasa basi numpang lewat di tempat kami beristirahat. Selanjutnya ia langsung jalan menuju Pos 3. Akhirnya kami berlima pun melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 menyusul Yopie yang sudah berangkat duluan. Sedangkan Bang Andy memutuskan istirahat sebentar di Shelter 1 yang kebetulan bertemu dengan temannya. Tak berapa lama kemudian, Yopie pun berhasil tersusul dan berjalan bersama kita.
Dalam perjalanan menuju Pos 3, gerimis mulai turun. Satu per satu dari kami mulai memakai raincoat. Sedangkan saya masih enggan memakainya. Fannah yang melihat saya tidak mau memakai raincoat, akhirnya meminjam raincoat saya, mengingat raincoatnya yang terbawa di kerir Bang Pander. Ketika kami mulai berjalan lagi, hujan semakin deras dan jalur yang kami lalui mulai berubah menjadi lumpur. Akibatnya, saya pun mulai basah kuyup di perjalanan menuju Pos 3. Untungnya Wafiq memungut sebuah jas hujan plastik yang dibuang oleh seorang pendaki di tengah jalan dan memberikannya pada saya untuk saya kenakan. Walaupun entah bekas punya siapa dan kondisinya yang sudah setengah rusak, saya akhirnya memutuskan untuk memakainya demi terhindar dari basah kuyup sepanjang jalan ke gerbang pos pendakian.
Jalur yang sudah berubah menjadi lumpur ini awalnya masih bisa saya hindari. Hingga pada satu waktu kedua sepatu saya tercelup ke dalam lumpur, dan akhirnya jalur ini pun saya anggap seperti jalur biasa. Langkah yang ceplak ceplok terdengar menerobos jalur ini tanpa peduli. Kita juga harus berhati-hati dalam melangkah akibat licinnya jalan yang sesekali kami temui.
Jam lima kurang lima belas, kami tiba di Pos 3. Para pendaki yang beristirahat di sini nampak berteduh di bawah shelter menunggu hujan reda. Melihat waktu sudah sore, tanpa istirahat di Pos 3 kami langsung menuju Pos 2. Di sini kami optimis bisa tiba di Pintu Rimba sebelum gelap, mengikuti aturan mendaki yang melarang kita berjalan ketika gelap di jalur Pos 3 sampai Pintu Rimba. Hal ini disebabkan di sekitar daerah ini, masih terdapat satwa-satwa liar yang umumnya bergerak aktif saat gelap di tambah sedikit mitos-mitos cerita misteri tentang Kerinci. Hujan turun semakin deras sejak kami meninggalkan Pos 3. Pendaki lainnya yang turun pun bergerak kesetanan mengejar Pintu Rimba sebelum gelap.
Kami berusaha mempercepat langkah menuju Pos 2. Rasa sakit pada dengkul, paha dan kaki sudah sangat terasa sekali. Ditambah stamina yang juga sudah mulai habis. Dan sebagai pelengkap penderitaan, yakni hujan yang tak kunjung reda, terus mewarnai langkah kami menuju Pos 2.
Kami menempuh jarak Pos 3 ke Pos 2 selama setengah jam. Di Pos 2 pun kami tidak sempat berhenti istirahat dan langsung tancap gas menuju Pos 1. Kondisi jalur masih sama, berlumpur, berair dan licin disertai hujan yang masih belum reda juga. Akhirnya, sekitar jam 18:00, kami tiba di Pos 1. Kami sempat beristirahat di Pos 1 selama 15 menit, mengingat jalur ke Pintu Rimba saya perkirakan akan kami tempuh selama 10 sampai 15 menit dengan pertimbangan waktu kami naik kemarin, kami cuma butuh waktu 15 menit untuk tiba di Pos 1. Dengan estimasi seperti ini, kita akan tiba di pintu rimba saat maghrib tiba. Namun lain halnya dengan pendapat seorang pendaki yang kebetulan sedang beristirahat juga di shelter pos 1 ini. Ia kebetulan mendengar obrolan kami dan ia berpendapat kalau waktu yang dibutuhkan menuju pintu Rimba adalah sekitar setengah jam. Entah mana yang benar karena setahu saya waktu turun itu selalu lebih cepat dari waktu naik dalam pendakian, kecuali ada insiden kesasar atau 'tersasar'.
Kami meninggalkan Pos 1 sekitar jam 18:15. Di bagian depan, Yopie dan Dika sudah langsung kabur meninggalkan kami berempat; saya, wafiq, Fannah dan Aulia. Kami berempat berjalan dengan santai dan yakin kalau estimasi waktu untuk tiba di pintu rimba dalam 15 menit akan berhasil. Jalur yang kami lalui sudah agak landai. Sudah bisa dipakai melangkah cepat seperti yang dilakukan Yopie dan Dika. Namun kondisi jalan masih sama seperti sebelumnya, masih kebanyakan berlumpur. Hujan perlahan sudah mulai reda. Penderitaan berupa hujan berganti dengan gelap yang perlahan mulai menyelimuti. Semakin lama kami melangkah, penglihatan semakin buram. Sayangnya senter saya berada di bagian kerir paling bawah. Dengan kondisi yang basah kuyup, saya malas mengambilnya dengan harapan sebentar lagi kami tiba di Pintu Rimba. Lima belas menit berlalu, dan kami masih belum tiba juga di Pintu Rimba. Saya pun mencoba mempercepat langkah meninggalkan Aulia, Wafiq dan Fannah. Namun, ketika jarak pandang saya sudah semakin pendek akibat gelap, akhirnya saya berhenti juga menunggu mereka.
Dua pulu menit sudah berlalu semenjak kami meninggalkan pos 1. Di belakang sana, cuma Wafiq dan Fannah yang mengeluarkan senter. Sedangkan Aulia, kondisi senternya sama denganku. Saya sudah mulai berpikir macam-macam ketika melihat banyaknya pohon tumbang yang melintang di jalur yang kami lewati. Seingatku, waktu naik kemarin, pohon tumbang yang kami lewati tidak sebanyak ini. Ditambah lagi dengan suara binatang malam yang bersuara saling bersahut-sahutan menyambut gelap, semakin menambah suramnya jalur ini. Kami terus berjalan dan tak satupun dari kami yang membahas tentang hal ini. Dari belakang sana, tiba-tiba ada seseorang yang hanya mengenakan ransel kecil dengan langkah cepat seperti berlari melewati kami tanpa sepatah kata pun. Tanpa penerangan, ia terus melangkah tanpa henti secepat mungkin. Beberapa kali pula saya melihat tidak jauh di depan saya seperti ada tempat yang terang, yang sering saya anggap sebagai Pintu Rimba. Karena dari Pintu Rimba ke Pos Pendakian akan berupa sawah dan ladang di kiri kanannya. Sepertinya saya sedang berhalusinasi di sini, karena ketika sampai pada titik itu, tempat terang itu berganti dengan gelap. Tempat itu semakin sering terlihat, dan hasilnya tetap sama ketika saya menghampirinya. Akhirnya saya pun tidak mempedulikannya, dan ingin terus berjalan dan berjalan menuju Pintu Rimba.
Sekitar jam 18:45 akhirnya kami tiba juga di Pintu Rimba. Betapa leganya kami bisa mencapai titik ini. Dari kejauhan sudah terdengar suara-suara saling bercengkrama. Juga terlihat lampu-lampu yang menandakan sebuah peradaban. Saya mulai yakin, kalau kami berada di jalan pulang yang benar. Ke Pos Pendakian yang cuma 10 menit dari Pintu Rimba, pikiranku hanya diisi oleh pertanyaan kenapa bisa butuh waktu setengah jam dari Pos 1, padahal naiknya cuma 15 menit. Selain itu, saya juga membayangkan pisang goreng dan teh hangat sebagai makanan dan minuman paling enak yang mau saya santap saat ini. Saya kelaparan juga kehausan.
Di gerbang pendakian, kami dihimbau oleh petugas pendakian untuk melapor ke Pos Pendakian dulu sebelum meninggalkan Kerinci. Namun, ketika bertemu dengan Bang Andy, Yopie dan Dika, akhirnya kami berempat langsung digiring ke mobil pick up yang sudah menunggu kami dari tadi. Bang Andy bercerita kalau ada pendaki kehilangan kamera DSLR di Shelter 3 yang menyebabkan diadakannya pemeriksaan di pos pendakian bagi mereka yang baru turun mendaki.
Dengan kondisi yang tidak karuan, seperti baru habis dicelupin di comberan, dengan badan yang terasa kaku untuk digerakkan, akhirnya kami pun meninggalkan pos pendakian, kembali ke Basecamp di rumah Bang Andy. Dinginnya malam di tengah laju mobil yang kencang semakin menambah penderitaan kami. Tak ada yang bisa saya lakukan selain menerima semua ini dan berusaha bertahan seadanya dari sergapan dingin dan berharap semoga saja nantinya tidak masuk angin setiba di rumah Bang Andy.
Kami sempat berhenti di sebuah masjid (saya lupa nama masjidnya). Di sana sudah menunggu kawan-kawan yang sudah tiba lebih awal. Mereka ternyata tidak langsung menuju ke rumah Bang Andy, entah dengan alasan kenapa. Mereka tiba sejam sebelumnya dari kami. Sempat kehujanan juga. Namun, mereka sudah bersih-bersih saat kami tiba di sana. Maka jadilah kami bereenam menjadi orang paling menjijikkan di antara mereka. Di depan masjid ini, ada sebuah Warung Padang. Penampakannya membuat kami yang baru turun gunung ngiler sengiler-ngilernya. Awalnya kami ingin makan di sana, namun dicegah oleh bang Andy yang katanya semuanya sudah disiapkan di rumahnya. Saya yang sudah malas bergerak akibat merasakan kakunya badan saya, akhirnya hanya bisa membayangkan teh hangat yang ada di sana. Untungnya Dika turun ke sana membeli es teh. Kedinginan minum es teh sepertinya bukan paduan yang tepat bagi saya. Namun ada juga teh hangat yang dibawa Dika dalam kemasan plastik. Saya pun meneguknya dalam sekejap. Rasanya, inilah hal paling nikmat yang bisa saya cicipi dalam perjalanan turun dari puncak Kerinci.
Di tempat ini sempat terjadi insiden kecil, di mana Agus Lion merasa kehilangan hp-nya yang seingatnya tertinggal di sebuah warung bakso saat mereka tiba di sini. Ketika menyadarinya, ia langsung berlari ke warung bakso itu. Lama dia tak kembali, akhirnya Agus Novan mau menghubunginya. Dan sayangnya tak ada yang tahu nomornya sama sekali, karena ia sendiri baru ganti nomor. Maka jadilah kami menunggunya hingga saat dia kembali membawa kabar buruk kalau hp nya hilang. Dan saat nomornya dihubungi oleh Agus Novan, suara dering hp-nya ternyata ada di dalam mobil pick-up itu. Karena gelap, tak ada yang melihatnya sama sekali. Rupanya hp itu terjatuh saat dia sedang naik ke mobil dan menyadari hilang saat sudah duduk manis di atas mobil.
Mobil pun kembali melaju menuju rumah Bang Andy dengan kecepatan tinggi. Sepertinya sang supir tidak peduli kalau di bak terbuka bagian belakang mobil yang sedang dikendarainya, terdapat manusia-manusia dekil yang basah kuyup, yang justru diterpa angin malam malah membuat mereka semakin kedinginan tidak karuan. Tega nian kau Pak Supir.
Sekitar jam 8 malam, akhirnya kami pun tiba di basecamp di rumah Bang Andy. Setelah barang-barang diturunkan, kawan-kawan yang masih dekil langsung berebutan kamar mandi. Saya dan beberapa kawan lainnya memilih nongkrong di teras rumah, mencoba menenangkan diri dari sakitnya seluruh badan, yang terasa sulit digerakkan walaupun cuma sedikit. Bahkan melepas sepatu yang penuh dengan lumpur adalah hal paling sulit untuk saya lakukan. Makanan dan minuman sudah mulai dihidangkan di dalam rumah bang Andy, tidak jauh dari tempat saya duduk. Namun, saya memilih memperhatikan saja mereka yang menyantapnya, mengingat kondisi saya yang masih kotor.
Saat bersih-bersih tiba, dinginnya air di bak kamar mandi menjadi satu tantangan tersendiri yang harus saya lewati. Bayangkan saja, turun gunung dengan kondisi basah kuyup, badan remuk, pegal-pegal dan perih kalau digerakkan, dan kemudian harus masuk ke dalam ‘kulkas’ untuk disterilkan (Disterilkan??). Dengan keadaan terpaksa, saya pun mandi dengan badan yang bergetar hebat karena menggigil menahan dingin. Kalau bukan karena malam yang sudah larut, saya mungkin akan berteriak melampiaskan semua sentuhan air pada tubuh saya. Guyuran air pun saya lakukan sebrutal mungkin. Secepat mungkin saya ingin mengakhiri sesi ini, karena tidak lucu juga ada orang yang sekarat kedinginan karena sedang mandi di dalam kamar mandi.
Setelah sesi mandi dan ganti pakaian yang penuh perjuangan selesai, saya kembali ke tempat kami berkumpul. Orang-orang yang berada di sana sudah tertidur bergelepakan semua. Obsesi saya terhadap teh hangat masih membara melihat kompor dan panci berisi air tergeletak di dekat menu makan malam yang masih tersisa. Akhirnya, saya pun makan malam sambil memasak air. Di saat sedang makan, muncul Wafiq dari depan yang baru selesai bicara dengan Ibu Bang Andy. Katanya, Bang Pander sudah pamit pulang ke rumahnya, dan mungkin tidak akan bertemu kami lagi karena beberapa urusan. Beberapa saat kemudian, Yopie muncul dari belakang yang baru selesai mandi. Dia juga belum makan malam. Akhirnya kami bertiga bercengkrama tentang apa yang kami lalui dari awal mendaki hingga bisa kembali lagi di tempat ini dengan membanding-bandingkan dengan gunung-gunung yang pernah kami daki sebelumnya sambil menikmati makanan dan minuman yang ada. Tentang tanjakan-tanjakan yang tidak manusiawi. Tentang Yopie yang tersengal-sengal saat mendaki, namun jadi yang tercepat dari pos 1 ke pintu rimba di antara rombongan yang paling terakhir tiba. Tentang hujan dan jalur yang berlumpur. Tentang jas hujan bekas yang dipungut Wafiq kemudian diberikan ke saya untuk saya pakai. Tentang keanehan lamanya waktu tempuh saat turun dari Pos 1 ke Pintu Rimba, dan masih banyak lainnya. Rasanya malam itu masih belum cukup untuk bercerita dan membahas semua yang baru kami lalui dua hari ini. Namun sayangnya kami harus segera beristirahat guna mempersiapkan fisik dan stamina buat besok ke Danau Gunung Tujuh.
Di luar tenda, suasana sudah sangat ramai dengan pendaki yang sudah memulai perjalanannya menuju puncak. Ketika keluar dari tenda, saya menyaksikan cahaya senter para pendaki menghiasi pemandangan jalur ke puncak. Langit pun tidak mau kalah terang dengan taburan bintang-bintangnya. Hembusan angin pun tidak begitu kencang. Cuaca di dinihari ini begitu bersahabat. Cuma dinginnya yang tidak bersahabat jika kita berdiam diri. Begitu pula dengan tingkat oksigen yang saya rasakan. Belum juga saya melangkah, bernafas saja sudah terasa sesak di ketinggian 3.351 meter ini.
Sebelum berangkat, kami berdoa bersama terlebih dahulu. Semoga kita bisa menggapai puncak dengan aman, tak peduli mau sebelum atau sesudah matahari terbit, yang penting kita bisa menjejakkan kaki di sana dan menikmati sajian yang ditawarkan oleh Puncak Inderapura. Sekitar jam 4, kami berdua belas ditemani Bang Andy melanjutkan perjalanan menuju puncak, sedangkan Bang Pander bertugas menjaga tenda dan barang-barang selama kami ke puncak. Kata Bang Andy, sering terjadi pencurian kalau ada acara pendakian massal seperti ini. Yang saya tahu selama ini kalau di gunung, solidaritas sesama pendaki itu begitu tinggi, termasuk dalam menghargai barang-barang pendaki lainnnya. Ternyata hal ini tidak berlaku saat ini. Kecurigaan harus tetap ada dan kalau bisa dihindari lebih baik dihindari yang namanya kecurian itu.
Perlahan kami melangkah. Pada langkah-langkah pertama, kami masih seiring dalam melangkah. Hingga lama-kelamaan satu per satu dari kami mulai berjauhan. Para pendaki lainnya silih berganti saling salip-menyalip. Saya pun demikian, melangkah berbaur dengan pendaki lainnya dan terkadang sendiri dengan jarak yang lumayan jauh dengan pendaki di depan dan di belakang saya. Sedangkan teman-teman lainnya entah di mana mereka. Saya tidak tahu pasti siapa saja yang berada di depan atau di belakang saya. Yang saya pikirkan saat itu bagaimana caranya supaya saya tidak berhenti melangkah. Mengingat nafas saya yang sudah tidak bisa diajak bekerja sama lagi, akhirnya kembali saya membuat aturan sendiri dalam melangkah. Sepuluh langkah dengan satu kali istirahat kecil sekitar 10 sampai 15 detik hanya untuk mengambil nafas, sedangkan istirahat lamanya masih dalam aturan setengah jam jalan dengan 10 menit beristirahat. Dengan ritme seperti ini, saya berharap bisa mendekati puncak dan berada di sana walau secara perlahan.
Medan menuju puncak ini terdiri dari pasir dan kerikil. Jalur yang berkerikil lebih dominan dibandingkan dengan yang berpasir. Tak ada pepohonan lagi di sekelilingnya, gersang. Kita sendiri harus ekstra hati-hati dalam melangkah, memastikan pijakan yang dipijak tidak membuat kita terjatuh, terjerumus ke dalam jurang, atau menyebabkan runtuhnya pijakan yang kebanyakan berupa bebatuan yang bisa membahayakan pendaki lain di belakang kita. Dengan posisi terbuka seperti ini, ditambah dengan ramainya pendaki yang ke puncak, menjadikan jalur ini seperti arena balapan di malam hari.
Di saat saya sedang beristirahat mengambil nafas, Wafiq yang awalnya berada di belakang saya, datang menghampiri saya dan menanyakan keadaan Fannah. Setahu saya Fannah sudah berada di depan bersama yang lainnya. Namun, tak berapa lama ketika saya dan Wafiq mulai melangkah dan bertemu dengan Rifki, Agus Lion, dan Dika, mereka bilang kalau Fannah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak dan turun ke Shelter 3 bersama Bang Andy. Pertanyaan saya ketika mendengar kabar ini, mereka lewat mana turunnya, kenapa kami tidak berpapasan dengan mereka. Mungkin dengan bertemu dengan salah satu dari kita, Fannah mau mengurungkan niatnya untuk kembali ke Shelter 3. Namun, ya sudahlah mungkin ini sudah keputusan Fannah sendiri, mengingat juga kondisinya semalam yang terlalu dipaksakan hingga tiba di Shelter 3.
Perjalanan harus tetap dilanjutkan. Masih ada Danau Gunung Tujuh buat Fannah untuk benar-benar dinikmati di hari berikutnya. Saya pun kembali melangkah dengan langkah yang terseok-seok. Hingga akhirnya saya melangkah sendiri meninggalkan Wafiq, Agus lion, Rifky dan Dika sampai tiba di Tugu Yudha sekitar jam setengah enam.
Tugu Yudha merupakan tempat datar yang luas yang penuh dengan kerikil dan bebatuan. Ke puncak tinggal setengah jam lagi. Tempat ini sudah ramai dengan pendaki ketika saya tiba dengan rekahan semburat sinar sang fajar yang mulai menampakkan terangnya perlahan-lahan di ufuk timur di sebelah kanan saya. Di tempat ini nantinya akan dipakai oleh para pendaki untuk memperingati kemerdekaan RI ke 69. Di sini saya sempat beristirahat sejenak, berusaha mengembalikan ritme nafas yang tersengal-sengal.
Belum berapa lama meninggalkan Tugu Yudha, saya bertemu dengan Uul dan Aulia yang sedang beristirahat sambil mengabadikan suasana menjelang matahari terbit dengan kameranya. Akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat juga di sini. Tempatnya miring dan tidak terlalu bagus untuk beristirahat karena tidak membuat kita bebas bergerak. Danau Gunung Tujuh terlihat jelas dari sini dengan gunung-gunung yang mengelilinginya. Sinar mentari pun mulai menerangi bumi secara perlahan-lahan. Suasana ini yang sering dinanti-nanti oleh tiap pendaki di gunung manapun. Tak peduli di puncak atau masih dalam perjalanan menuju puncak, ketika rekahan sinar mentari pagi mulai muncul, kita lebih baik berhenti menikmati ketenangan ini. Ketenangan peralihan gelap ke terang. Ditambah lagi dengan cerahnya cuaca di masa peralihan ini, menyempurnakan ketenangan yang kita rasakan. Rasa syukur pun terucap atas semua maha karya dari Sang Pencipta ini. Keindahan yang tidak semua orang bisa merasakannya dan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang rela bersusah payah berjalan hingga tiba pada titik ini. Bagaimana dengan Fannah di Shelter 3 sana? Semoga saja ia bisa menikmati peralihan yang disajikan oleh Shelter 3 di bawah sana. Saya yakin kalau pemandangan pagi hari Di Shelter 3 tak kalah indah dengan tempat kami bertiga berada.
Dari tempat kami bertiga beristirahat, tiba-tiba terdengar teriakan dari Tugu Yudha menyuruh para pendaki yang berada di atas untuk turun ke Tugu Yudha. Ini sebuah isyarat kalau mereka ingin melaksanakan upacara peringatan kemerdekaan RI yang ke 69. (Enak aja nyuruh turun, naiknya susah woyyy). Para pendaki yang baru tiba di Tugu Yudha, akhirnya berhenti dan turut meramaikan upacara ala kadarnya ini. Sebuah bendera merah putih berukuran jumbo, yang sisi-sisinya dipegang oleh tiap pendaki berusaha dibentangkan. Suasana di bawah sana seperti tidak beraturan. Lagu Indonesia Raya pun dinyanyikan serentak oleh para pendaki. Kami bertiga berusaha mengikuti mereka bernyanyi sekeras mungkin. Letih dan lelah yang mendera, terlupakan sejenak akibat seremoni ini. Saya merinding mendengar lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan secara 'brutal' seperti ini. Setelah lagu Indonesia Raya itu selesai, tiba-tiba terdengar pekikan "merdeka!!!". Kami bertiga pun berteriak sekeras-kerasnya dan berulang-ulang kali mengikuti pekikan itu. Ini malah membuat saya makin merinding melihatnya. Setelah itu, akhirnya saya tersadar kalau teriak seperti ini juga membuat saya kehabisan nafas juga. Istirahat yang seharusnya dipakai untuk mengatur nafas malah kembali harus diatur kembali setelah acara teriak-teriak itu.
Di sela-sela kami beristirahat menikmati peralihan gelap ke terang ini, akhirnya Wafiq, Rifki, Agus Lion dan Dika tiba di tempat kami bertiga. Sedangkan Yopie masih jauh di belakang sana dan sisanya; Novan, Ryan dan Agus Novan sepertinya sudah berada di puncak lebih dulu. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja Bang Andy muncul dan menyarankan kita agar melanjutkan perjalanan menuju puncak. Karena melihat banyaknya jumlah pendaki yang ada di belakang, kondisi puncak yang tidak terlalu luas akan penuh sesak dengan pendaki. Ditambah lagi, apabila hari makin tinggi, maka kawah Kerinci akan mengeluarkan asap belerang yang tidak baik apabila kita hirup. Untuk menghindari ini semua, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Di sini kami mulai berpapasan dengan pendaki yang mulai turun sesudah menikmati suasana puncak. Kami pun akhirnya bertemu dengan Ryan, Agus Novan dan Novan yang memutuskan turun dari puncak karena kedinginan menunggu kami di sana. Karena bujukan akan ada acara foto satu tim di puncak, akhirnya ketiganya pun memutuskan untuk naik kembali ke puncak, tapi mereka akan beristirahat sebentar di tempat kami bertemu, sambil menunggu Yopie yang ketinggalan jauh di belakang sana.
Sekitar jam 7 pagi, saya pun tiba di puncak bersama Uul dan Aulia. Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di tanah tertinggi Pulau Sumatra, di Puncak Inderapura Gunung Kerinci 3805mdpl. Tak ada lagi penghalang untuk bisa memandangi cakrawala 360 derajat, kecuali asap belerang dari kawah kerinci yang sesekali keluar menyembur lurus ke atas menghalangi pandangan terhadap cakrawala pada satu titik. Tak terhitung berapa kali saya memutar badan menyaksikan semua ini. Hamparan bukit-bukit, awan yang berarak, Danau Gunung Tujuh, Shelter 3, jalur menuju puncak beserta pendaki yang terlihat seperti sebuah titik-titik tak beraturan. Semuanya terlihat dan berada di bawah tempat saya berpijak.
Puncak Inderapura hanya berupa sebidang tanah datar yang terlihat memanjang dengan lebar yang tak ubahnya seperti jalan setapak. Kata Bang Pander sebelumnya, angin di puncak lumayan kencang, sehingga berdiri pun harus punya teknik tersendiri agar kita tidak terbawa angin. Namun, saat saya berada di puncak, angin sepertinya sedang bersahabat dengan para pendaki yang berada di sini. 100% cuaca sangat cerah, sempurna. Bagian yang paling tidak nyaman ketika berada di sini dengan keadaan yang ramai dengan pendaki adalah kesan sunyinya pegunungan tidak terlalu bisa dirasakan, seperti yang selalu diperlihatkannya ketika menatapnya dari jauh di bawah sana. Pengecualian apabila kita bisa membawa diri ini berada dalam kondisi terasing di tengah keramaian. Bagian paling tidak nyaman yang kedua adalah ketika kita ingin mengambil gambar, selalu saja ada yang lalu-lalang ataupun berhenti mendadak di depan kamera, sehingga kita juga harus pandai-pandai mencari spot agar tidak mengalami gangguan semacam ini. Namun sayangnya, ruang gerak yang sempit di puncak ini tidak memberi saya banyak pilihan.
Ketika sedang menyantap biskuit sebagai sarapan bersama Uul dan para pendaki lainnya yang saya bawa dari Shelter 3, ada satu tim pendaki yang mencoba membentangkan bendera merah putih ukuran jumbo di puncak ini. Sepertinya bendera ini yang dibentangkan di Tugu Yudha sebelumnya. Karena puncak bukan tempat yang memungkinkan bendera ini dibentangkan secara sempurna, maka dengan mengambil tempat di sebuah kemiringan di sisi barat dari puncak, para anggota tim pendaki ini mencoba membentangkannya. Beberapa kali terlihat pendaki yang terpeleset ataupun terperosot ke bawah sambil memegang ujung bendera ini. Memang sangat beresiko dan berbahaya melihat aksi-aksi mereka. Beberapa kali teriakan untuk berhati-hati juga terdengar dari para pendaki yang menyaksikannya. Setelah terbentang sempurna, kini giliran yang pegang kamera yang mengambil resiko untuk mengabadikan momen ini. Dan inilah perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia dari para pendaki yang berada di sini, mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi di Pulau Sumatra, Atap Sumatra.
Sekitar setengah jam kemudian, akhirnya kami semua bisa berada di puncak, kecuali Fannah dan Bang Pander. Kami pun berfoto-foto ria di sana. Jepret sana jepret sini. Pendaki yang lalu lalang dan tiba-tiba berhenti di depan kamera semakin sering saja terlihat. Sepertinya bukan cuma saya yang mengeluhkan hal seperti ini, tapi yang memegang kemera sepertinya kebanyakan mengeluhkan hal yang sama. Ini terlihat dari sikap mereka yang terkadang dengan sikap yang sopan menyuruh si 'pengganggu' ini enyah dari depan kamera. Setelah semua 'ritual' ini kami lakukan, dan atas desakan dari Bang Andy yang terus memperhatikan dan mengkhawatirkan asap belerang yang keluar dari kawah Kerinci akan semakin banyak, akhirnya sekitar jam 8 kami meninggalkan Puncak Inderapura untuk kembali ke Shelter 3.
Perlahan kami mulai turun melewati jalur yang sama ketika kami naik, berhati-hati mencari pijakan agar tidak terpeleset. Kalau tidak yakin dengan pijakan yang akan kita injak, terpaksa kita harus jongkok sambil mengulurkan kaki perlahan ataupun memerosotkan diri di atas tanah. Bahkan ada juga yang melompat-lompat ketika turun ibarat seorang jagoan superhero (Gak sayang ama dengkulnya mas??). Mereka yang melakukan hal seperti ini bukan bagian dari tim saya. Berhati-hati turun seperti ini merupakan bagian dari pencegahan agar dengkul tidak cepat kesakitan karena perjalanan masih panjang. Inilah salah satu penyakit yang sering saya keluhkan ketika turun. Sakit pada dengkul, ditambah lagi dengan tumpuan pada jari-jari kaki atau tumit kaki. Semuanya pasti luka atau kapalan ketika melakoni fase turun dari sebuah pendakian. Namun dengan mempertahankan ritme gerak ketika turun, kesakitan yang kita alami pada dengkul maupun kaki bisa dihindari lebih lama. Ritme ini terkadang tidak bisa dipertahankan ketika dihadapkan pada waktu yang sempit akibat tidak mau kemalaman sampai di gerbang pos pendakian nantinya.
Masih banyak pendaki yang berusaha menuju puncak saat kami turun. Sesekali terlihat juga petugas pos pendakian kerinci yang bertugas memantau para pendaki dalam mendaki. Saya tidak bisa membedakannya dengan pendaki lain. Hal ini terjadi ketika saya menyapa mereka yang sedang memperhatikan para pendaki saat sedang beristirahat. Ketika mereka memperkenalkan diri, akhirnya saya baru tahu kalau ada pengawas pendakian di sini. Sinyal telepon yang cukup lancar di sini, memudahkan komunikasi mereka dengan pos pendakian di Tugu Macan..
Saya tiba di Shelter 3 sekitar jam 10 pagi. Di sana sudah ada bang Andy yang sedang memasak dengan Fannah dan Bang Pander. Saya baru mulai menyadari kalau posisi tenda kami berada di tengah jalan, tepatnya di atas sebuah punggungan dimana di sebelah kanan dan kirinya jurang. Tidak terbayang akan bagaimana jadinya tempat ini apabila terjadi cuaca buruk.
Karena makan siang sebagian sudah matang, saya memutuskan untuk makan lebih awal mendahului kawan-kawan yang lainnya, agar bisa packing lebih awal setelahnya untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju gerbang Pos Pendakian. Satu per satu dari kami akhirnya juga turut menyantap makan siang mereka. Setelah itu, tanpa menunggu waktu lama lagi, akhirnya kami semua mulai berkemas. Satu per satu barang-barang masuk ke dalam kerir masing-masing. Hingga di akhir packing, ternyata masih ada satu matras yang tersisa di lokasi tenda kami. Matras misterius siapa ini? Akhirnya Bang Pander pun membawa matras ini turun ke basecamp. Kelak sampai kami tiba di rumah Bang Andy, kepemilikan matras ini tidak kami ketahui sama sekali.
Sekitar kurang 15 menit jam 12 siang, kami pun meninggalkan Shelter 3 menuju Shelter 2. Menuruni Jalur ini harus kita lewati dengan susah payah sama seperti ketika kita mendakinya. Tetapi banyak juga pendaki yang juga turun melewatinya seperti olahraga Parkour di film Yamakashi, melompat dari satu sudut ke sudut lainnya. Saya cuma geleng-geleng kepala melihat mereka. Sepertinya tumpuan kaki mereka kuat sekali. Sedangkan saya, jangankan bergerak lincah seperti itu, bergerak pelan-pelan saja justru masih sering terpeleset.
Satu jam kemudian, saya tiba di Shelter 2. Keramaian di Shelter 2 masih sama seperti kemarin. Di sini saya bertemu dengan Aulia yang sedang berisitirahat. Saya dan Aulia berada di Shelter 2 sekitar 20 menit sambil menunggu Aulia mengambil air. Mengingat hari yang sudah beranjak siang dan tujuan yang masih jauh, saya pun mencoba mempercepat langkah menuju shelter 1. Di tengah perjalanan, saya dan Aulia bertemu dengan Dika, Fannah dan Bang Andy. Di belakang seperti biasa masih ada Yopie sendiri yang entah seberapa jauh dari kami. Akhirnya bang Andy memutuskan untuk menunggu Yopie. Sedangkan kami berempat melanjutkan perjalanan menuju Shelter 1 dengan jalan yang santai sambil menahan perih di lutut, paha dan kaki.
Kami berempat tiba di Shelter 1 jam 15:15 dan bertemu Wafiq sendirian, sedangkan sisanya sudah melaju menuju Pos 3. Lima belas menit kemudian, Bang Andy dan Yopie akhirnya tiba di Shelter 1. Yopie hanya sekedar berbasa basi numpang lewat di tempat kami beristirahat. Selanjutnya ia langsung jalan menuju Pos 3. Akhirnya kami berlima pun melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 menyusul Yopie yang sudah berangkat duluan. Sedangkan Bang Andy memutuskan istirahat sebentar di Shelter 1 yang kebetulan bertemu dengan temannya. Tak berapa lama kemudian, Yopie pun berhasil tersusul dan berjalan bersama kita.
Dalam perjalanan menuju Pos 3, gerimis mulai turun. Satu per satu dari kami mulai memakai raincoat. Sedangkan saya masih enggan memakainya. Fannah yang melihat saya tidak mau memakai raincoat, akhirnya meminjam raincoat saya, mengingat raincoatnya yang terbawa di kerir Bang Pander. Ketika kami mulai berjalan lagi, hujan semakin deras dan jalur yang kami lalui mulai berubah menjadi lumpur. Akibatnya, saya pun mulai basah kuyup di perjalanan menuju Pos 3. Untungnya Wafiq memungut sebuah jas hujan plastik yang dibuang oleh seorang pendaki di tengah jalan dan memberikannya pada saya untuk saya kenakan. Walaupun entah bekas punya siapa dan kondisinya yang sudah setengah rusak, saya akhirnya memutuskan untuk memakainya demi terhindar dari basah kuyup sepanjang jalan ke gerbang pos pendakian.
Jalur yang sudah berubah menjadi lumpur ini awalnya masih bisa saya hindari. Hingga pada satu waktu kedua sepatu saya tercelup ke dalam lumpur, dan akhirnya jalur ini pun saya anggap seperti jalur biasa. Langkah yang ceplak ceplok terdengar menerobos jalur ini tanpa peduli. Kita juga harus berhati-hati dalam melangkah akibat licinnya jalan yang sesekali kami temui.
Jam lima kurang lima belas, kami tiba di Pos 3. Para pendaki yang beristirahat di sini nampak berteduh di bawah shelter menunggu hujan reda. Melihat waktu sudah sore, tanpa istirahat di Pos 3 kami langsung menuju Pos 2. Di sini kami optimis bisa tiba di Pintu Rimba sebelum gelap, mengikuti aturan mendaki yang melarang kita berjalan ketika gelap di jalur Pos 3 sampai Pintu Rimba. Hal ini disebabkan di sekitar daerah ini, masih terdapat satwa-satwa liar yang umumnya bergerak aktif saat gelap di tambah sedikit mitos-mitos cerita misteri tentang Kerinci. Hujan turun semakin deras sejak kami meninggalkan Pos 3. Pendaki lainnya yang turun pun bergerak kesetanan mengejar Pintu Rimba sebelum gelap.
Kami berusaha mempercepat langkah menuju Pos 2. Rasa sakit pada dengkul, paha dan kaki sudah sangat terasa sekali. Ditambah stamina yang juga sudah mulai habis. Dan sebagai pelengkap penderitaan, yakni hujan yang tak kunjung reda, terus mewarnai langkah kami menuju Pos 2.
Kami menempuh jarak Pos 3 ke Pos 2 selama setengah jam. Di Pos 2 pun kami tidak sempat berhenti istirahat dan langsung tancap gas menuju Pos 1. Kondisi jalur masih sama, berlumpur, berair dan licin disertai hujan yang masih belum reda juga. Akhirnya, sekitar jam 18:00, kami tiba di Pos 1. Kami sempat beristirahat di Pos 1 selama 15 menit, mengingat jalur ke Pintu Rimba saya perkirakan akan kami tempuh selama 10 sampai 15 menit dengan pertimbangan waktu kami naik kemarin, kami cuma butuh waktu 15 menit untuk tiba di Pos 1. Dengan estimasi seperti ini, kita akan tiba di pintu rimba saat maghrib tiba. Namun lain halnya dengan pendapat seorang pendaki yang kebetulan sedang beristirahat juga di shelter pos 1 ini. Ia kebetulan mendengar obrolan kami dan ia berpendapat kalau waktu yang dibutuhkan menuju pintu Rimba adalah sekitar setengah jam. Entah mana yang benar karena setahu saya waktu turun itu selalu lebih cepat dari waktu naik dalam pendakian, kecuali ada insiden kesasar atau 'tersasar'.
Kami meninggalkan Pos 1 sekitar jam 18:15. Di bagian depan, Yopie dan Dika sudah langsung kabur meninggalkan kami berempat; saya, wafiq, Fannah dan Aulia. Kami berempat berjalan dengan santai dan yakin kalau estimasi waktu untuk tiba di pintu rimba dalam 15 menit akan berhasil. Jalur yang kami lalui sudah agak landai. Sudah bisa dipakai melangkah cepat seperti yang dilakukan Yopie dan Dika. Namun kondisi jalan masih sama seperti sebelumnya, masih kebanyakan berlumpur. Hujan perlahan sudah mulai reda. Penderitaan berupa hujan berganti dengan gelap yang perlahan mulai menyelimuti. Semakin lama kami melangkah, penglihatan semakin buram. Sayangnya senter saya berada di bagian kerir paling bawah. Dengan kondisi yang basah kuyup, saya malas mengambilnya dengan harapan sebentar lagi kami tiba di Pintu Rimba. Lima belas menit berlalu, dan kami masih belum tiba juga di Pintu Rimba. Saya pun mencoba mempercepat langkah meninggalkan Aulia, Wafiq dan Fannah. Namun, ketika jarak pandang saya sudah semakin pendek akibat gelap, akhirnya saya berhenti juga menunggu mereka.
Dua pulu menit sudah berlalu semenjak kami meninggalkan pos 1. Di belakang sana, cuma Wafiq dan Fannah yang mengeluarkan senter. Sedangkan Aulia, kondisi senternya sama denganku. Saya sudah mulai berpikir macam-macam ketika melihat banyaknya pohon tumbang yang melintang di jalur yang kami lewati. Seingatku, waktu naik kemarin, pohon tumbang yang kami lewati tidak sebanyak ini. Ditambah lagi dengan suara binatang malam yang bersuara saling bersahut-sahutan menyambut gelap, semakin menambah suramnya jalur ini. Kami terus berjalan dan tak satupun dari kami yang membahas tentang hal ini. Dari belakang sana, tiba-tiba ada seseorang yang hanya mengenakan ransel kecil dengan langkah cepat seperti berlari melewati kami tanpa sepatah kata pun. Tanpa penerangan, ia terus melangkah tanpa henti secepat mungkin. Beberapa kali pula saya melihat tidak jauh di depan saya seperti ada tempat yang terang, yang sering saya anggap sebagai Pintu Rimba. Karena dari Pintu Rimba ke Pos Pendakian akan berupa sawah dan ladang di kiri kanannya. Sepertinya saya sedang berhalusinasi di sini, karena ketika sampai pada titik itu, tempat terang itu berganti dengan gelap. Tempat itu semakin sering terlihat, dan hasilnya tetap sama ketika saya menghampirinya. Akhirnya saya pun tidak mempedulikannya, dan ingin terus berjalan dan berjalan menuju Pintu Rimba.
Sekitar jam 18:45 akhirnya kami tiba juga di Pintu Rimba. Betapa leganya kami bisa mencapai titik ini. Dari kejauhan sudah terdengar suara-suara saling bercengkrama. Juga terlihat lampu-lampu yang menandakan sebuah peradaban. Saya mulai yakin, kalau kami berada di jalan pulang yang benar. Ke Pos Pendakian yang cuma 10 menit dari Pintu Rimba, pikiranku hanya diisi oleh pertanyaan kenapa bisa butuh waktu setengah jam dari Pos 1, padahal naiknya cuma 15 menit. Selain itu, saya juga membayangkan pisang goreng dan teh hangat sebagai makanan dan minuman paling enak yang mau saya santap saat ini. Saya kelaparan juga kehausan.
Di gerbang pendakian, kami dihimbau oleh petugas pendakian untuk melapor ke Pos Pendakian dulu sebelum meninggalkan Kerinci. Namun, ketika bertemu dengan Bang Andy, Yopie dan Dika, akhirnya kami berempat langsung digiring ke mobil pick up yang sudah menunggu kami dari tadi. Bang Andy bercerita kalau ada pendaki kehilangan kamera DSLR di Shelter 3 yang menyebabkan diadakannya pemeriksaan di pos pendakian bagi mereka yang baru turun mendaki.
Dengan kondisi yang tidak karuan, seperti baru habis dicelupin di comberan, dengan badan yang terasa kaku untuk digerakkan, akhirnya kami pun meninggalkan pos pendakian, kembali ke Basecamp di rumah Bang Andy. Dinginnya malam di tengah laju mobil yang kencang semakin menambah penderitaan kami. Tak ada yang bisa saya lakukan selain menerima semua ini dan berusaha bertahan seadanya dari sergapan dingin dan berharap semoga saja nantinya tidak masuk angin setiba di rumah Bang Andy.
Kami sempat berhenti di sebuah masjid (saya lupa nama masjidnya). Di sana sudah menunggu kawan-kawan yang sudah tiba lebih awal. Mereka ternyata tidak langsung menuju ke rumah Bang Andy, entah dengan alasan kenapa. Mereka tiba sejam sebelumnya dari kami. Sempat kehujanan juga. Namun, mereka sudah bersih-bersih saat kami tiba di sana. Maka jadilah kami bereenam menjadi orang paling menjijikkan di antara mereka. Di depan masjid ini, ada sebuah Warung Padang. Penampakannya membuat kami yang baru turun gunung ngiler sengiler-ngilernya. Awalnya kami ingin makan di sana, namun dicegah oleh bang Andy yang katanya semuanya sudah disiapkan di rumahnya. Saya yang sudah malas bergerak akibat merasakan kakunya badan saya, akhirnya hanya bisa membayangkan teh hangat yang ada di sana. Untungnya Dika turun ke sana membeli es teh. Kedinginan minum es teh sepertinya bukan paduan yang tepat bagi saya. Namun ada juga teh hangat yang dibawa Dika dalam kemasan plastik. Saya pun meneguknya dalam sekejap. Rasanya, inilah hal paling nikmat yang bisa saya cicipi dalam perjalanan turun dari puncak Kerinci.
Di tempat ini sempat terjadi insiden kecil, di mana Agus Lion merasa kehilangan hp-nya yang seingatnya tertinggal di sebuah warung bakso saat mereka tiba di sini. Ketika menyadarinya, ia langsung berlari ke warung bakso itu. Lama dia tak kembali, akhirnya Agus Novan mau menghubunginya. Dan sayangnya tak ada yang tahu nomornya sama sekali, karena ia sendiri baru ganti nomor. Maka jadilah kami menunggunya hingga saat dia kembali membawa kabar buruk kalau hp nya hilang. Dan saat nomornya dihubungi oleh Agus Novan, suara dering hp-nya ternyata ada di dalam mobil pick-up itu. Karena gelap, tak ada yang melihatnya sama sekali. Rupanya hp itu terjatuh saat dia sedang naik ke mobil dan menyadari hilang saat sudah duduk manis di atas mobil.
Mobil pun kembali melaju menuju rumah Bang Andy dengan kecepatan tinggi. Sepertinya sang supir tidak peduli kalau di bak terbuka bagian belakang mobil yang sedang dikendarainya, terdapat manusia-manusia dekil yang basah kuyup, yang justru diterpa angin malam malah membuat mereka semakin kedinginan tidak karuan. Tega nian kau Pak Supir.
Sekitar jam 8 malam, akhirnya kami pun tiba di basecamp di rumah Bang Andy. Setelah barang-barang diturunkan, kawan-kawan yang masih dekil langsung berebutan kamar mandi. Saya dan beberapa kawan lainnya memilih nongkrong di teras rumah, mencoba menenangkan diri dari sakitnya seluruh badan, yang terasa sulit digerakkan walaupun cuma sedikit. Bahkan melepas sepatu yang penuh dengan lumpur adalah hal paling sulit untuk saya lakukan. Makanan dan minuman sudah mulai dihidangkan di dalam rumah bang Andy, tidak jauh dari tempat saya duduk. Namun, saya memilih memperhatikan saja mereka yang menyantapnya, mengingat kondisi saya yang masih kotor.
Saat bersih-bersih tiba, dinginnya air di bak kamar mandi menjadi satu tantangan tersendiri yang harus saya lewati. Bayangkan saja, turun gunung dengan kondisi basah kuyup, badan remuk, pegal-pegal dan perih kalau digerakkan, dan kemudian harus masuk ke dalam ‘kulkas’ untuk disterilkan (Disterilkan??). Dengan keadaan terpaksa, saya pun mandi dengan badan yang bergetar hebat karena menggigil menahan dingin. Kalau bukan karena malam yang sudah larut, saya mungkin akan berteriak melampiaskan semua sentuhan air pada tubuh saya. Guyuran air pun saya lakukan sebrutal mungkin. Secepat mungkin saya ingin mengakhiri sesi ini, karena tidak lucu juga ada orang yang sekarat kedinginan karena sedang mandi di dalam kamar mandi.
Setelah sesi mandi dan ganti pakaian yang penuh perjuangan selesai, saya kembali ke tempat kami berkumpul. Orang-orang yang berada di sana sudah tertidur bergelepakan semua. Obsesi saya terhadap teh hangat masih membara melihat kompor dan panci berisi air tergeletak di dekat menu makan malam yang masih tersisa. Akhirnya, saya pun makan malam sambil memasak air. Di saat sedang makan, muncul Wafiq dari depan yang baru selesai bicara dengan Ibu Bang Andy. Katanya, Bang Pander sudah pamit pulang ke rumahnya, dan mungkin tidak akan bertemu kami lagi karena beberapa urusan. Beberapa saat kemudian, Yopie muncul dari belakang yang baru selesai mandi. Dia juga belum makan malam. Akhirnya kami bertiga bercengkrama tentang apa yang kami lalui dari awal mendaki hingga bisa kembali lagi di tempat ini dengan membanding-bandingkan dengan gunung-gunung yang pernah kami daki sebelumnya sambil menikmati makanan dan minuman yang ada. Tentang tanjakan-tanjakan yang tidak manusiawi. Tentang Yopie yang tersengal-sengal saat mendaki, namun jadi yang tercepat dari pos 1 ke pintu rimba di antara rombongan yang paling terakhir tiba. Tentang hujan dan jalur yang berlumpur. Tentang jas hujan bekas yang dipungut Wafiq kemudian diberikan ke saya untuk saya pakai. Tentang keanehan lamanya waktu tempuh saat turun dari Pos 1 ke Pintu Rimba, dan masih banyak lainnya. Rasanya malam itu masih belum cukup untuk bercerita dan membahas semua yang baru kami lalui dua hari ini. Namun sayangnya kami harus segera beristirahat guna mempersiapkan fisik dan stamina buat besok ke Danau Gunung Tujuh.
Photo
Ringkasan Waktu Pendakian
Bersambung Ke Part 5: http://heningkara.blogspot.com/2014/09/menyambangi-danau-gunung-tujuh-setelah.html ...
3 comments
Aku banyak ngakaknyaaa di bagian inii. Hahaha..
Sekarat kedinginan pas mandi itu pemikiran yang absurd banget. Hahahha..
Eh eh,. aku juga pas ke Tambora kemarin, rasanya lebih lambat pulang daripada pergi. Yaaa ada bonus nyasar juga sih. Tapi kalopun gak nyasar juga rasanya lama banget. Jauuuhhhhhhh gak abis2.
Ciyeee,. imagenya pake border line nih sekarang,.. *eh, apa udah dari kemarin tapi akunya yang baru sadar yak? :D
Kalau cuma rasanya lebih lambat, emang sering gitu kalau gak lihat jam... tapi Ini saya berangkat ama pulangnya dari tiap pos liat jam mulu hahaha
Image border nya udah lama kali' makenya... i-)
Post a Comment
˙˙˙buıɥʇǝɯos ʎɐs